Oleh : Ummu Muhammad Ima
Murajaah : Ust. Aziz Abdullah
Islam agama yang mulia, yang sempurna syariatnya. Islam dengan
segala aturan yang ditetapkan Allah di dalamnya mengandung berbagai mashlahat
bagi kehidupan manusia. Diantara ketetapan syariat adalah mengenai hijab/jilbab
wanita muslimah. Jilbab yang disyariatkan Allah dalam islam menggariskan aturan
yang rinci demi kemashlahatan muslimah. Hijab/jilbab tersebut ditetapkan untuk
menjaga muslimah dengan sebaik-baiknya karena dalam islam wanita begitu
dihargai dan dimuliakan kedudukannya.
Seiring berjalannya waktu banyak muslimah yang dulunya melalaikan
kewajiban berhijab mulai mengenakan hijab/jilbab dan hal ini patut kita
syukuri. Namun, ternyata banyak diantara muslimah hanya mengetahui bahwa jilbab
sebatas menutup kepala dan seluruh anggota badan dengan cara membalut badan
dengan pakaian mereka sehingga mereka keluar dengan jilbab-jilbab yang modis,
seksi dan jauh dari tuntunan syariat yang suci. Di lain sisi ada muslimah yang
mulai mengenakan abaya/model jubah panjang/longdress namun masih banyak hiasan
pada baju yang dijadikan hijab tersebut. Penyebabnya hanya satu yakni
ketidaktahuan mereka akan ilmu tentang hijab ini.
A.
Definisi jilbab dan landasan wajibnya
Kata “jilbab” ditinjau dari sudut pandang bahasa mengandung
beberapa makna:
1. Qamish yakni pakaian lebar dan panjang sejenis jubah.
2. Pakaian yang lebih luas dari khimar (kerudung penutup
kepala) selain rida’ (selendang) yang berfungsi menutupi kepala dan dada
wanita.
3. Pakaian lebar selain milhafah (selimut) yang dikenakan oleh
seorang wanita.
4. Milhafah (selimut) (Lisaanul ‘Arab, Ibnu Mandzur 2/162)
Adapun secara
syar’I berkata para ulama mendefinisikan apa itu jilbab
v Ibnu Katsir
rahimahullah
menerangkan bahwa jilbab adalah pakaian atas (rida’) yang menutupi khimar.
Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud, ‘Ubaidah, Al Hasan Al Bashri, Sa’id
bin Jubair, Ibrahim An Nakho’i, dan ‘Atho’ Al Khurosaani. Untuk saat ini,
jilbab itu semisal izar (pakaian bawah).
v Imam Al Jauhari berkata bahwa jilbab adalah
“mulhafah”
(kain penutup).
v Imam Asy Syaukani
rahimahullah
berkata bahwa jilbab adalah pakaian yang ukurannya lebih besar dari
khimar.
v Ibnul Jauzi
rahimahullah
dalam Zaadul Masiir memberi keterangan
mengenai jilbab. Beliau nukil perkataan Ibnu Qutaibah, di mana ia memberikan
penjelasan, “Hendaklah wanita itu mengenakan rida’nya (pakaian atasnya).”
v Syaikh As Sa’di
rahimahullah
menerangkan bahwa jilbab adalah mulhafah (kain penutup atas),
khimar, rida’ (kain penutup badan atas) atau selainnya yang dikenakan di atas
pakaian. Hendaklah jilbab tersebut menutupi diri wanita itu, menutupi wajah dan
dadanya.
Kesimpulan mengenai maksud jilbab
dan khimar,
silakan lihat gambar www.muslimah.or.id
berikut
ini.
Kewajiban berjilbab/berhijab telah ditegaskan Allah dalam
al-Qur’an dalam sebuah ayat. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ
وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ
ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih
mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59)
Dari ayat diatas, dapat diketahui bahwa ayat
tersebut berupa perintah untuk mengenakan hijab. Ketika datang sebuah perintah
dari Allah maka perintah tersebut berupa kewajiban yang harus dilaksanakan oleh
semua muslimah merdeka yang baligh yang telah terkena beban taklif syar’i tanpa
terkecuali.
B.
Benarkah Jilbab Hanya Budaya Arab?
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu dan isteri-isteri orang Mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah
untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” (Al
Ahzab: 59)
Ayat ini tegas menjadi dalil atas
wajibnya mengenakan jilbab bagi setiap muslimah. Kewajiban mengenakan jilbab
dalam ketentuan syari’ah sepadan dengan kewajiban-kewajiban lainnya yang telah
diatur dalam agama. Hal ini bertolak belakang dengan anggapan sebagian orang
yang menyatakan bahwa jilbab merupakan produk budaya, atau ketentuan yang
terikat secara kondisional sehingga hukumnya “boleh-boleh saja” dikenakan.
Para pembaca perlu mengerti, dalam sejarah penetapan hukum
syari’ah (tarikh tasyri’) telah digambarkan bahwa kebudayaan wanita-wanita Arab
jahiliyah sebelum diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wasallam ialah dalam keadaan terbuka auratnya, bahkan telanjang bulat ketika
thawaf di Ka’bah. “Mereka melemparkan pakaian mereka dan meninggalkannya
tergeletak di atas tanah. Mereka tidak lagi mengambil pakaian tersebut untuk
selamanya, membiarkannya terinjak-injak oleh kaki orang-orang yang lalu lalang
hingga pakaian tersebut usang. Demikian kebiasaan jahiliyah yang dinamakan
Al-Liqa’ ini berlangsung hingga datanglah Islam dan Allah memerintahkan mereka
untuk menutup auratnya, sebagaimana dalam firman-Nya surat Al-A’raf ayat 31.”
(Syarh Shahiih Muslim, Al-Imam An-Nawawi, 18/369).
Maka sungguh tidak relevan jika anggapan tersebut kita
korelasikan dengan kenyataan budaya Arab pada masa pra-Islam.
Adapun setelah itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala
alihi wasallam mewajibkan kepada isteri-isteri beliau, anak perempuan beliau
dan wanita-wanita kaum Mu’minin untuk mengulurkan jilbab ke seluruh tubuh
mereka. Ini menunjukkan bahwa jilbab bukanlah produk budaya Arab, akan tetapi
murni wahyu dari Allah yang turun kepada Nabi-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wa ‘ala alihi wasallam guna diamalkan oleh segenap ummatnya dari kalangan
Muslimah dimanapun mereka berada sampai datangnya hari Kiamat.
Namun yang masih menjadi persoalan ialah biasnya definisi
jilbab yang dipahami ditengah masyarakat kita. Masing-masing orang
mendefinisikannya sesuai dengan selera gaya hidupnya yang beragam, bahkan
tuntutan karir pun tak pelak dijadikan alasan, sehingga muncul istilah jilbab
gaul, modis dan berbagai istilah diciptakan guna mengalihkan perhatian Muslimah
dari jilbab yang sesuai dengan tuntunan syar’iah.
C.
Syarat
Hijab Syar’i
Tentunya islam datang dengan aturan yang sempurna, maka
tentang hijab pun ada aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah dalam
melaksanakannya. Berjilbab atau berhijab merupakan suatu bentuk ibadah pada
Allah. Dan sesuai kaidah bahwasanya segala ibadah adalah taufiqiyyah artinya
ketetapan dan aturannya datang dari Allah bukan dari kehendak person tertentu
atau organisasi tertentu.
Adapun syarat-syarat hijab Syar’i yang terdapat
pada dalil-dalil
adalah:
1.
Harus
menutup seluruh tubuhnya secara sempurna.
Para
Ulama Ahli Hadits telah bersepakat mengenai wajibnya menutup seluruh tubuh bagi
Muslimah (Shahih Fiqhus Sunnah, 3/29), namun yang masih menjadi perdebatan
hingga saat ini ialah persoalan hukum antara wajib dan afdhal-nya menutup wajah
dan telapak tangan bagi mereka.
2.
Harus
tebal tidak tipis.
Pakaian
dengan bahan yang tipis lebih mudah menggambarkan lekuk-lekuk tubuh mereka, dan
wanita-wanita yang mengenakan pakaian tipis diluar rumahnya tak ubah seperti
orang yang telanjang didepan umum, disadari atau tidak. Pun Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam telah mensinyalir wanita-wanita seperti
ini akan muncul diantara umatnya:
“Dua
kelompok yang termasuk ahli neraka, aku belum pernah melihatnya……. (dan yang
kedua) “wanita kaasiyaat ‘aariyaat”. Mereka tidak masuk surga dan tidak
mendapatkan baunya, padahal baunya dapat tercium dari perjalanan sekian dan
sekian”. (HR. Muslim 2128)
Kaasiyaat
‘aariyaat adalah wanita-wanita yang mengenakan pakaian tipis, dan tidak menutup
auratnya. Yakni berpakaian dari namanya saja, namun pada hakikatnya telanjang.
(Shahiih Fiqhus Sunnah 3/34).
3.
Harus
lebar tidak boleh sempit/ketat
Tidak
jarang dari wanita-wanita Muslimah yang kehilangan identitas dirinya terpedaya
mengikuti trend berpakaian ketat seperti yang sering kita saksikan sekarang.
Padahal pakaian yang ketat akan menyulitkan gerak tubuh mereka, dan saking
sempitnya memakainya pun membutuhkan waktu dan tenaga. Berbeda dengan pakaian
yang longgar, tubuh akan lebih mudah untuk bergerak dan terasa nyaman untuk
dikenakan. Disamping itu, mafsadah yang terbesar dari berpakaian ketat ialah
menampakkan tubuh seorang wanita, dan tentunya mengundang syahwat pria-pria
yang masih normal mentalnya.
Dari
Usamah Bin Zaid Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Bahwa Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam memakaikan-ku sebuah pakaian Qubthiyyah (Mesir)
yang tebal -dulu pakaian tersebut merupakan hadiah Dihyah Al-Kalbiy kepada
beliau- maka aku memakaikannya untuk istriku. Kemudian Rasulullaah Shallallaahu
‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam berkata kepadaku: “Mengapa tidak kamu pakai
baju Qubthiyyah itu?”, aku berkata: “Yaa Rasulallah, aku memakaikannya untuk
istriku”. Lantas Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam
berkata: “Perintahkanlah ia agar mengenakan baju dalam dibalik baju Qubthiyyah
itu, karena aku khawatir baju tersebut masih menggambarkan bentuk tubuhnya”.
(HR. Ahmad 21683 5/205, Abu Dawud 4116 Sanad-nya Hasan).
Merujuk
sikap Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam diatas, apabila
seorang wanita tengah mengenakan pakaian yang cukup longgar namun dikhawatirkan
masih menggambarkan bentuk tubuh mereka, maka pada kondisi seperti itu
diperintahkan untuk memakai baju dalaman sebagai lapisan. Begitu juga ketika
seorang wanita memakai rok namun bagian pinggulnya masih terbentuk, hendaknya
dia memakai lapisan dalam dibalik rok tersebut disamping mengenakan jilbab yang
panjangnya melebihi pinggul guna menghindari tampaknya bentuk tubuh mereka.
Jadi merupakan suatu kesalahan jika hanya mencukupkan diri dengan memakai
celana panjang sebagai pakaian utama tanpa melapisinya dengan rok yang lebar
hingga menutupi telapak kakinya (agar lebih terjaga kenakan kaos kaki). Karena
semata-mata memakai celana panjang akan lebih mudah untuk mengikuti bentuk
betis dan lutut mereka, wallahu a’lam.
4.
Bukan
pakaian perhiasan /yang asalnya adalah hiasan.
Hal
ini yang tampaknya masih menjadi kesimpangsiuran pada pemahaman sebagian
muslimah disekitar kita. Berangkat dari sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala
aalihi wasallam: “Sesungguhnya Allah maha indah dan menyukai keindahan” mereka
memfungsikan pakaiannya -yang menurut keumuman orang- sebagai perhiasan. Dengan
mengenakan pakaian bercorak stylish dan bernuansa dekoratif serta perpaduan
berbagai bahan membuat mereka tampil lebih modis dan menawan dihadapan
laki-laki asing yang bertengger di jalan-jalan. Sementara keindahan yang ada
dalam benak kita belum tentu serupa dengan keindahan yang ada disisi Allah
Ta’ala. Karena keindahan menurut Allah adalah menjalankan segala sesuatu yang
diperintahkan oleh Allah dalam tuntunan syari’at-Nya serta mejauhi segala
larangan-Nya walaupun keumuman manusia memandangnya berbeda, diantara tuntunan
syari’ah Allah adalah sebagai berikut:
“Dan janganlah mereka (para wanita) menampakkan perhiasannya,
kecuali yang (biasa) tampak darinya”. (An-Nuur: 31)
Maka
berdasarkan keumuman lafadzh ayat diatas meliputi pakaian dzhahir (fisik) jika
pakaian tersebut berfungsi sebagai perhiasan yang menarik perhatian laki-laki
untuk melihatnya. (Shahih Fiqhus Sunnah, 3/33).
Al-‘Allaamah
Asy-Syaikh ‘Abdurrahman Bin Naashir As-Sa’di Rahimahullah menyatakan: “Dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya” yakni seperti pakaian yang indah
(yang berfungsi sebagai perhiasan), dan juga perhiasannya, serta seluruh
tubuhnya termasuk dari perhiasan, juga pakaian dzhahir jika memang berfungsi
sebagai perhiasan. “Kecuali yang (biasa) tampak darinya” yakni pakaian dzhahir
yang biasa dikenakan selama tidak menimbulkan fitnah. (Taisirul Kariimir Rahman
Fii Tafsiiri Kalaamil Mannaan, Tafsir Surat An-Nuur ayat 31).
Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam telah memberikan peringatan kepada
kita tentang golongan orang-orang yang binasa, diantaranya wanita yang suka
berhias diri dihadapan laki-laki yang bukan mahramnya:
“…..dan
seorang istri yang jauh dari suaminya, padahal suaminya telah mencukupkan dia
dengan memberikan fasilitas dunia, akan tetapi kemudian dia bertabarruj setelah
itu…..”. (HR. Ahmad 23827 6/19 Sanad-nya Shahiih)
Pengertian
tabarruj yakni seorang wanita menampakkan perhiasannya dan bagian-bagian
keindahan tubuhnya yang sesungguhnya wajib atas mereka untuk menutupinya karena
hal tersebut dapat mengundang syahwat pria. (Shahiih Fiqhus Sunnah 3/33, Abu
Malik Kamal menukil dari Fathul Bayaan 7/274)
Demikian
larangan Allah dan Rasul-Nya terhadap wanita yang suka berhias diri bukan pada
tempatnya. Jadi tidak tepat jika memfungsikan pakaian sebagai perhiasan, karena
tujuan perintah jilbab itu sendiri adalah untuk menutupi perhiasan sebagaimana
yang telah diuraikan diatas.
5.
Bukan
merupakan pakaian syuhroh (pakaian ketenaran)
Hal
ini sebagaimana sabda beliau Shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam dari
Abdullah Bin ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu
“Barangsiapa
yang mengenakan pakaian Syuhrah (untuk mencari popularitas) didunia, maka Allah
akan kenakan padanya pakaian kehinaan pada hari Kiamat, dan kemudian
menyala-nyala pada pakaian tersebut api neraka” (HR. Abu Dawud 4029, dan Ibnu
Majah 3607 dengan Sanad Hasan Lighairih)
Pakaian
Syuhrah adalah semua pakaian yang dikenakan dengan niat untuk mencari
popularitas ditengah manusia. Sama saja apakah dalam bentuk pakaian yang bagus,
yang dikenakan dalam rangka berbangga-bangga dengan dunia dan perhiasannya,
atau pakaian yang bernilai rendah, yang dikenakan dalam rangka menampakkan
kezuhudan dan riya’. (Shahiih Fiqhus Sunnah 3/37).
6.
Tidak
memakai wewangian.
Dari
Abu Musa Al-Asy’ari Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala
aalihi wasallam bersabda: “Wanita manapun yang mengenakan minyak wangi,
kemudian melewati kaum laki-laki agar mereka mencium baunya, maka dia adalah
seorang pezina”. (At-Tirmidzi 2786 dan diriwayatkan oleh selain mereka dengan
sanad yang Hasan)
Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam juga bersabda:
“Wanita
manapun yang mengenakan wewangian, maka janganlah dia menghadiri shalat ‘Isya
bersama kami”
Juga
terdapat hadits-hadits lain yang berkenaan dengan larangan ini. Karena
keluarnya para wanita ke jalan-jalan dengan wewangian, dimana pada jalan-jalan
tersebut terdapat laki-laki asing dan tempat berkumpulnya mereka seperti di
masjid, maka yang demikian ini akan menjadi sebab terbukanya pintu fitnah bagi
mereka. Hal ini terjadi karena memang rangsangan laki-laki normal secara
psikologis lebih kuat daripada rangsangan wanita pada umumnya, sehingga
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam melarang para wanita
memakai minyak wangi ketika berhadapan dengan laki-laki yang bukan mahramnya.
Dan bukan berarti membiarkan mereka tampil kumuh dan bau tak sedap, akan tetapi
mereka diperintahkan untuk menjaga kebersihan badan dan pakaian, karena kebersihan
itu separuh dari keimanan seseorang sebagaimana yang telah dinyatakan Nabi.
Adapun menggunakan produk-produk deterjen yang memang mengandung sedikit
wewangian (tidak tercium wanginya dari jarak dekat), dan tidak bisa dihindari,
insya Allah tidak mengapa, wallahu a’lam.
7.
Tidak
menyerupai pakaian laki-laki.
Penyerupaan
wanita kepada laki-laki atau sebaliknya dalam berpakaian mengakibatkan
penyerupaan mereka dalam hal akhlaq dan tidak pada fitrahnya. Bahkan hal ini
telah menjadi pemandangan yang biasa ditengah masyarakat kita, padahal
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam telah melaknat
perbuatan nista tersebut sebagaimana yang disaksikan para Shahabatnya:
Dari
Abdullah Bin ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata: “Rasulullah melaknat
(yakni dijauhkan dari rahmat dan ampunan Allah) laki-laki yang menyerupai
wanita dan wanita-wanita yang menyerupai laki-laki”. (Al-Bukhari 5885,
At-Tirmidzi 2784, Abu Dawud 4097, Ibnu Majah 1904).
Maknanya
tidak boleh bagi laki-laki menyerupai wanita dalam berpakaian dan mengenakan
perhiasan yang mana hal tersebut memang dikhususkan untuk wanita, demikian juga
sebaliknya. (Shahiih Fiqhus Sunnah 3/36).
Dari
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Rasululullah melaknat
laki-laki yang berpakaian wanita dan wanita yang berpakaian laki-laki”. (Abu
Dawud 4098, Ahmad 8292 2/325 sanad-nya Shahiih).
Batasan
pelarangan tasyabbuh (penyerupaan) tidaklah semata-mata berdasarkan pakaian
yang dipilih, disukai, atau yang telah menjadi kebiasaan diantara pria dan
wanita. Akan tetapi kembali kepada apa yang pantas bagi mereka, yaitu yang
pantas bagi wanita adalah dengan mengenakan pakaian tertutup dan tidak
bertabarruj dihadapan laki-laki yang bukan mahramnya. Maka dalam pembahasan ini
ada dua hal yang dimaksud, pertama adanya perbedaan antara pakaian pria dan
wanita, dan yang kedua tertutupnya kaum wanita, dan tidaklah terjadi
penyerupaan wanita kepada pria kecuali jika kedua hal tersebut dilakukan secara
bersamaan”. (Shahiih Fiqhus Sunnah 3/36).
8.
Tidak
menyerupai pakaian wanita kafir.
Rasulullaah
Shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam juga telah menegaskan dalam
sabdanya:
“Barangsiapa
yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk dari kaum itu”.
Maka
cukup memprihatinkan tatkala melihat perangai sebagian kaum Muslimin saat ini
tengah mengalami krisis ketauladanan. Mereka yang seharusnya menjadi pelopor
dalam kebaikan justru terkondisikan menjadi pengekor kebebasan sebagai akibat
penetrasi budaya-budaya kuffar dalam berpakaian, dan hal ini merupakan bentuk
genderang perang orang-orang kafir dalam upaya mereka memerangi Islam dan kaum
Muslimin. Seharusnya yang dilakukan seorang Muslim adalah membangun kepribadian
diri dengan nilai-nilai Islam dan menumbuhkan semangat optimisme dalam
menjalani kehidupan. Karena dengan sebab itulah rasa minder yang menghantui
perasaan dapat dengan segera hilang, dan tidak akan mudah ikut-ikutan dalam
melangkah seperti keadaan kerbau yang ditarik hidungnya ketika berjalan.
Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam telah memberikan contoh nyata
dalam mengambil sikap, yaitu ketika beliau melihat Shahabatnya mengenakan
pakaian yang menjadi ciri khas orang-orang kafir, maka pada detik itu juga
beliau langsung menegurnya dalam rangka menjaga kepribadian diri Shahabatnya
itu: “Sesungguhnya ini pakaian kuffar, maka janganlah sekali-kali engkau
memakainya.” (HR. Muslim 2077, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 25223).
Dan
masih banyak lagi nash-nash syar’iyyah yang menegaskan kepada kita bahwa
menyerupai orang-orang kafir dalam segala tindak tanduk mereka serta merupakan
kekhususan bagi mereka adalah termasuk hal yang tercela. Bahkan Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam tengah memberikan ultimatum jika
ada diantara umatnya yang bertasyabbuh dengan orang-orang kafir tersebut, maka
dia termasuk dari golongan mereka. Semoga Allah menyelamatkan kita dari segala
bentuk tasyabbuh kepada orang-orang kafir, dan senantiasa membimbing langkah
kita guna memiliki kepribadian yang bernafaskan Islam, amiin yaa mujibas sa’iliin.
Imam Mujahid rahimahullah berkata, “Hendaklah
para wanita mengenakan jilbab supaya diketahui manakah yang termasuk wanita
merdeka. Jika ada wanita yang berjilbab, orang-orang yang fasik ketika
bertemu dengannya tidak akan menyakitinya.”
Penjelasan para ulama di atas menerangkan firman Allah
mengenai manfaat jilbab,
“Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah
untuk dikenal.” (QS. Al Ahzab: 59)
Asy Syaukani rahimahullah menerangkan, “Ayat
(yang artinya), ” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah
untuk dikenal”, bukanlah yang dimaksud supaya salah satu di antara
mereka dikenal, yaitu siapa wanita itu. Namun yang dimaksudkan adalah supaya
mereka dikenal, manakah yang sudah merdeka, manakah yang masih budak.
Karena jika mereka mengenakan jilbab, itu berarti mereka mengenakan pakaian
orang merdeka.” Inilah yang membedakan manakah budak dan wanita merdeka dahulu.
Hal ini menunjukkan bahwa wanita yang tidak berjilbab berarti masih menginginkan
status dirinya sebagai budak
D.
Syarat Hijab Syar’i : Bukan Merupakan Hiasan
Sebagaimana yang sudah dimaklumi bahwa para
muslimah diwajibkan untuk berhijab, dan berhijab ini lebih umum maknanya
daripada sekedar berjilbab atau bercadar atau menutupi seluruh anggota
tubuhnya. Akan tetapi berhijab yang syar’i adalah seorang wanita menutupi
seluruh tubuhnya serta perhiasannya, yang dengannya semua non mahram tidak bisa
melihat sedikit pun dari tubuh dan perhiasannya.
Sekarang masalahnya, yang mana yang termasuk
perhiasan?
Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid dalam kitab Hirasah
Al-Fadhilah pada pembahasan ‘Hijab yang bersifat khusus’ menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan zinah (perhiasan) pada firman Allah
Ta’ala, “Dan
janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka,” (QS. An-Nur: 31)
adalah semua yang dipakai berhias oleh wanita, selain dari asal penciptaannya
(postur tubuhnya), atau dinamakan az-zinah al-muktasabah (hiasan yang
bisa diusahakan).
Maksudnya: Tubuh wanita adalah perhiasan akan tetapi tidak
bisa diusahakan adanya, karena memang asal penciptaannya seperti itu.
Selain dari tubuhnya, yang juga diperintahkan untuk
disembunyikan adalah perhiasan yang bisa diusahakan, yaitu segala sesuatu yang
menarik pandangan orang selain dari anggota tubuhnya. Dan para ulama memberikan
batasan dari zinah (perhiasan) adalah semua perkara yang menarik perhatian
orang untuk melihatnya.
Jika ada yang bertanya:
Bukankah pakaian luar (walaupun berwarna hitam) juga tetap dilihat oleh orang?
Jawab: Betul, karenanya seorang wanita dianjurkan untuk
tidak sering keluar rumah agar pakaian luarnya pun tidak terlihat oleh orang
lain.
Perlu diketahui bahwa pakaian luar asalnya
termasuk perhiasan yang dilarang untuk diperlihatkan. Hanya saja berhubung
terkadang wanita butuh keluar rumah karena ada keperluan maka pakaian luar pun
Allah kecualikan dari hukum di atas dengan firman-Nya, “Kecuali
yang nampak dari (perhiasan)nya.” Jadi pembolehan menampakkan
pakaian luar termasuk hukum dharurat, karena wanita kadang diizinkan keluar
sementara tidak mungkin dia keluar tanpa berpakaian.
Termasuk dalam ayat ini adalah ketika tanpa
disengaja pakaian luarnya tersingkap sehingga terlihat pakaian dalamnya
(maksudnya pakaian rumah yang ada dibalik jubah atau jilbabnya), maka ini
termasuk dalam ayat, “Kecuali yang nampak darinya,” yakni
yang terlihat dalam keadaan tidak sengaja, bukan disengaja.
E.
Border Dan Aneka Warna Pada Hijab Syar’i, Bolehkah?
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia border
didefinisikan sebagai hiasan pada pakaian berupa benang hias dengan berbagai
motif.
Ketika para ulama menghukumi pakaian luar termasuk
perhiasan yang harus ditutup, sementara dia hanya diizinkan untuk dinampakkan
karena idhthirar
(keterpaksaan/tidak ada pilihan lain), maka bagaimana bisa
seseorang menambahkan lagi hiasan (apapun motif dan coraknya) padanya yang
menjadikan orang lain tambah tertarik untuk melihatnya. Tentunya perbuatan ini
termasuk dari perbuatan yang terlarang karena menjadikan jilbab luarnya (yang
asalnya boleh dinampakkan secara dharurat) menjadi perhiasan yang tidak boleh
dinampakkan.
Imam Al Alusi
berkata, “Kemudian ketahuilah bahwa menurut kami termasuk “perhiasan” yang
terlarang untuk dinampakkan adalah kelakuan mayoritas perempuan yang bergaya
hidup mewah di masa kita saat ini yaitu pakaian yang melebihi kebutuhan
untuk menutupi aurat ketika keluar dari rumah. Yaitu pakaian dari tenunan sutra
terdiri dari beberapa warna (baca:warna-warni). Pada pakaian tersebut terdapat
garis-garis berwarna keemasan atau berwarna perak yang membuat mata lelaki
normal terbelalak. Menurut kami suami atau orang tua yang mengizinkan mereka
keluar rumah dan berjalan di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya dalam
keadaan demikian itu disebabkan kurangnya rasa cemburu. Hal ini adalah
kasus yang terjadi di mana-mana”(Ruhul Ma’ani, 6/56, lihat Jilbab
Mar’ah Muslimah, karya Al Albani hal. 121-122).
Syaikh Amr Abdul Mun’im Salim dalam terjemahan
kitabnya “Ahkamuz Ziinah lin Nisaa’” ketika menjelaskan syarat “Pakaian
tersebut tidak berfungsi sebagai perhiasan”, setelah membawakan Surat an-Nuur
ayat 31 beliau menjelaskan : “Hendaklah pakaian tersebut tidak bercorak
(bermotif) atau bergambar atau berwarna warni lebih dari satu warna dan
dibordir. Semua itu termasuk perhiasan yang tidak boleh ditampakkan oleh kaum
wanita di hadapan lelaki yang bukan mahromnya.”
Renda atau corak pada bordir dan semacamnya
menurut ‘urf orang Indonesia adalah hiasan. Silakan tanya kepada siapa saja
yang ingin mengenakan/menambahkan bordiran pada pakaiannya, apa tujuannya?
Kira-kira apa tanggapan para wanita awam yang punya bordiran/motif pada
pakaiannya tatkala dia disuruh untuk menghilangkan/membuang bordiran/motif itu?
Jawabannya tentu: Saya pasang itu
untuk memperindah pakaian, dan saya tidak mau menghilangkannya karena akan
memperjelek pakaian atau akan membuatnya kurang menarik.
Bukankah sesuatu yang indah dan menarik perhatian pada wanita
termasuk zinah (perhiasan)
syar’i yang harus disembunyikan?
Pada kitab Fiqhus Sunnah lin Nisa` cet.
Al-Maktabah At-Taufiqiah, pembahasan ini terdapat pada jilid 3 hal. 33-34.
Di sini Abu Malik Kamal -jazahullahu khairan- hanya
menyebutkan masalah bolehkah wanita memakai pakaian selain warna hitam?
Di akhir pembahasan beliau menyebutkan bahwa yang dibolehkan
hanya yang satu warna polos. Adapun yang terdiri dari dua warna atau lebih
dalam satu kain maka itu termasuk pakaian yang dilarang karena akan membentuk
suatu motif.
Apa yang beliau sebutkan ini sejalan dengan nukilan yang disebutkan
dari Amr bin Abdil Mun’im Salim, “Hendaklah pakaian tersebut tidak bercorak
(bermotif) atau bergambar atau berwarna warni lebih dari satu warna dan
dibordir. Semua itu termasuk perhiasan yang tidak boleh ditampakkan oleh kaum
wanita di hadapan lelaki yang bukan mahromnya.”
Kelaziman dari definisi zinah (perhiasan) yang
beliau sebutkan, adalah dia harus menggolongkan renda/bordiran termasuk zinah
yang harus untuk ditutup. Karena dia berkata ketika menafsirkan ayat 31 dari
surah An-Nur, “Perhiasan di sini secara umum mencakup pakaian luar jika pakaian
luar itu dihiasai dan menarik para lelaki untuk melihatnya.”
Bukankah ini
kenyataan yang terjadi pada mereka yang memakai pakaian bermotif/berenda? Mata
lelaki (yang ngaji maupun yang tidak) bisa tertarik untuk melihatnya -kecuali
yang dirahmati oleh Rabbnya-. Pakaian bermotif ini lebih parah dari parfum, karena parfum
hanya bisa dinikmati oleh orang yang ada di sekitar wanita itu, sementara
pakaian yang menarik pandangan bisa dinikmati dan ditonton oleh orang yang
berjarak 500 meter darinya (dengan menggunakan teropong tentunya).
Kemudian di akhir pembahasan beliau (Abu Malik)
menyebutkan, “Apa yang telah kami bahas (berupa pembolehan memakai pakaian
berwarna bagi wanita, pent.) tidak menghalangi untuk kita mengatakan bahwa yang
pakaian yang paling utama dan lebih menutupi tubuh bagi wanita adalah yang
berwarna hitam.”
Masalah warna pakaian ini, walaupun pada dasarnya
wanita bisa memakai pakaian berwarna (sekali lagi bukan bermotif atau
bordiran), maka di zaman ini apakah ada alim yang faham kaidah saddu
adz-dzariah (menutup wasilah maksiat) yang akan mengatakan: Bolah seorang
wanita memakai pakaian berwarna pink?. Padahal pink ini sudah identik dengan
keindahan dan wanita. Karena pakaian pink ini juga termasuk zinah (perhiasan)
yang harus ditutup?
Maka demikian pula yang kami katakan pada
warna-warna lainnya. Kami katakan sebagaimana apa yang Asy-Syaikh Ibnu
Al-Utsaimin katakan bahwa walaupun asalnya adalah mubah tapi dia bisa dilarang
untuk dipakai tatkala dia dianggap sebagai perhiasan, wallahu
a’lam.
Maka jelaslah akan kedudukan pakaian berwarna yang
merupakan hiasan dan juga pakaian border tidak boleh dikenakan oleh muslimah
ketika keluar rumah atau dihadapan orang yang bukan mahramnya. Singkat kata, yang
dimaksud dengan pakaian yang menjadi “perhiasan” yang tidak boleh dipakai oleh
seorang muslimah ketika keluar rumah adalah:
1.
Pakaian
yang terdiri dari berbagai warna (Baca: Warna warni atau sewarna yang asal
warnanya adalah hiasan.misal:pink,hijau muda, biru muda dll).
2.
Pakaian
yang dihias dengan garis-garis berwarna keemasan atau berwarna perak yang
menarik perhatian laki-laki yang masih normal(di negara kita lebih dikenal
dengan border). (Fiqh Sunnah lin Nisa’, hal. 388).
Adapun pakaian yang lebih dianjurkan adalah pakaian
yang berwarna hitam atau cenderung gelap karena itu adalah:
1.
Pakaian
yang sering dikenakan oleh para istri Nabi. Ketika Shafwan menjumpai Aisyah
yang tertinggal dari rombongan, Shafwan melihat sosok hitam seorang yang sedang
tidur (HR. Bukhari dan Muslim).
2.
Hadits
dari Aisyah yang menceritakan bahwa sesudah turunnya ayat hijab, para perempuan
anshar keluar dari rumah-rumah mereka seakan-akan di kepala mereka terdapat
burung gagak yang tentu berwarna hitam (HR Muslim)
Melihat keterangan makna zinah (perhiasan)
di atas, maka termasuk perhiasan yang harus disembunyikan oleh para wanita
adalah: Tas atau dompetnya yang bisa menarik perhatian, sandal atau sepatu yang
bentuk dan motifnya bisa menarik perhatian, kaus kaki atau kaus tangan yang
bermotif, dan seterusnya. Wallahu Ta’ala a’lam.