Kamis, 05 Desember 2013

QASAM DAN HUKUMNYA DALAM ISLAM

Disusun Oleh :   Ummu Muhammad Ima
Murajaah       :   Ust. Abu Adam Burhanuddin

Dalam Al-Qur’an Allah telah mensyariatkan bagi seorang muslim yang ingin menekankan suatu perkara maka hendaknya mereka bersumpah dengan nama-nama Allah Ta’ala. Dan syariat sumpah dengan nama Allah ini telah ditunjukkan oleh dalil-dalil syar’i. Di antara dalilnya adalah hadits Abdullah bin Umar secara marfu’:
مَنْ كَانَ حَالِفًا فَلْيَحْلِفْ بِاللَّهِ أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa yang mau bersumpah maka hendaknya dia bersumpah dengan nama Allah atau dia diam saja.” (HR. Al-Bukhari no. 2482 dan Muslim no. 3105)
Dan hukum yang berkaitan dengan sumpah terdapat dalam firman Allah Ta’ala:
فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُواْ أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan pertengahan yang biasa kalian berikan kepada keluarga kalian, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa yang tidak sanggup melakukannya, maka hendaknya dia berpuasa selama tiga hari. Itulah kaffarat sumpah-sumpah kalian bila kalian bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpah-sumpah kalian. Demikianlah Allah menerangkan kepada kalian ayat-ayatNya agar kalian bersyukur (kepada-Nya).” (QS. Al-Maidah: 89)


A.    Definisi Qasam Atau Sumpah
Secara bahasa :
Al-Aimaan -dengan Hamzah difat-hahkan- bentuk jamak dari yamiin. Dan asal makna al-Yamin atau sumpah di dalam bahasa Arab adalah tangan. Hal ini dikarenakan ketika dulu mereka bersumpah, mereka saling memegangi tangan yang lain.
Secara istilah syara’:
Sumpah berarti menguatkan sesuatu dengan menyebut Nama atau sifat Allah dan sumpah tidak sah kecuali dengan menyebut Nama Allah Ta’ala, salah satu nama dari Nama-Nama-Nya, atau satu sifat dari sifat-sifat-Nya.[1]

B.     Bentuk-bentuk Qasam Dalam Al-Qur’an
Dalam AlQur’an terdapat qasam dan telah ma’ruf untuk bersumpah menggunakan huruf-huruf.
Huruf Qasam (sumpah) ada tiga yaitu وَ, تَ, ب
Semuanya diartikan “Demi”.
بِاللهِتَاللهِ – وَالله
1.      Huruf ta ت   dalam firman Allah
tA$s% «!$$s? bÎ) £NÏ. ÈûïÏŠ÷Žä)s! ÇÎÏÈ
“Ia berkata (pula): "Demi Allah, Sesungguhnya kamu benar-benar hampir mencelakakanku (QS: As-shaaffat : 56)
(#qä9$s% «!$$s? (#àstGøÿs? ãà2õs? y#ßqム4Ó®Lym šcqä3s? $·Êtym ÷rr& tbqä3s? šÆÏB šúüÅ3Î=»ygø9$# ÇÑÎÈ
“Mereka berkata: "Demi Allah, Senantiasa kamu mengingati Yusuf, sehingga kamu mengidap penyakit yang berat atau Termasuk orang-orang yang binasa". (QS Yusuf : 85)
(#qä9$s% «!$$s? ôs)s9 x8trO#uä ª!$# $uZøŠn=tã bÎ)ur $¨Zà2 šúüÏ«ÏÜ»ys9 ÇÒÊÈ
“Mereka berkata: "Demi Allah, Sesungguhnya Allah telah melebihkan kamu atas Kami, dan Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa)". (QS Yusuf : 91)
2.      Dengan Huruf ba ب
Iw ãNÅ¡ø%é& ÏQöquÎ/ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# ÇÊÈ
"Aku bersumpah demi hari kiamat”. (QS. Al Qiyamah:1)
3.      Dengan Huruf wau و
ÈûüÏnG9$#ur ÈbqçG÷ƒ¨9$#ur ÇÊÈ
“Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun”
ħ÷K¤±9$#ur $yg8ptéÏur ÇÊÈ
“Demi matahari dan cahayanya di pagi hari”

Secara penggunaan bahasa, “ta” hanya boleh digunakan untuk lafzhul jalalah Allah, adapun “bi” dan “wa” boleh untuk selain lafzhul jalalah Allah. Adapun secara syar’i, maka sumpah tidak boleh ditujukan kecuali kepada Allah ta’ala.
Contoh:
وَعَبْدِ الْقَادِرِ الْجَيْلاَنِي              = Boleh secara bahasa (akan tetapi berdasarkan syar’i tidak boleh)
تَعَبْدِ الْقَادِرِ الْجَيْلاَنِي               = Tidak boleh secara bahasa (dan juga berdasarkan syar’i) [2]

Dalam Al-Qur’an selain tiga huruf tersebut, digunakan juga huruf lam (ل ) untuk bersumpah. Sebagaimana firman Allah
x8ãôJyès9 öNåk¨XÎ) Å"s9 öNÍkÌEtõ3y tbqßgyJ÷ètƒ ÇÐËÈ
"Demi umurmu (Muhammad), Sesungguhnya mereka terombang-ambing di dalam kemabukan (kesesatan)".(QS Al Hijr:72)

C.    Hukum Yang Berkaitan Dengan Qasam/Sumpah[3]
a.      Hukum Sumpah
Hukum sumpah berbeda-beda disesuaikan dengan hukum masalah yang dia bersumpah untuknya. Karenanya hukum sumpah ada lima:
1.      Wajib.
Jika sumpahnya bertujuan untuk menyelamatkan atau menghindarkan dirinya atau muslim lainnya dari kebinasaan
2.      Sunnah.
Jika sumpahnya bertujuan untuk mendamaikan dua pihak yang bertikai atau untuk menghilangkan kedengkian dari seseorang atau untuk menghindarkan kaum muslimin dari kejelekan.
3.      Mubah.
Misalnya dia bersumpah untuk melakukan atau meninggalkan suatu amalan yang hukumnya mubah.
4.      Makruh.
Jika dia bersumpah untuk melakukan hal yang makruh atau meninggalkan amalan yang sunnah. Misalnya sumpah dalam jual beli karena Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda dalam hadits Abu Hurairah:
الْحَلِفُ مُنَفِّقَةٌ لِلسِّلْعَةِ مُمْحِقَةٌ لِلْبَرَكَةِ
“Sumpah itu memang bisa melariskan dagangan akan tetapi menghapuskan berkahnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1945)
5.      Haram.
Bersumpah untuk suatu kedustaan atau dia berdusta dalam sumpahnya. Termasuk juga di dalamnya bersumpah dengan selain nama dan sifat Allah, karena itu adalah kesyirikan. Diriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bahwa beliau bersabda dalam hadits Ibnu Umar:
مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ أَشْرَكَ
“Barangsiapa yang bersumpah dengan menggunakan selain nama Allah maka sungguh dia telah berbuat kesyirikan.” (HR. Abu Daud no. 2829 dan At-Tirmizi no. 1455)
Termasuk di dalam kesyirikan ini adalah bersumpah dengan menggunakan nama Nabi shallallahu alaihi wasallam.
b.      Dalam hal apakah ada kaffaratnya, sumpah terbagi menjadi tiga jenis:
1.   Sumpah yang tidak butuh kaffarat jika dilanggar.
Yaitu sumpah yang diucapkan secara tidak sengaja, semisal dia mengatakan: Tidak demi Allah, betul demi Allah. Termasuk juga di dalamnya orang yang bersumpah atas sesuatu yang dia kira seperti yang dia pikirkan akan tetapi ternyata tidak demikian kenyataannya.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Allah tidak menghukum kalian disebabkan sumpah-sumpah kalian yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kalian disebabkan sumpah-sumpah yang kalian sengaja.” (QS. Al-Maidah: 89)
2.   Sumpah yang tidak bisa ditebus dengan kaffarat.
Yaitu sumpah dusta dimana dia bersumpah atas sesuatu padahal dia tahu bahwa itu adalah dusta. Misalnya dia mengatakan, “Demi Allah saya tidak melakukannya,” padahal dia telah melakukannya. Demikian pula sebaliknya. Termasuk di dalamnya bersumpah dengan menggunakan selain nama Allah. Karena sumpahnya tidak syah, maka tidak ada kewajiban kaffarat atasnya. Yang ada hanyalah bertaubat dari syirik asghar yang telah diperbuatnya dan mengucapkan ‘laa ilaha illallah’. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
مَنْ حَلَفَ فَقَالَ فِي حَلِفِهِ وَاللَّاتِ وَالْعُزَّى فَلْيَقُلْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَمَنْ قَالَ لِصَاحِبِهِ تَعَالَ أُقَامِرْكَ فَلْيَتَصَدَّقْ
“Barangsiapa yang bersumpah dan berkata dalam sumpahnya, “Demi Laata dan Uzza,” maka hendaknya dia mengatakan, “Laa Ilaaha Illallaah.” Dan barangsiapa yang berkata kepada temannya, “Ayo kita taruhan,” maka hendaknya dia bersedekah.” (HR. Al-Bukhari no. 4482)
3.   Sumpah yang bisa ditebus dengan kaffarat.
Yaitu dia bersumpah dengan menggunakan nama atau sifat Allah untuk sesuatu yang akan datang tapi ternyata kenyataan yang terjadi tidak demikian. Misalnya dia mengatakan dengan jujur, “Demi Allah aku akan melakukannya,” kemudian ternyata dia tidak jadi melakukannya. Atau sebaliknya dia mengatakan, “Demi Allah aku tidak akan melakukannya,” lalu di kemudian hari dia melakukannya. Ibnu Qudamah dan Ibnu Al-Mundzir menukil kesepakatan ulama akan wajibnya membayar kaffarat atas sumpah jenis ini.
c.       Istitsna` (pengecualian) dalam sumpah.
Yang dimaksud dengan istitsna` di sini adalah dia menambahkan kalimat ‘insya Allah’ pada sumpahnya.” Misalnya dia mengatakan, “Demi Allah aku akan melakukannya insya Allah.”
Jika dia membatalkan sumpahnya yang mengandung istitsna` maka tidak ada kaffarat atasnya, karena pada dasarnya istitsna` itu merupakan pemutus sumpahnya. Diriwayatkan dalam sebuah hadits:
من حلف وقال: إن شاء الله، فقد حنث
“Barangsiapa yang bersumpah dan dia mengatakan dalam sumpahnya, “Insya Allah,” maka dia telah memutuskan sumpahnya.”
Dalam hadits Ibnu Umar secara marfu’:
مَنْ حَلَفَ فَاسْتَثْنَى فَإِنْ شَاءَ مَضَى وَإِنْ شَاءَ تَرَكَ غَيْرَ حَنِثٍ
“Barangsiapa yang bersumpah tapi dia melakukan istitsna`, maka jika dia mau maka dia boleh tetap melanjutkan sumpahnya, dan jika dia mau maka dia boleh meninggalkan sumpahnya tanpa ada dosa.” (HR. Abu Daud no. 2839 dan An-Nasai no. 3733 -dan ini adalah lafazhnya-)
Al-Qurthubi berkata, “Jika sumpah telah syah diucapkan maka dia bisa diputuskan dengan membayar kaffarat atau melakukan istitsna`.” Ini adalah mazhab para fuqaha` dan inilah pendapat yang dinyatakan kuat oleh Ibnul Araby. Hanya saja Ibnul Araby mengatakan, “Dipersyaratkan untuk keabsahan istitsna` ini adalah dia terlafazhkan dan bersambung dengan sumpahnya dalam pengucapan.”

Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Jika ini (istitsna`) syah, maka dipersyaratkan pada istitsna` dia harus bersambung dengan sumpahnya, tidak dipisahkan dari kalimat sumpahnya oleh ucapan lain dan tidak juga diselingi oleh diam yang lamanya memungkinkan dia berbicara saat itu. Adapun jika istitsna`nya terputus dari kalimat sumpahnya akibat dia menarik nafas, atau suaranya habis, karena dia sakit, atau ada gangguang tiba-tiba, atau karena bersin, atau sesuatu yang lain, maka semua itu tidak membuat istitsna`nya tidak syah, akan tetapi hukumnya syah. Ini adalah pendapat Malik, Asy-Syafi’i, Ats-Tsauri, Abu Ubaid, Ishaq, dan Ashhab Ar-Ra’yi.” Kemudian beliau berkata selanjutnya, “Dipersyaratkan untuk keabsahan istitsna` dia harus mengucapkannya, tidak ada manfaatnya melakukan istitsna` dengan hatinya. Ini adalah pendapat sejumlah ulama, di antaranya: Al-Hasan, An-Nakhai, Malik, Ats-Tsauri, Al-Auzai, Al-Laits, Asy-Syafi’i, Ishaq, Abu Tsaur, Abu Hanifah, Ibnul Mundzir, dan kami tidak mengetahui ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini.”
d.      Mengganti sumpah dengan yang lain
Barangsiapa yang bersumpah untuk melakukan sesuatu yang haram atau yang makruh atau yang mubah, kemudian dia menilai ada amalan lain yang lebih baik darinya maka wajib atasnya untuk melakukan yang lebih baik itu dan membatalkan sumpahnya dengan membayar kaffarat. Berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:
وَاللَّهِ لَأَنْ يَلِجَّ أَحَدُكُمْ بِيَمِينِهِ فِي أَهْلِهِ آثَمُ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ أَنْ يُعْطِيَ كَفَّارَتَهُ الَّتِي افْتَرَضَ اللَّهُ عَلَيْهِ
“Demi Allah, sungguh, orang yang berkeras hati untuk tetap melaksanakan sumpahnya, padahal sumpah tersebut dapat membahayakan keluarganya, maka dosanya lebih besar di sisi Allah daripada dia membayar kaffarah yang diwajibkan oleh Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 6625 dan Muslim no. 1655)
e.       Kaffarat pembatalan sumpah
Telah dijelaskan di atas sumpah jenis bagaimana yang bisa ditebus dengan kaffarat. Adapun kaffaratnya maka sebagaimana yang tersebut dalam surah Al-Maidah di atas:
1.    Kaffarat pertama berisi 3 perkara yang harus dipilih salah satunya: Memberikan makan 10 orang miskin, atau memberikan pakaian 10 orang miskin, atau membebaskan seorang budak.
2.    Jika dia tidak sanggup ketiganya maka barulah dia beranjak ke kaffarat yang kedua, yaitu berpuasa selama 3 hari.
Berikut rinciannya:
a.    Memberi makan 10 orang miskin.
Makanan yang diberikan sebanyak 1 sha (dua telapak tangan lelaki dewasa). Orang miskin di sini selain dari kerabat yang dia wajib memberikan nafkah kepadanya misalnya anaknya atau orang tuanya atau istrinya atau kerabat lain yang berada di bawah tanggungannya. Ini adalah pendapat Imam Malik, Asy-Syafi’i, dan selain keduanya.
Tidak boleh memberikan makan kepada satu orang sebanyak 10 kali sebagaimana tidak boleh mengganti makanan dengan uang, karena semua ini bertentangan dengan nash ayat di atas.
Apakah boleh memberikannya kepada orang miskin yang kafir? Ada silang pendapat di kalangan ulama.
b.    Memberikan pakaian 10 orang miskin.
Sama seperti di atas tidak boleh memberikan 10 baju kepada satu orang miskin atau mengganti baju dengan uang. Adapun ukuran bajunya, maka ada silang pendapat di kalangan ulama. Hanya saja Ibnu Qudamah berkata, “Pakaian bagi lelaki adalah satu pakaian yang bisa menutupi seluruh tubuhnya. Adapun bagi wanita, maka ukuran minimalnya adalah pakaian yang mereka bisa pakai dalam shalat.” Wallahu a’lam
c.    Membebaskan budak
Pendapat yang lebih dekat kepada kebenaran dalam hal ini adalah, dipersyaratkan budaknya harus seorang muslim. Berdasarkan hadits Muawiah bin Al-Hakam As-Sulami tentang ‘dimana Allah’, di dalamnya disebutkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam membebaskan budak wanita Muawiah  setelah beliau menguji keislamanannya. Maka hadits ini menunjukkan bahwa semua kaffarat dosa yang sifatnya pembebasan budak, maka dipersyaratkan haruslah budak yang muslim.
d.    Berpuasa 3 hari.
Dia tidak boleh berpuasa 3 hari kecuali jika dia sudah tidak sanggup melakukan salah satu dari ketiga kaffarat di atas. Apakah dipersyaratkan dalam keabsahannya harus puasa 3 hari berturut-turut? Ada silang pendapat di kalangan ulama, hanya saja tidak diragukan bahwa mengerjakannya secara berurut jauh lebih utama.

D.    Faidah Dari Ayat Al-Qur’an Yang Memuat Qasam
Faidah yang sangat berharga tentang sumpah/qasam dari QS.Al Ashr :1
وَالْعَصْرِ
“Demi al ashr
Huruf wau dalam ayat ini disebut dengan wau qasam, yang dalam bahasa arab digunakan untuk bersumpah. Maka ayat pertama ini termasuk bentuk kalimat sumpah atau qasam. Dalam ayat ini Allah Ta’ala bersumpah dengan salah satu makhluk-Nya yaitu al ashr.
Imam Ath Thabari: “Pendapat yang benar dalam masalah ini adalah memaknai bahwa di sini Allah bersumpah dengan al ashr, yaitu waktu secara umum, juga waktu sore, juga siang dan malam, dan tidak mengkhususkannya dalam satu makna khusus dan membuang makna yang lain. Setiap makna yang dari kata al ashr tercakup dalam sumpah Allah tersebut.” (Tafsir Ath Thabari, 24/589)
Dari ayat ini kita bisa mengambil beberapa faidah:
1.      Bentuk sumpah atau qasam dari Allah menunjukkan seriusnya atau menyatakan benarnya hal yang disumpahkan (Lihat Al Itqan karya As Suyuthi, 4/53). Dalam surat ini,  Allah Ta’ala bersumpah untuk menegaskan bahwa manusia itu benar-benar berada dalam khusr.
2.      Allah Ta’ala terkadang bersumpah dengan sebagian makhluk-Nya untuk menunjukkan bahwa Ia lah Sang Pencipta (Lihat Al Itqan, 4/55). Maka, waktu, siang-malam, sore, semua itu adalah makhluk Allah. Allah jua lah yang mengendalikan pergantian dari waktu dan seiring dengan itu terjadilah perubahan-perubahan keadaan. Tak ada dzat selain Allah yang bisa menciptakan waktu atau mengendalikannya. Sungguh ini merupakan kebesaran Allah bagi orang yang mau merenungkan.
3.      Allah Ta’ala bersumpah dengan sebagian makhluk-Nya untuk menunjukkan bahwa makhluk tersebut adalah salah satu makhluk yang agung sebagai tanda kebesaran Allah dan terkadang menunjukkan manfaat serta keutamaan makhluk tersebut (Lihat Al Itqan, 4/55-57).

Maka, waktu adalah makhluk Allah yang agung. Betapa berharganya waktu hingga perbuatan baik sedetik saja akan memberikan kebaikan di akhirat dan perbuatan buruk sedetik saja akan menambah kesengsaraan di akhirat. Oleh karena itu, Islam membimbing umatnya untuk memanfaatkan waktu dengan baik, Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam bersabda: “Bersemangatlah dalam hal yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah (dalam hal itu) serta jangan malas.” (HR. Muslim no. 2664)[4]

E.     Perkara Yang Berhubungan Dengan Sumpah
Perihal sumpah ini berkaitan dengan beberapa perkara hukum syar’i yang lain seperti nadzar, kesaksian pidana, dan pernikahan (li’an)
Dan penjelasan mengenai perkara tersebut tidak disertakan dalam makalah ini karena luasnya bahasan beberapa perkara yang disebutkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar