Selasa, 26 November 2013

Hakikat Kebenaran VS Teori Kebenaran Filsafat

A.    Rumusan Masalah

1.      Definisi kebenaran dalam filsafat
2.      Teori-teoti kebenaran dalam filsafat
3.      Definisi kebenaran sejati
4.      Tolak ukur kebenaran
5.      Antara kebenaran dan filsafat
  
BAB II
PEMBAHASAN


A.    Definisi Kebenaran Dalam Filsafat Ilmu

Kata "kebenaran" dapat digunakan sebagai suatu kata benda yang konkret maupun abstrak (Abbas Hamami, 1983). Jika subjek hendak menuturkan kebenaran artinya adalah proposisi yang benar. Proposisi maksudnya adalah makna yang dikandung dalam suatu pernyataan atau statement. Apabila subjek menyatakan kebenaran bahwa proposisi yang diuji itu pasti memiliki kualitas, sifat atau karakteristik, hubungan, clan nilai. Hal yang demikian itu karena kebenaran tidak dapat begitu saja terlepas dari kualitas, sifat, hubungan, dan nilai itu sendiri. Adanya pelbagai macam kategori sebagaimana tersebut di atas, maka tidaklah berlebihan jika pada saatnya setiap subjek yang memiliki pengetahuan akan memiliki persepsi dan pengertian yang amat berbeda satu dengan lainnya.
 Kebenaran, pertama-tama berkaitan dengan kualitas pengetahuan. Artinya ialah bahwa setiap pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang yang mengetahui sesuatu objek ditilik dari jenis pengetahuan yang dibangun. Maksudnya apakah pengetahuan itu berupa:
1.    pengetahuan biasa atau biasa disebut juga knowledge of the man in the street atau ordinary knowledge atau juga common sense knowledge. Pengetahuan seperti ini memiliki kebenaran yang sifatnya subjektif, artinya amat terikat pada subjek yang mengenal. Dengan demikian, pengetahuan tahap pertama ini memiliki sifat selalu benar, sejauh sarana untuk memperoleh pengetahuan bersifat normal atau tidak ada penyimpangan.
2.    pengetahuan ilmiah, yaitu pengetahuan yang telah menetapkan objek yang khas atau spesifik dengan menerapkan atau hampiran metodologis yang khas pula, artinya metodologi yang telah mendapatkan kesepa¬katan di antara para ahli yang sejenis. Kebenaran yang terkandung dalam pengetahuan ilmiah bersifat relatif, maksudnya kandungan kebenaran dari jenis pengetahuan ilmiah selalu mendapatkan revisi yaitu selalu diperkaya oleh hasil penemuan yang paling mutakhir. Dengan demikian, kebenaran dalam pengetahuan ilmiah selalu mengalami pembaharuan sesuai dengan hasil penelitian yang pa¬ling akhir dan mendapatkan persetujuan --adanya agreement da¬lam suatu konvensi-- para ilmuwan sejenis.
3.    pengetahuan filsafati, yaitu jenis pengetahuan yang pendekatannya melalui metodoiogi pemikiran filsafati, yang sifatnya mendasar dan menyeluruh dengan model pemikian yang analitis, kritis, dan spekulatif. Sifat kebenaran yang terkandung dalam pengetahuan filsafati adalah absolut-intersubjektif. Maksudnya ialah nilai kebenaran yang terkandung jenis pengetahuan filsafat selalu merupakan pendapat yang selalu melekat pada pandangan filsafat seorang pemikir filsafat itu serta selalu mendapat pembenaran dari filsuf kemudian yang menggunakan metodologi pemikiran yang sama pula. Jika pendapat filsafat itu ditinjau dari sisi lain artinya dengan pendekatan filsafat yang lain sudah dapat dipastikan hasilnya akan berbeda atau bahkan bertentangan atau menghilangkan sama sekali. Suatu contoh filsafat matematika/geometri dari Phytagoras sampai kini masih tetap seperti waktu Phytagoras itu pertama kali memun¬culkan pendapatnya itu --abad VI Sebelum Masehi--.
4.    kebenaran pengetahuan yang terkandung dalam pengetahuan agama. Pengetahuan agama memiliki sifat dogmatis, artinya pernyataan dalam suatu agama selalu dihampiri oleh keyakinan yang telah ter¬lentu sehingga pernyataan-pernyataan dalam ayat-ayat kitab suci agama memilki nilai kebenaran sesuai dengan keyakinan yang di¬gunakan untuk memahaminya itu. Implikasi makna kandungan kitab suci itu dapat berkembang secara dinamik sesuai dengan perkembangan waktu, akan tetapi kandungan maksud ayat kitab suci itu tidak dapat dirubah dan sifatnya absolut.[1]


B.     Teori-Teori Kebenaran Dalam Filsafat [2]

1.     Teori Kebenaran Korespondensi
Kebenaran korespondesi adalah kebenaran yang bertumpu pada relitas objektif. Kesahihan korespondensi itu memiliki pertalian yang erat dengan kebenaran dan kepastian indrawi. Sesuatu dianggap benar apabila yang diungkapkan (pendapat, kejadian, informasi) sesuai dengan fakta (kesan, ide-ide) di lapangan.
Contohnya: ada seseorang yang mengatakan bahwa Provinsi Yogyakarta itu berada di Pulau Jawa. Pernyataan itu benar karena sesuai dengan kenyataan atau realita yang ada. Tidak mungkin Provinsi Yogyakarta di Pulau Kalimantan atau bahkan Papua.
Cara berfikir ilmiah yaitu logika induktif menggunakan teori korespodensi ini. Teori kebenaran menurut corespondensi ini sudah ada di dalam masyarakat sehingga pendidikan moral bagi anak-anak ialah pemahaman atas pengertian-pengertian moral yang telah merupakan kebenaran itu. Apa yang diajarkan oleh nilai-nilai moral ini harus diartikan sebagai dasar bagi tindakan-tindakan anak di dalam tingkah lakunya.

2.     Teori Kebenaran Koherensi
Teori ini disebut juga dengan konsistensi, karena mendasarkan diri pada kriteria konsistensi suatu argumentasi. Makin konsisten suatu ide atau pernyataan yang dikemukakan beberapa subjuk maka semakin benarlah ide atau pernyataan tersebut. Paham koherensi tentang kebenaran biasanya dianut oleh para pendukung idealisme, seperti filusuf Britania F. H. Bradley (1846-1924).
Teori ini menyatakan bahwa suatu proposisi (pernyataan suatu pengetahuan, pendapat kejadian, atau informasi) akan diakui sahih atau dianggap benar apabila memiliki hubungan dengan gagasan-gagasan dari proporsi sebelumnya yang juga sahih dan dapat dibuktikan secara logis sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan logika. Sederhannya, pernyataan itu dianggap benar jika sesuai (koheren/konsisten) dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Contohnya:
1.      Setiap manusia pasti akan mati. Soleh adalah seorang manusia. Jadi, Soleh pasti akan mati.
2.      Seluruh mahasiswa PAI, Fakultas Tarbiyah dan keguruan UIN Jogja mengikuti perkuliahan Filsafat Ilmu. Edy adalah mahasiswa PAI, Fakultas Tarbiyah dan keguruan UIN Jogja. Jadi, Edy harus mengikuti kegiatan perkuliahan Filsafat ilmu.

3.     Teori Kebenaran Pragmatik/Pragmatisme
Artinya, suatu pernyataan itu benar jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia. Teori pragmatis ini pertama kali dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914) dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul “How to Make Our Ideas Clear”.
Dari pengertian diatas, teori ini (teori Pragmatik) berbeda dengan teori koherensi dan korespondensi. Jika keduanya berhubungan dengan realita objektif, sedangkan pragmamtik berusaha menguji kebenaran suatu pernyataan dengan cara menguji melalui konsekuensi praktik dan pelaksanaannya.
Pegangan pragmatis adalah logika pengamatan. Aliran ini bersedia menerima pengalaman pribadi, kebenaran mistis, yang terpenting dari semua itu membawa akibat praktis yang bermanfaat.

4.     Teori Kebenaran Performatik
Teori ini menyatakan bahwa kebenaran diputuskan atau dikemukakan oleh pemegang otoritas tertentu. Pemegang otoritas yang menjadi rujukan bisa pemerintah, pemimpin agama, pemimpin adat, pemimpin masyarakat, dan sebagainya. Kebenaran performatif dapat membawa kepada kehidupan sosial yang rukun, kehidupan beragama yang tertib, adat yang stabil dan sebagainya. Namun, dismping itu juga masyarakat yang mengikuti kebenaran performatif tidak terbiasa berpikir kritis dan rasional. Mereka kurang inisiatif dan inovatif, karena terbiasa mengikuti kebenaran dari pemegang otoritas.
Contohnya; mengenai penetapan 1 Syawal. Sebagian umat muslim di Indonesia mengikuti fatwa atau keputusan MUI atau pemerintah, sedangkan sebagian yang lain mengikuti fatwa ulama tertentu atau organisasi tertentu.

5.     Teori Kebenaran Struktural Pardigmatik
Suatu teori itu dinyatakan benar jika teori itu berdasarkan pada paradigma atau perspektif tertentu dan ada komunitas ilmuwan yang mengakui atau mendukung paradigma tersebut. Paradigma ialah apa yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota suatu masyarakat sains atau dengan kata lain masyarakat sains adalah orang-orang yang memiliki suatu paradigma bersama. Masyarakat sains bisa mencapai konsensus yang kokoh karena adanya paradigma.
Dengan kekuatan paradigma dan masyarakat sains pendukungnya, diharapkan kebenaran struktural paradigmatik dapat menjawab berbagai problema kehidupan manusia di masa depan. Krisis global berupa krisis lingkungan dan krisis kemanusiaan yang selama ini telah dialami oleh manusia karena Sains Modern, cepat atau lambat akan dijawab oleh konsensus baru dengan paradigma yang menghasilkan metode yang lebih tepat dalam mengantisipasi krisis global tersebut.


C.    Definisi Kebenaran Sejati

Fitrah manusia apabila telah rusak, jika melihat kebenaran maka dia akan mengikuti dan mencintainya. Sehingga setiap kelompok manusia yang meyakini sesuatu dan memperjuangkannya, semua merasa di atas kebenaran. Akan tetapi, bagaimana mungkin mereka semua di atas al-haq, kemudian berlawanan satu dengan lainnya. Padahal kebenaran itu satu adanya, dan tidak ada yang menentangnya kecuali kebatilan dan kesesatan.

Allamah Ar-Raghib Al-Ishfahani menyebutkan bahwa makna kebenaran (al-haq) secara asal adalah: kesesuaian.
Kemudian, al-haq mempunyai beberapa makna:
1. Pencipta sesuatu dengan satu sebab yang menunjukkan hikmah (tidak sia-sia) oleh karena itulah Allah dikatakan Al-Haq.
2. Sesuatu yang diciptakan sesuai dengan tuntutan hikmah (tidak sia-sia). Oleh karena itulah seluruh perbuatan Allah adalah haq (benar).
3. Keyakinan terhadap sesuatu yang sesuai dengan sebenarnya, terhadap apa yang ada pada sesuatu tersebut. Seperti ucapan kita, "Keyakinan Fulan tentang al-ba'ts, pahala, siksa, surga dan neraka adalah haq."
4. Untuk perbuatan dan perkataan yang terjadi sesuai dengan apa yang semestinya, seukuran yang semestinya dan pada waktu yang semestinya. Kemudian beliau juga menyatakan bahwa al-haq (juga) berarti: Ketetapan yang sesuai dengan tuntutan hikmah.

Dalam Mu'jamul Wasith disebutkan arti al-haq, yaitu:
• Satu nama dari nama-nama-Nya (Allah) Ta'ala.
• Yang pasti dengan tanpa keraguan.

Di dalam An-Nihayah bab: Haqqaqa, disebutkan:
Di dalam nama-nama Allah terdapat nama Al-Haq, yaitu Yang benar-benar ada, dan keberadaan-Nya serta Hak-Nya untuk diibadahi adalah pasti. Dan (juga) Al-Haq adalah lawan dari Al-Bathil (kebatilan).

Sehingga ringkasnya, kebenaran (al-haq) adalah sebagaimana yang dinyatakan Syaikhul Islam IbnuTaimiyah, yaitu al-haq itu ada dua jenis:
1. Haq Maujuud (kebenaran yang ada).
Kewajiban (manusia dalam hal ini -pen) adalah mengetahuinya dan jujur di dalam memberitakannya (ilmu -pent). Sedangkan lawannya adalah kebodohan dan dusta.
2. Haq Maqshuud (kebenaran yang dituju).
Yaitu yang bermanfaat bagi manusia. Kewajiban (manusia dalam hal ini -pent) adalah menghendakinya dan mengamalkannya. Sedangkan lawannya adalah menghendaki kebatilan dan mengikutinya.[3]


D.    Tolak Ukur Kebenaran

Dari penjelasan definisi tentang arti sesungguhnya dari kebenaran maka tentunya ada yang dijadikan tolak ukur dalam menetapkan kebenaran. Sebelumnya akan dibahas bagaimana kebanyakan orang menjadikan sesuatu sebagai tolak ukur kebenaran.
1.      menjadikan pendapat mayoritas orang sebagai tolak ukur kebenaran
Diantara kebiasaan jahiliyah, yaitu terpedaya dengan pendapat mayoritas, menjadikannya sebagai standar menilai kebenaran. Suatu kebenaran didasarkan kepada pendapat mayoritas. Sebaliknya, pendapat minoritas dianggapnya sebagai kebathilan tanpa melihat dalil-dalilnya. Penilaian yang didasarkan dengan argumen seperti di atas tanpa melihat dalil yang mendukungnya, merupakan cara pandang bathil dan bertentangan dengan Islam. Allah berfirman.
وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي اْلأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيل الله
"Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalanNya" [QS. Al An’am : 116].
وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَيَعْلَمُونَ
"Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui". [QS. Al A’raf : 187].
وَمَاوَجَدْنَا لأَكْثَرِهِم مِّنْ عَهْدٍ وَإِن وَجَدْنَآ أَكْثَرَهُمْ لَفَاسِقِين
"Dan Kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami mendapati kebanyakan mereka orang-orang yang fasik". [QS. Al A’raf : 102].
Dan masih banyak lagi ayat lain yang menjelaskan hal itu.
2.      berargumentasi dengan pendapat leluhur (nenek moyang) tanpa meneliti sumber pendapat itu
Ketika para rasul datang membawa kebenaran dari Allah Azza wa Jalla, kaum jahiliyah membantahnya dengan menggunakan pendapat nenek moyang mereka. Ketika Nabi Musa Alaihissallam mengajak Fir’aun agar beriman, Fir’aun berdalih dengan pendapat orang-orang kafir terdahulu. Ini merupakan argumen yang bathil dan alasan ala jahiliyah. Begitu pula jawaban kaum Nabi Nuh Alaihissallam ketika diajak untuk beriman kepada Allah Azza wa Jalla, mereka justru berkata sebagaimana tersebut di dalam Al Qur`an :
مَاهَذَآ إِلاَّبَشَرٌ مِّثْلَكُمْ يُرِيدُ أَن يَتَفَضَّلَ عَلَيْكُمْ وَلَوْ شَآءَ اللهُ لأَنزَلَ مَلاَئِكَةً مَّاسَمِعْنَا بِهَذَا فِي ءَابَآئِنَا اْلأَوَّلِينَ
"Orang ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, yang bermaksud hendak menjadi seorang yang lebih tinggi dari kamu. Dan kalau Allah menghendaki, tentu Dia mengutus beberapa orang malaikat. Belum pernah kami mendengar (seruan yang seperti) ini pada masa nenek moyang kami yang dahulu". [QS. Al Mukminun:24]
Mereka menolak dakwah Nabi Nuh Alaihissallam dengan pendapat nenek moyang mereka yang disangka benar. Adapun ajaran yang dibawa Nabi Nuh Alaihissallam dianggap salah, juga karena bertentangan dengan pendapat nenek moyang mereka. Begitu juga orang-orang kafir Quraisy ketika menyanggah dakwah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka mengatakan:

مَاسَمِعْنَا بِهَذَا فِي الْمِلَّةِ اْلأَخِرَةِ إِنْ هَذَآ إِلاَّ اخْتِلاَقٌ

"Kami tidak pernah mendengar hal ini (mengesakan Allah) dalam agama yang terakhir; ini tidak lain hanyalah(dusta) yang diada-adakan".
[QS. Shad:7].
Maksud dari agama yang terakhir ialah, ajaran nenek moyang mereka. Ajaran yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dianggap merupakan dusta. Mengapa? Tidak lain karena bertentangan dengan ajaran nenek moyang orang-orang Quraisy yang menyembah berhala. Mereka tidak kembali kepada agama kakeknya, yaitu Ibrahim Alaihissallam dan Ismail Alaihissallam. Tetapi justru menyanggahnya dengan merujuk kepada nenek moyang mereka yang lebih muda. Maksudnya bapak-bapak dan kakek-kakek mereka di Mekkah, yaitu orang-orang kafir Quraisy. Itulah kebiasaan orang-orang kafir jahiliyah, yaitu beralasan dengan orang-orang terdahulu, tanpa melihat sumber pengambilannya.

Banyaknya mayoritas orang menjadikan sesuatu menjadi tolak ukur kebenaran bukan menjadikan sesuatu itu adalah benar karena bertentangan sekali dengan firman Allah di atas. Dimana kita mengetahui bahwa Allah Maha Mengetahui dan Allah Maha Benar dalam semua firmanNya. Maka dari sini kita harus mempunyai patokan atau tolak ukur yang benar karena sejatinya kebenaran itu hanya satu tidak berbilang.
Islam mengajarkan kepada penganutnya agar meyakini dan mengamalkan semua yang diperintahkan dalam Al Qur’an dan Sunnah berdasarkan pemahaman Salafush Shalih. Begitu juga dalam menilai sesuatu itu benar atau tidak, Islam mengajarkan agar mejadikan Al Qur’an dan Sunnah sebagai tolok ukurnya. Berbeda dengan tradisi jahiliyah, mereka menjadikan pendapat nenek moyang serta pendapat mayoritas orang sebagai tolok ukur.
Jadi tolok ukur kebenaran bukan karena jumlah pengikutnya yang besar, tetapi tolok ukurnya adalah kebenaran atau kebathilan yang menyertainya. Setiap yang benar meskipun pengikutnya sedikit, maka harus dipegang teguh. Itulah jalan keselamatan. Dan semua kebathilan, tidak bisa berubah menjadi benar hanya karena jumlah pengikutnya yang banyak. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ
"Islam itu muncul sebagai agama yang asing dan suatu saat akan kembali asing sebagaimana pertama kali muncul".
Maksudnya ketika kejahatan, fitnah dan kesesatan melanda manusia, yang tersisa berpegang teguh dengan kebenaran hanyalah segelintir orang yang dianggap asing, hanya beberapa gelintir orang dari suku-suku yang ada, sehingga menjadi asing di tengah masyarakat. Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus, umat manusia berada dalam kekufuran dan kesesatan. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tampil mengajak manusia, namun hanya diterima oleh beberapa orang saja, yang kemudian terus bertambah banyak. Suku Quraisy, seluruh tanah Arab, juga seluruh dunia berada dalam kesesatan. Sementara Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri mengajak umat manusia kepada kebenaran, tetapi yang menerima dakwah Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mengikutinya sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah manusia di seluruh dunia. Allah berfirman :
وَمَآأَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ
"Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya". [QS. Yusuf:103].

وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي اْلأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ
"Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalanNya". [QS. Al An’am:116].

Menjadi jelaslah bagi kita, bahwa yang boleh dijadikan sebagai ukuran hanyalah Al Qur`an, Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat yang mendapat bimbingan langsung dari Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Itulah tolok ukur kebenaran yang benar. Yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pasti benar. Allah tidak pernah menyuruh manusia mengikuti nenek moyangnya. Kalaulah tradisi nenek moyang sudah cukup bagi kita, tentu Allah k tidak akan mengutus seorang rasul ke dunia. Tolak ukur kebenaran bukanlah mayoritas ataupun minoritas, akan tetapi, seharusnya adalah kebenaran itu sendiri, meskipun pendapat ini dianut oleh satu orang saja. Jika mayoritas manusia berjalan di atas pendapat yang bathil, maka harus ditolak. Oleh sebab itu, para ulama berkata “kebenaran itu tidak bisa dikenali dengan manusia, tetapi justru manusia itu dikenali dengan kebenaran”. Siapapun yang berjalan di atas kebenaran, maka ia harus diikuti.[4]


E.     Antara Kebenaran Dan Filsafat Ilmu

Ilmu logika, mantik, dan filsafat dikenal masuk ke dalam tubuh kaum muslimin di zaman dinasti Abassiyyah. Yaitu di saat Yahya bin Khalid bin Barmak, salah seorang menteri Harun Ar-Rasyid, meminta buku-buku Yunani dari raja Romawi. Waktu itu, buku-buku tersebut disimpan dan tidak ditampakkan kepada orang-orang Nashara secara umum. Karena dikhawatirkan akan membawa kepada kesesatan. Tetapi dengan adanya permintaan dari kaum muslimin tersebut, dengan segera raja Romawi mengirimkan buku-buku Yunani itu kepada sang menteri. Mereka berharap dapat terlepas dari bahaya buku-buku tersebut, dan agar kandungan buku-buku itu merusak keadaan kaum muslimin! Salah seorang dari mereka mengatakan: "Tidaklah ilmu-ilmu ini masuk ke suatu negara kecuali akan merusakkannya dan memecah-belah ulamanya!!"
 Dari sana tersebarlah ilmu filsafat pada sebagian kaum muslimin. Kemudian pada zaman Tartar menguasai daerah Islam, Nashiruddin Ath-Thusi mendirikan perguruan Dar Hikmah. Para pelajar (santri) yang mempelajari filsafat mendapatkan gaji 3 dirham setiap hari. Dia juga mendirikan Dar Thib, orang yang belajar kedokteran di sana mendapatkan gaji 2 dirham setiap hari. Begitu pula dia mendirikan Dar Hadits, orang yang belajar hadits di sana mendapatkan gaji 1/2 dirham setiap hari. Hal ini memacu berkembangnya filsafat di kalangan kaum muslimin.
 Tetapi bagaimana sebenarnya sikap Islam terhadap ilmu-ilmu baru ini? Kita telah tahu, agama Islam telah lengkap dan sempurna, sehingga tidak membutuhkan tambahan apapun, termasuk ilmu filsafat ini! Kita telah tahu, generasi sahabat adalah generasi terbaik dan mereka tidak mengenal filsafat! Kita telah tahu, ilmu filsafat ini muncul dari orang-orang mulhid dan musyrik, mengapa umat Islam harus mengambilnya?! Kita telah tahu, filsafat ternyata tidak membawa kepada keyakinan, bahkan menjerumuskan kepada keraguan dan kegoncangan. Kita telah tahu, filsafat ternyata menyebabkan perselisihan dan perpecahan serta kemunduran kaum muslimin.
Dan kita harus tahu, para ulama Ahlu Sunnah sepakat membantah ilmu ini. Ketika ditanya tentang permasalahan filsafat, Abu Hanifah rahimahullâh menjawab: "Itu adalah perkataan-perkataan ahli filsafat, hendaklah kamu berpegang dengan atsar (sunnah) dan jalan As-Salaf. Dan jauhilah setiap yang baru, karena hal itu bid'ah!". Beliau juga menyatakan: "Aku dapati ahli kalam, mereka memiliki hati yang keras dan kasar. Mereka tidak peduli (ucapan maupun perbuatan mereka) bertentangan dengan Al-Kitab dan As-Sunnah. Mereka tidak memiliki sikap wara' dan taqwa." (Siyaru A'lamin Nubala 6/399)
 Imam Syafi'i rahimahullâh berkata: "Tidaklah manusia menjadi bodoh dan berselisih, kecuali karena mereka meninggalkan bahasa Arab dan cenderung kepada bahasa Aristoteles".
 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh berkata: "Ulama kaum muslimin dan Imam-imam agama terus-menerus mencelanya (ilmu kalam/filsafat) dan mencela orang-orangnya. Mereka melarangnya dan melarang (mendekati) orang-orangnya. Sampai aku melihat fatwa para ulama muta-akhirin, di sana terdapat tulisan tokoh-tokoh di zaman mereka, dari kalangan Imam-imam Syafi'iyyah, Hanafiyah, dan lainnya. Di dalam fatwa itu terdapat perkataan agung tentang pengharamannya dan hukuman terhadap orang-orangnya." (Naqdhul Manthiq, hal:156)
 Demikian juga fatwa Ibnush Shalah rahimahullâh tentang pengharaman ilmu filsafat/kalam sangat masyhur. Beliau menyatakan: "...Adapun ilmu mantiq merupakan pengantar ilmu filsafat. Sedangkan pengantar keburukan adalah keburukan. Menyibukkan diri dengan mempelajarinya dan mengajarkannya tidak dibolehkan. Dan tidak ada seorangpun dari kalangan Sahabat, Tabi'in, Imam-imam Mujtahidin, Salaf yang shalih dan orang-orang yang menjadi panutan dari tokoh-tokoh umat ini yang membolehkannya." (Fatawa Ibnu Shalah, hal: 34-35)
 Setelah semua hal ini jelas, maka alangkah mengherankan munculnya kelompok-kelompok kaum muslimin yang menyerukan untuk mengusung filsafat melebihi ilmu lainnya! Bahkan memberikan label mentereng dengan istilah filsafat Islam. Menyerukan Islam yang terbuka, Islam Liberal, dan istilah-istilah lainnya yang tidak dikenal oleh agama yang lurus ini! Maukah mereka kembali? Semoga.[5]
 Sebagaimana telah dipaparkan diatas mengenai definisi kebenaran dalam filsafat ilmu dan juga kebenaran yang sejati beserta tolak ukur untuk mengetahui kebenaran tersebut, maka menjadi kewajiban bagi setiap kita untuk mengambil kebenaran sejati walau mayoritas manusia di jaman sekarang di jaman modern ini terlena dan bangga dengan berbagai definisi kebenaran yang semu.
 Tidak dipungkiri disana ada metodologi filsafat yang bermanfaat bagi kita umat islam dalam menyelesaikan suatu kasus. Dan mungkin juga sampai terlintas dibenak bahwa metode filsafat mengantarkan kita untuk berfikir secara sistematis. Hal ini benar adanya tapi hakikatnya kita telah lupa entah karena ketidaktahuan ataupun karena pengaruh filsafat itu sendiri yang sudah mengakar dalam hati kita. Kita telah melupakan suatu metode yang sejatinya jauh lebih selamat. Metode yang telah diterapkan di dunia islam jauh sebelum masuknya pemikiran filsafat dalam kekuasaan islam saat itu. Metode tersebut adalah metode para ulama menyusun suatu bahasan ilmu dan juga metode bagaimana untuk sampai kepada kebenaran.
 Para ulama atas karunia Allah telah menyusun suatu rangka pemikiran yang sistematis. Hal ini dapat dengan mudah kita saksikan dari karangan dan peninggalan karya-karya besar mereka sebagaimana kitab Shahih Al Jami Imam Bukhary, kitab-kitab sunan, syarah ulama dalam berbagai disiplin ilmu sebelum masuknya pemikiran filsafat yang bahasannya sistematis, urut, dan rinci.
 Ketika kita lebih mendahulukan metode filsafat dalam membentuk pola pikir kita maka kita secara tidak langsung lebih mengapresiasi/memberikan penghargaan pada filsafat itu sediri dibandingkan dengan metode cara berfikir ulama, dan kita lebih mendahulukan keburukan dari kebaikan sebagaimana banyak perkataan ulama yang mencela ilmu filsafat dan cabang-cabangnya.
 Tentunya bukan mustahil untuk mengupayakan dalam menyebarkan metode yang digunakan para ulama-ulama besar islam di jaman ini. Dan menjadi tugas besar kita untuk memulai dari diri-diri kita agar mengenalkan metode para ulama dalam menuliskan karya ilmiyah dan menerapkan metode tersebut yang bebas dari pengaruh filsafat sehingga metode tersebut dikenal luas oleh semua kalangan cendikiawan. Sebagaimana ungkapan arab

“man jadda wa jada”
Barangsiapa yang berusaha pasti akan mendapatkannya.



BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN

1.      Definisi kebenaran dalam filsafat ilmu mempunyai makna yang banyak yang bermuara dalam penjelasan bahwa kebenaran, pertama-tama berkaitan dengan kualitas pengetahuan. Artinya ialah bahwa setiap pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang yang mengetahui sesuatu objek ditilik dari jenis pengetahuan yang dibangun.

2.      Teori-teori kebenaran dalam filsafat :
a.       Teori kebenaran korespondensi
b.      Teori kebenaran koherensi
c.       Teori kebenaran pragmatic
d.      Teori kebenaran performatik
e.       Teori kebenaran structural pardigmatik

3.      Definisi kebenaran sejati
kebenaran (al-haq) adalah sebagaimana yang dinyatakan Syaikhul Islam IbnuTaimiyah, yaitu al-haq itu ada dua jenis:
1. Haq Maujuud (kebenaran yang ada).
Kewajiban (manusia dalam hal ini -pen) adalah mengetahuinya dan jujur di dalam memberitakannya (ilmu -pent). Sedangkan lawannya adalah kebodohan dan dusta.
2. Haq Maqshuud (kebenaran yang dituju).
Yaitu yang bermanfaat bagi manusia. Kewajiban (manusia dalam hal ini -pent) adalah menghendakinya dan mengamalkannya. Sedangkan lawannya adalah menghendaki kebatilan dan mengikutinya.[6]

4.      Tolak ukur kebenaran
Islam mengajarkan kepada penganutnya agar meyakini dan mengamalkan semua yang diperintahkan dalam Al Qur’an dan Sunnah berdasarkan pemahaman Salafush Shalih. Begitu juga dalam menilai sesuatu itu benar atau tidak, Islam mengajarkan agar mejadikan Al Qur’an dan Sunnah sebagai tolok ukurnya. yang menjadi tolok ukur kebenaran bukanlah mayoritas ataupun minoritas, akan tetapi, seharusnya adalah kebenaran itu sendiri, meskipun pendapat ini dianut oleh satu orang saja. Jika mayoritas manusia berjalan di atas pendapat yang bathil, maka harus ditolak. Oleh sebab itu, para ulama berkata “kebenaran itu tidak bisa dikenali dengan manusia, tetapi justru manusia itu dikenali dengan kebenaran”. Siapapun yang berjalan di atas kebenaran, maka ia harus diikuti. Dan kembali tolak ukurnya ditimbang berdasarkan Alqur’an dan sunnah.
5.      Antara Kebenaran dan Filsafat.
Tidak dipungkiri disana ada metodologi filsafat yang bermanfaat bagi kita umat islam dalam menyelesaikan suatu kasus. Dan mungkin juga sampai terlintas dibenak bahwa metode filsafat mengantarkan kita untuk berfikir secara sistematis. Hal ini benar adanya tapi hakikatnya kita telah lupa entah karena ketidaktahuan ataupun karena pengaruh filsafat itu sendiri yang sudah mengakar dalam hati kita. Kita telah melupakan suatu metode yang sejatinya jauh lebih selamat. Metode yang telah diterapkan di dunia islam jauh sebelum masuknya pemikiran filsafat dalam kekuasaan islam saat itu. Metode tersebut adalah metode para ulama menyusun suatu bahasan ilmu. Dimana para ulama menyusun karya mereka dengan sistematis dan mudah dipahami. Dan karya yang sistematis tersebut tidak bisa dicapai kecuali telah mempunyai pola fikir yang runut dan sistematis.
Ketika kita lebih mendahulukan metode filsafat dalam membentuk pola pikir kita maka kita secara tidak langsung lebih mengapresiasi/memberikan penghargaan pada filsafat itu sediri dibandingkan dengan metode cara berfikir ulama, dan kita lebih mendahulukan keburukan dari kebaikan sebagaimana banyak perkataan ulama yang mencela ilmu filsafat dan cabang-cabangnya.







[2] Bahasan ini diambil pada situs http://yayanmafiozo35.blogspot.com/2012/03/teori-teori-kebenaran-dalam-filsafat.html diunduh pada tanggal  3 Februari 2013

[3] Bahasan pada poin ini sampai pada penjelasannya di sini diambil dari http://abuayaz.blogspot.com/2012/01/kebenaran-makna-ukurannya.html diunduh pada tanggal 3 februari 2013
[4] Diubah suaiakan dengan bahasan penyususn sumber dari http://abuayaz.blogspot.com/2011/02/hindari-tolok-ukur-kebenaran-ala.html#ixzz2JmyF2h8t diunduh pada tanggal 3 Februari 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar