A.
Rumusan Masalah
1.
Definisi
kebenaran dalam filsafat
2.
Teori-teoti
kebenaran dalam filsafat
3.
Definisi
kebenaran sejati
4.
Tolak
ukur kebenaran
5.
Antara
kebenaran dan filsafat
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Kebenaran Dalam Filsafat Ilmu
Kata
"kebenaran" dapat digunakan sebagai suatu kata benda yang konkret
maupun abstrak (Abbas Hamami, 1983). Jika subjek hendak menuturkan kebenaran
artinya adalah proposisi yang benar. Proposisi maksudnya adalah makna yang
dikandung dalam suatu pernyataan atau statement. Apabila subjek menyatakan
kebenaran bahwa proposisi yang diuji itu pasti memiliki kualitas, sifat atau
karakteristik, hubungan, clan nilai. Hal yang demikian itu karena kebenaran
tidak dapat begitu saja terlepas dari kualitas, sifat, hubungan, dan nilai itu
sendiri. Adanya pelbagai macam kategori sebagaimana tersebut di atas, maka
tidaklah berlebihan jika pada saatnya setiap subjek yang memiliki pengetahuan
akan memiliki persepsi dan pengertian yang amat berbeda satu dengan lainnya.
Kebenaran,
pertama-tama berkaitan dengan kualitas pengetahuan. Artinya ialah bahwa setiap
pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang yang mengetahui sesuatu objek ditilik
dari jenis pengetahuan yang dibangun. Maksudnya apakah pengetahuan itu berupa:
1.
pengetahuan
biasa atau biasa disebut juga knowledge of the man in the street atau ordinary
knowledge atau juga common sense knowledge. Pengetahuan seperti ini memiliki
kebenaran yang sifatnya subjektif, artinya amat terikat pada subjek yang
mengenal. Dengan demikian, pengetahuan tahap pertama ini memiliki sifat selalu
benar, sejauh sarana untuk memperoleh pengetahuan bersifat normal atau tidak
ada penyimpangan.
2.
pengetahuan
ilmiah, yaitu pengetahuan yang telah menetapkan objek yang khas atau spesifik
dengan menerapkan atau hampiran metodologis yang khas pula, artinya metodologi
yang telah mendapatkan kesepa¬katan di antara para ahli yang sejenis. Kebenaran
yang terkandung dalam pengetahuan ilmiah bersifat relatif, maksudnya kandungan
kebenaran dari jenis pengetahuan ilmiah selalu mendapatkan revisi yaitu selalu
diperkaya oleh hasil penemuan yang paling mutakhir. Dengan demikian, kebenaran
dalam pengetahuan ilmiah selalu mengalami pembaharuan sesuai dengan hasil
penelitian yang pa¬ling akhir dan mendapatkan persetujuan --adanya agreement
da¬lam suatu konvensi-- para ilmuwan sejenis.
3.
pengetahuan
filsafati, yaitu jenis pengetahuan yang pendekatannya melalui metodoiogi
pemikiran filsafati, yang sifatnya mendasar dan menyeluruh dengan model
pemikian yang analitis, kritis, dan spekulatif. Sifat kebenaran yang terkandung
dalam pengetahuan filsafati adalah absolut-intersubjektif. Maksudnya ialah
nilai kebenaran yang terkandung jenis pengetahuan filsafat selalu merupakan
pendapat yang selalu melekat pada pandangan filsafat seorang pemikir filsafat
itu serta selalu mendapat pembenaran dari filsuf kemudian yang menggunakan
metodologi pemikiran yang sama pula. Jika pendapat filsafat itu ditinjau dari
sisi lain artinya dengan pendekatan filsafat yang lain sudah dapat dipastikan
hasilnya akan berbeda atau bahkan bertentangan atau menghilangkan sama sekali.
Suatu contoh filsafat matematika/geometri dari Phytagoras sampai kini masih
tetap seperti waktu Phytagoras itu pertama kali memun¬culkan pendapatnya itu
--abad VI Sebelum Masehi--.
4.
kebenaran
pengetahuan yang terkandung dalam pengetahuan agama. Pengetahuan agama memiliki
sifat dogmatis, artinya pernyataan dalam suatu agama selalu dihampiri oleh
keyakinan yang telah ter¬lentu sehingga pernyataan-pernyataan dalam ayat-ayat
kitab suci agama memilki nilai kebenaran sesuai dengan keyakinan yang
di¬gunakan untuk memahaminya itu. Implikasi makna kandungan kitab suci itu
dapat berkembang secara dinamik sesuai dengan perkembangan waktu, akan tetapi
kandungan maksud ayat kitab suci itu tidak dapat dirubah dan sifatnya absolut.[1]
B.
Teori-Teori Kebenaran Dalam Filsafat [2]
1.
Teori Kebenaran Korespondensi
Kebenaran korespondesi adalah kebenaran yang
bertumpu pada relitas objektif. Kesahihan korespondensi itu memiliki pertalian
yang erat dengan kebenaran dan kepastian indrawi. Sesuatu dianggap benar
apabila yang diungkapkan (pendapat, kejadian, informasi) sesuai dengan fakta
(kesan, ide-ide) di lapangan.
Contohnya: ada seseorang yang mengatakan bahwa
Provinsi Yogyakarta itu berada di Pulau Jawa. Pernyataan itu benar karena
sesuai dengan kenyataan atau realita yang ada. Tidak mungkin Provinsi
Yogyakarta di Pulau Kalimantan atau bahkan Papua.
Cara berfikir ilmiah yaitu logika induktif menggunakan
teori korespodensi ini. Teori kebenaran menurut corespondensi ini sudah ada di
dalam masyarakat sehingga pendidikan moral bagi anak-anak ialah pemahaman atas
pengertian-pengertian moral yang telah merupakan kebenaran itu. Apa yang
diajarkan oleh nilai-nilai moral ini harus diartikan sebagai dasar bagi
tindakan-tindakan anak di dalam tingkah lakunya.
2.
Teori Kebenaran Koherensi
Teori ini disebut juga dengan konsistensi, karena
mendasarkan diri pada kriteria konsistensi suatu argumentasi. Makin konsisten
suatu ide atau pernyataan yang dikemukakan beberapa subjuk maka semakin
benarlah ide atau pernyataan tersebut. Paham koherensi tentang kebenaran
biasanya dianut oleh para pendukung idealisme, seperti filusuf Britania F. H.
Bradley (1846-1924).
Teori ini menyatakan bahwa suatu proposisi (pernyataan
suatu pengetahuan, pendapat kejadian, atau informasi) akan diakui sahih atau
dianggap benar apabila memiliki hubungan dengan gagasan-gagasan dari proporsi
sebelumnya yang juga sahih dan dapat dibuktikan secara logis sesuai dengan
kebutuhan-kebutuhan logika. Sederhannya, pernyataan itu dianggap benar
jika sesuai (koheren/konsisten) dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap
benar. Contohnya:
1.
Setiap
manusia pasti akan mati. Soleh
adalah seorang manusia. Jadi, Soleh
pasti akan mati.
2.
Seluruh
mahasiswa PAI, Fakultas Tarbiyah dan keguruan UIN Jogja
mengikuti perkuliahan Filsafat Ilmu. Edy adalah
mahasiswa PAI, Fakultas Tarbiyah dan keguruan UIN Jogja. Jadi, Edy harus mengikuti kegiatan
perkuliahan Filsafat ilmu.
3.
Teori Kebenaran Pragmatik/Pragmatisme
Artinya, suatu pernyataan itu benar jika pernyataan itu
atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan
manusia. Teori pragmatis ini pertama kali dicetuskan oleh Charles S. Peirce
(1839-1914) dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul “How
to Make Our Ideas Clear”.
Dari pengertian diatas, teori ini (teori Pragmatik)
berbeda dengan teori koherensi dan korespondensi. Jika keduanya berhubungan
dengan realita objektif, sedangkan pragmamtik berusaha menguji kebenaran suatu
pernyataan dengan cara menguji melalui konsekuensi praktik dan pelaksanaannya.
Pegangan pragmatis adalah logika pengamatan. Aliran ini
bersedia menerima pengalaman pribadi, kebenaran mistis, yang terpenting dari
semua itu membawa akibat praktis yang bermanfaat.
4.
Teori Kebenaran Performatik
Teori
ini menyatakan bahwa kebenaran diputuskan atau dikemukakan oleh pemegang
otoritas tertentu. Pemegang otoritas yang menjadi rujukan bisa pemerintah, pemimpin
agama, pemimpin adat, pemimpin masyarakat, dan sebagainya. Kebenaran
performatif dapat membawa kepada kehidupan sosial yang rukun, kehidupan
beragama yang tertib, adat yang stabil dan sebagainya. Namun, dismping itu juga masyarakat yang mengikuti kebenaran performatif tidak terbiasa
berpikir kritis dan rasional. Mereka kurang inisiatif dan inovatif, karena
terbiasa mengikuti kebenaran dari pemegang otoritas.
Contohnya; mengenai
penetapan 1 Syawal. Sebagian umat muslim di
Indonesia mengikuti fatwa atau keputusan MUI atau pemerintah, sedangkan
sebagian yang lain mengikuti fatwa ulama tertentu atau organisasi tertentu.
5.
Teori Kebenaran Struktural Pardigmatik
Suatu teori itu dinyatakan benar jika teori itu
berdasarkan pada paradigma atau perspektif tertentu dan ada komunitas ilmuwan
yang mengakui atau mendukung paradigma tersebut. Paradigma
ialah apa yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota suatu masyarakat sains
atau dengan kata lain masyarakat sains adalah orang-orang yang memiliki suatu
paradigma bersama. Masyarakat sains bisa mencapai konsensus yang kokoh karena
adanya paradigma.
Dengan kekuatan paradigma dan masyarakat sains
pendukungnya, diharapkan kebenaran struktural paradigmatik dapat menjawab
berbagai problema kehidupan manusia di masa depan. Krisis global berupa krisis lingkungan dan krisis kemanusiaan yang
selama ini telah dialami oleh manusia karena Sains Modern, cepat atau lambat
akan dijawab oleh konsensus baru dengan paradigma yang menghasilkan metode yang
lebih tepat dalam mengantisipasi krisis global tersebut.
C.
Definisi Kebenaran Sejati
Fitrah manusia apabila telah rusak, jika
melihat kebenaran maka dia akan mengikuti dan mencintainya. Sehingga setiap
kelompok manusia yang meyakini sesuatu dan memperjuangkannya, semua merasa di
atas kebenaran. Akan tetapi, bagaimana mungkin mereka semua di atas al-haq,
kemudian berlawanan satu dengan lainnya. Padahal kebenaran itu satu adanya, dan
tidak ada yang menentangnya kecuali kebatilan dan kesesatan.
Allamah Ar-Raghib Al-Ishfahani menyebutkan
bahwa makna kebenaran (al-haq) secara asal adalah: kesesuaian.
Kemudian, al-haq mempunyai beberapa makna:
1. Pencipta sesuatu dengan satu sebab yang
menunjukkan hikmah (tidak sia-sia) oleh karena itulah Allah dikatakan Al-Haq.
2. Sesuatu yang diciptakan sesuai dengan
tuntutan hikmah (tidak sia-sia). Oleh karena itulah seluruh perbuatan Allah
adalah haq (benar).
3. Keyakinan terhadap sesuatu yang sesuai
dengan sebenarnya, terhadap apa yang ada pada sesuatu tersebut. Seperti ucapan
kita, "Keyakinan Fulan tentang al-ba'ts, pahala, siksa, surga dan neraka
adalah haq."
4. Untuk perbuatan dan perkataan yang terjadi
sesuai dengan apa yang semestinya, seukuran yang semestinya dan pada waktu yang
semestinya. Kemudian beliau juga menyatakan bahwa al-haq (juga) berarti:
Ketetapan yang sesuai dengan tuntutan hikmah.
Dalam Mu'jamul Wasith disebutkan arti al-haq,
yaitu:
• Satu nama dari nama-nama-Nya (Allah) Ta'ala.
• Yang pasti dengan tanpa keraguan.
Di dalam An-Nihayah bab: Haqqaqa, disebutkan:
Di dalam nama-nama Allah terdapat nama Al-Haq,
yaitu Yang benar-benar ada, dan keberadaan-Nya serta Hak-Nya untuk diibadahi
adalah pasti. Dan (juga) Al-Haq adalah lawan dari Al-Bathil (kebatilan).
Sehingga ringkasnya, kebenaran (al-haq) adalah
sebagaimana yang dinyatakan Syaikhul Islam IbnuTaimiyah, yaitu al-haq itu ada
dua jenis:
1. Haq Maujuud (kebenaran yang ada).
Kewajiban (manusia dalam hal ini -pen) adalah
mengetahuinya dan jujur di dalam memberitakannya (ilmu -pent). Sedangkan
lawannya adalah kebodohan dan dusta.
2. Haq Maqshuud (kebenaran yang dituju).
Yaitu yang bermanfaat bagi manusia. Kewajiban
(manusia dalam hal ini -pent) adalah menghendakinya dan mengamalkannya.
Sedangkan lawannya adalah menghendaki kebatilan dan mengikutinya.[3]
D.
Tolak Ukur
Kebenaran
Dari penjelasan
definisi tentang arti sesungguhnya dari kebenaran maka tentunya ada yang
dijadikan tolak ukur dalam menetapkan kebenaran. Sebelumnya akan dibahas
bagaimana kebanyakan orang menjadikan sesuatu sebagai tolak ukur kebenaran.
1.
menjadikan
pendapat mayoritas orang sebagai tolak ukur kebenaran
Diantara
kebiasaan jahiliyah, yaitu terpedaya dengan pendapat mayoritas, menjadikannya
sebagai standar menilai kebenaran. Suatu kebenaran didasarkan kepada pendapat
mayoritas. Sebaliknya, pendapat minoritas dianggapnya sebagai kebathilan tanpa
melihat dalil-dalilnya. Penilaian yang didasarkan dengan argumen seperti di
atas tanpa melihat dalil yang mendukungnya, merupakan cara pandang bathil dan
bertentangan dengan Islam. Allah berfirman.
وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي اْلأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيل
الله
"Dan
jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka
akan menyesatkanmu dari jalanNya" [QS.
Al An’am : 116].
وَلَكِنَّ
أَكْثَرَ النَّاسِ لاَيَعْلَمُونَ
"Tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui".
[QS. Al A’raf : 187].
وَمَاوَجَدْنَا
لأَكْثَرِهِم مِّنْ عَهْدٍ وَإِن وَجَدْنَآ أَكْثَرَهُمْ لَفَاسِقِين
"Dan
Kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami
mendapati kebanyakan mereka orang-orang yang fasik". [QS. Al A’raf : 102].
Dan masih
banyak lagi ayat lain yang menjelaskan hal itu.
2.
berargumentasi
dengan pendapat leluhur (nenek moyang) tanpa meneliti sumber pendapat itu
Ketika para
rasul datang membawa kebenaran dari Allah Azza wa Jalla, kaum jahiliyah
membantahnya dengan menggunakan pendapat nenek moyang mereka. Ketika Nabi Musa
Alaihissallam mengajak Fir’aun agar beriman, Fir’aun berdalih dengan pendapat
orang-orang kafir terdahulu. Ini merupakan argumen yang bathil dan alasan ala
jahiliyah. Begitu pula jawaban kaum Nabi Nuh Alaihissallam ketika diajak untuk
beriman kepada Allah Azza wa Jalla, mereka justru berkata sebagaimana tersebut
di dalam Al Qur`an :
مَاهَذَآ إِلاَّبَشَرٌ مِّثْلَكُمْ يُرِيدُ أَن يَتَفَضَّلَ
عَلَيْكُمْ وَلَوْ شَآءَ اللهُ لأَنزَلَ مَلاَئِكَةً مَّاسَمِعْنَا بِهَذَا فِي
ءَابَآئِنَا اْلأَوَّلِينَ
"Orang
ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, yang bermaksud hendak menjadi
seorang yang lebih tinggi dari kamu. Dan kalau Allah menghendaki, tentu Dia
mengutus beberapa orang malaikat. Belum pernah kami mendengar (seruan yang
seperti) ini pada masa nenek moyang kami yang dahulu". [QS. Al Mukminun:24]
Mereka menolak
dakwah Nabi Nuh Alaihissallam dengan pendapat nenek moyang mereka yang disangka
benar. Adapun ajaran yang dibawa Nabi Nuh Alaihissallam dianggap salah, juga
karena bertentangan dengan pendapat nenek moyang mereka. Begitu juga
orang-orang kafir Quraisy ketika menyanggah dakwah Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam, mereka mengatakan:
مَاسَمِعْنَا بِهَذَا فِي الْمِلَّةِ اْلأَخِرَةِ إِنْ هَذَآ إِلاَّ اخْتِلاَقٌ
"Kami tidak pernah mendengar hal ini (mengesakan Allah) dalam agama yang terakhir; ini tidak lain hanyalah(dusta) yang diada-adakan". [QS. Shad:7].
Maksud dari
agama yang terakhir ialah, ajaran nenek moyang mereka. Ajaran yang dibawa Nabi
Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dianggap merupakan dusta. Mengapa? Tidak
lain karena bertentangan dengan ajaran nenek moyang orang-orang Quraisy yang
menyembah berhala. Mereka tidak kembali kepada agama kakeknya, yaitu Ibrahim
Alaihissallam dan Ismail Alaihissallam. Tetapi justru menyanggahnya dengan
merujuk kepada nenek moyang mereka yang lebih muda. Maksudnya bapak-bapak dan
kakek-kakek mereka di Mekkah, yaitu orang-orang kafir Quraisy. Itulah kebiasaan
orang-orang kafir jahiliyah, yaitu beralasan dengan orang-orang terdahulu,
tanpa melihat sumber pengambilannya.
Banyaknya
mayoritas orang menjadikan sesuatu menjadi tolak ukur kebenaran bukan
menjadikan sesuatu itu adalah benar karena bertentangan sekali dengan firman
Allah di atas. Dimana kita mengetahui bahwa Allah Maha Mengetahui dan Allah
Maha Benar dalam semua firmanNya. Maka dari sini kita harus mempunyai patokan
atau tolak ukur yang benar karena sejatinya kebenaran itu hanya satu tidak
berbilang.
Islam
mengajarkan kepada penganutnya agar meyakini dan mengamalkan semua yang
diperintahkan dalam Al Qur’an dan Sunnah berdasarkan pemahaman Salafush Shalih.
Begitu juga dalam menilai sesuatu itu benar atau tidak, Islam mengajarkan agar
mejadikan Al Qur’an dan Sunnah sebagai tolok ukurnya. Berbeda dengan tradisi
jahiliyah, mereka menjadikan pendapat nenek moyang serta pendapat mayoritas
orang sebagai tolok ukur.
Jadi
tolok ukur kebenaran bukan karena jumlah pengikutnya yang besar, tetapi tolok
ukurnya adalah kebenaran atau kebathilan yang menyertainya. Setiap yang benar
meskipun pengikutnya sedikit, maka harus dipegang teguh. Itulah jalan
keselamatan. Dan semua kebathilan, tidak bisa berubah menjadi benar hanya
karena jumlah pengikutnya yang banyak. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
بَدَأَ
الْإِسْلَامُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ
"Islam itu
muncul sebagai agama yang asing dan suatu saat akan kembali asing sebagaimana
pertama kali muncul".
Maksudnya
ketika kejahatan, fitnah dan kesesatan melanda manusia, yang tersisa berpegang
teguh dengan kebenaran hanyalah segelintir orang yang dianggap asing, hanya
beberapa gelintir orang dari suku-suku yang ada, sehingga menjadi asing di
tengah masyarakat. Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus, umat
manusia berada dalam kekufuran dan kesesatan. Beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam tampil mengajak manusia, namun hanya diterima oleh beberapa orang saja,
yang kemudian terus bertambah banyak. Suku Quraisy, seluruh tanah Arab, juga
seluruh dunia berada dalam kesesatan. Sementara Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam sendiri mengajak umat manusia kepada kebenaran, tetapi yang menerima
dakwah Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mengikutinya sangat sedikit
dibandingkan dengan jumlah manusia di seluruh dunia. Allah berfirman :
وَمَآأَكْثَرُ
النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ
"Dan
sebahagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat
menginginkannya". [QS.
Yusuf:103].
وَإِن
تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي اْلأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ
"Dan jika
kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan
menyesatkanmu dari jalanNya". [QS.
Al An’am:116].
Menjadi
jelaslah bagi kita, bahwa yang boleh dijadikan sebagai ukuran hanyalah Al
Qur`an, Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat yang
mendapat bimbingan langsung dari Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Itulah
tolok ukur kebenaran yang benar. Yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam pasti benar. Allah tidak pernah menyuruh manusia mengikuti
nenek moyangnya. Kalaulah tradisi nenek moyang sudah cukup bagi kita, tentu
Allah k tidak akan mengutus seorang rasul ke dunia. Tolak ukur kebenaran
bukanlah mayoritas ataupun minoritas, akan tetapi, seharusnya adalah kebenaran
itu sendiri, meskipun pendapat ini dianut oleh satu orang saja. Jika mayoritas
manusia berjalan di atas pendapat yang bathil, maka harus ditolak. Oleh sebab
itu, para ulama berkata “kebenaran itu tidak bisa dikenali dengan manusia,
tetapi justru manusia itu dikenali dengan kebenaran”. Siapapun yang berjalan di
atas kebenaran, maka ia harus diikuti.[4]
E.
Antara Kebenaran Dan Filsafat Ilmu
Ilmu logika, mantik, dan filsafat dikenal
masuk ke dalam tubuh kaum muslimin di zaman dinasti Abassiyyah. Yaitu di saat
Yahya bin Khalid bin Barmak, salah seorang menteri Harun Ar-Rasyid, meminta
buku-buku Yunani dari raja Romawi. Waktu itu, buku-buku tersebut disimpan dan
tidak ditampakkan kepada orang-orang Nashara secara umum. Karena dikhawatirkan
akan membawa kepada kesesatan. Tetapi dengan adanya permintaan dari kaum
muslimin tersebut, dengan segera raja Romawi mengirimkan buku-buku Yunani itu
kepada sang menteri. Mereka berharap dapat terlepas dari bahaya buku-buku tersebut,
dan agar kandungan buku-buku itu merusak keadaan kaum muslimin! Salah seorang
dari mereka mengatakan: "Tidaklah ilmu-ilmu ini masuk ke suatu negara
kecuali akan merusakkannya dan memecah-belah ulamanya!!"
Dari sana tersebarlah ilmu filsafat pada sebagian
kaum muslimin. Kemudian pada zaman Tartar menguasai daerah Islam, Nashiruddin
Ath-Thusi mendirikan perguruan Dar Hikmah. Para pelajar (santri) yang
mempelajari filsafat mendapatkan gaji 3 dirham setiap hari. Dia juga mendirikan
Dar Thib, orang yang belajar kedokteran di sana mendapatkan gaji 2 dirham
setiap hari. Begitu pula dia mendirikan Dar Hadits, orang yang belajar hadits
di sana mendapatkan gaji 1/2 dirham setiap hari. Hal ini memacu berkembangnya
filsafat di kalangan kaum muslimin.
Dan kita harus tahu, para ulama Ahlu
Sunnah sepakat membantah ilmu ini. Ketika ditanya tentang permasalahan
filsafat, Abu Hanifah rahimahullâh menjawab: "Itu adalah
perkataan-perkataan ahli filsafat, hendaklah kamu berpegang dengan atsar
(sunnah) dan jalan As-Salaf. Dan jauhilah setiap yang baru, karena hal itu
bid'ah!". Beliau juga menyatakan: "Aku dapati ahli kalam, mereka
memiliki hati yang keras dan kasar. Mereka tidak peduli (ucapan maupun
perbuatan mereka) bertentangan dengan Al-Kitab dan As-Sunnah. Mereka tidak
memiliki sikap wara' dan taqwa." (Siyaru A'lamin Nubala 6/399)
Tidak
dipungkiri disana ada metodologi filsafat yang bermanfaat bagi kita umat islam
dalam menyelesaikan suatu kasus. Dan mungkin juga sampai terlintas dibenak
bahwa metode filsafat mengantarkan kita untuk berfikir secara sistematis. Hal
ini benar adanya tapi hakikatnya kita telah lupa entah karena ketidaktahuan
ataupun karena pengaruh filsafat itu sendiri yang sudah mengakar dalam hati
kita. Kita telah melupakan suatu metode yang sejatinya jauh lebih selamat.
Metode yang telah diterapkan di dunia islam jauh sebelum masuknya pemikiran
filsafat dalam kekuasaan islam saat itu. Metode tersebut adalah metode para ulama
menyusun suatu bahasan ilmu dan juga metode bagaimana untuk sampai kepada
kebenaran.
Para
ulama atas karunia Allah telah menyusun suatu rangka pemikiran yang sistematis.
Hal ini dapat dengan mudah kita saksikan dari karangan dan peninggalan
karya-karya besar mereka sebagaimana kitab Shahih Al Jami Imam Bukhary,
kitab-kitab sunan, syarah ulama dalam berbagai disiplin ilmu sebelum masuknya
pemikiran filsafat yang bahasannya sistematis, urut, dan rinci.
Ketika
kita lebih mendahulukan metode filsafat dalam membentuk pola pikir kita maka
kita secara tidak langsung lebih mengapresiasi/memberikan penghargaan pada
filsafat itu sediri dibandingkan dengan metode cara berfikir ulama, dan kita
lebih mendahulukan keburukan dari kebaikan sebagaimana banyak perkataan ulama
yang mencela ilmu filsafat dan cabang-cabangnya.
Tentunya
bukan mustahil untuk mengupayakan dalam menyebarkan metode yang digunakan para
ulama-ulama besar islam di jaman ini. Dan menjadi tugas besar kita untuk
memulai dari diri-diri kita agar mengenalkan metode para ulama dalam menuliskan
karya ilmiyah dan menerapkan metode tersebut yang bebas dari pengaruh filsafat
sehingga metode tersebut dikenal luas oleh semua kalangan cendikiawan. Sebagaimana
ungkapan arab
“man jadda wa
jada”
Barangsiapa
yang berusaha pasti akan mendapatkannya.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1.
Definisi
kebenaran dalam filsafat ilmu
mempunyai makna yang banyak yang bermuara dalam penjelasan bahwa kebenaran,
pertama-tama berkaitan dengan kualitas pengetahuan. Artinya ialah bahwa setiap
pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang yang mengetahui sesuatu objek ditilik
dari jenis pengetahuan yang dibangun.
2.
Teori-teori kebenaran dalam filsafat :
a.
Teori
kebenaran korespondensi
b.
Teori
kebenaran koherensi
c.
Teori
kebenaran pragmatic
d.
Teori
kebenaran performatik
e.
Teori
kebenaran structural pardigmatik
3.
Definisi kebenaran sejati
kebenaran
(al-haq) adalah sebagaimana yang dinyatakan Syaikhul Islam IbnuTaimiyah, yaitu
al-haq itu ada dua jenis:
1. Haq Maujuud
(kebenaran yang ada).
Kewajiban
(manusia dalam hal ini -pen) adalah mengetahuinya dan jujur di dalam
memberitakannya (ilmu -pent). Sedangkan lawannya adalah kebodohan dan dusta.
2. Haq Maqshuud
(kebenaran yang dituju).
Yaitu yang
bermanfaat bagi manusia. Kewajiban (manusia dalam hal ini -pent) adalah
menghendakinya dan mengamalkannya. Sedangkan lawannya adalah menghendaki
kebatilan dan mengikutinya.[6]
4.
Tolak ukur kebenaran
Islam mengajarkan kepada penganutnya agar meyakini dan mengamalkan
semua yang diperintahkan dalam Al Qur’an dan Sunnah berdasarkan pemahaman
Salafush Shalih. Begitu juga dalam menilai sesuatu itu benar atau tidak, Islam
mengajarkan agar mejadikan Al Qur’an dan Sunnah sebagai tolok ukurnya. yang
menjadi tolok ukur kebenaran bukanlah mayoritas ataupun minoritas, akan tetapi,
seharusnya adalah kebenaran itu sendiri, meskipun pendapat ini dianut oleh satu
orang saja. Jika mayoritas manusia berjalan di atas pendapat yang bathil, maka
harus ditolak. Oleh sebab itu, para ulama berkata “kebenaran itu tidak bisa
dikenali dengan manusia, tetapi justru manusia itu dikenali dengan kebenaran”.
Siapapun yang berjalan di atas kebenaran, maka ia harus diikuti. Dan kembali
tolak ukurnya ditimbang berdasarkan Alqur’an dan sunnah.
5.
Antara Kebenaran dan Filsafat.
Tidak dipungkiri disana ada metodologi filsafat yang bermanfaat
bagi kita umat islam dalam menyelesaikan suatu kasus. Dan mungkin juga sampai
terlintas dibenak bahwa metode filsafat mengantarkan kita untuk berfikir secara
sistematis. Hal ini benar adanya tapi hakikatnya kita telah lupa entah karena
ketidaktahuan ataupun karena pengaruh filsafat itu sendiri yang sudah mengakar
dalam hati kita. Kita telah melupakan suatu metode yang sejatinya jauh lebih
selamat. Metode yang telah diterapkan di dunia islam jauh sebelum masuknya
pemikiran filsafat dalam kekuasaan islam saat itu. Metode tersebut adalah
metode para ulama menyusun suatu bahasan ilmu. Dimana para ulama menyusun karya
mereka dengan sistematis dan mudah dipahami. Dan karya yang sistematis tersebut
tidak bisa dicapai kecuali telah mempunyai pola fikir yang runut dan
sistematis.
Ketika kita lebih mendahulukan metode filsafat dalam membentuk pola
pikir kita maka kita secara tidak langsung lebih mengapresiasi/memberikan
penghargaan pada filsafat itu sediri dibandingkan dengan metode cara berfikir
ulama, dan kita lebih mendahulukan keburukan dari kebaikan sebagaimana banyak
perkataan ulama yang mencela ilmu filsafat dan cabang-cabangnya.
Diunduh pada tanggal 3 Februari 2013
[2]
Bahasan ini diambil pada situs http://yayanmafiozo35.blogspot.com/2012/03/teori-teori-kebenaran-dalam-filsafat.html
diunduh pada tanggal 3 Februari 2013
[3]
Bahasan pada
poin ini sampai pada penjelasannya di sini diambil dari http://abuayaz.blogspot.com/2012/01/kebenaran-makna-ukurannya.html diunduh pada
tanggal 3 februari 2013
[4]
Diubah suaiakan dengan bahasan penyususn sumber dari http://abuayaz.blogspot.com/2011/02/hindari-tolok-ukur-kebenaran-ala.html#ixzz2JmyF2h8t
diunduh pada tanggal 3 Februari 2013.
[5] http://majalah-assunnah.com/index.php/tajuk/314-filsafat-merusak-umat
diunduh pada tanggal 28 februari 2013.
Diunduh pada tanggal 28 Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar