
Pada asalnya,
hati memiliki kecenderungan dan kecondongan untuk mencintai apa yang Allah
Subhanahu wa Ta’ala cintai dan membenci apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala
benci. Jika diingatkan akan keberadaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, keagungan dan
kebesaran, serta ayat-ayat dan tanda-tanda kekuasaan-Nya, hati akan teringat
kepada-Nya. Jika ditakut-takuti akan berat dan sakitnya azab Allah Subhanahu wa
Ta’ala, hati akan takut kepada-Nya. Inilah hati yang mendapatkan petunjuk Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Dia memberikan petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
اللهُ نَزَّلَ
أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ
الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ
اللَّهِ ذَلِكَ هُدَى اللهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُضْلِلِ اللهُ
فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ
“Allah telah menurunkan perkataan yang paling
baik (yaitu) Al-Qur`an yang serupa lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit
orang-orang yang takut kepada Rabbnya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati
mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia
menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya.” (Az-Zumar: 23)
Namun, apabila
hati telah ternodai, berkarat seperti pada besi, diingatkan akan ayat-ayat dan
tanda-tanda kekuasaan-Nya, kepada kenikmatan-kenikmatan dan siksaan-Nya, dia
tidak akan ingat. Bahkan akan mengingkari, terus menerus berdiri dan berjalan
di atas kebatilan –baik dalam keyakinan maupun ucapan–, di sekitar keburukan dan
kerusakan ucapan dan perbuatan… Jika demikian, ini bukanlah
hati seorang muslim, seperti yang Allah Subhanahu wa Ta’ala firmankan:
بَلْ عَجِبْتَ
وَيَسْخَرُونَ. وَإِذَا ذُكِّرُوا لاَ يَذْكُرُونَ
“Bahkan kamu
menjadi heran (terhadap keingkaran mereka) dan mereka menghinakanmu. Dan
apabila mereka diberi peringatan mereka tidak mengingatnya.” (Ash-Shaffat:
12-13)
Demikian pula
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَإِذَا قِيلَ
لَهُ اتَّقِ اللهَ أَخَذَتْهُ الْعِزَّةُ بِالْإِثْمِ فَحَسْبُهُ جَهَنَّمُ
وَلَبِئْسَ الْمِهَادُ
“Dan apabila
dikatakan kepadanya: ‘Bertakwalah kepada Allah’, bangkitlah kesombongannya yang
menyebabkannya berbuat dosa.” (Al-Baqarah: 206)
Di antara
sekian bentuk peringatan yang tersebut dalam Al-Qur`an maupun dalam
hadits-hadits yang shahih adalah ajakan untuk mensyukuri nikmat Allah Subhanahu
wa Ta’ala, baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah, dan peringatan dari
mengkufuri (mengingkari)-nya. Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَاذْكُرُونِي
أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلاَ تَكْفُرُونِ
“Dan
bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari nikmat)-Ku.” (Al-Baqarah:
152)
Demikian pula
adanya perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada manusia secara umum untuk
mengingat nikmat-Nya. Karena apapun bentuknya, segala yang telah diperoleh
setiap manusia berupa kenikmatan baik yang lahir maupun yang batin, kesehatan,
kelapangan waktu maupun rizki, banyak maupun sedikit, baik dirasakan dan
disadari maupun tidak, semuanya datang dari-Nya. Dialah yang menciptakan langit
dan bumi. Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dialah yang menganugerahkan
rahmat kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا
النَّاسُ اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللهِ
يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ فَأَنَّى
تُؤْفَكُونَ
“Hai manusia,
ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah pencipta selain Allah yang dapat
memberikan rizki kepada kamu dari langit dan bumi? Tidak ada sesembahan (yang
berhak disembah) kecuali Dia; maka mengapa kalian berpaling?” (Fathir: 3)
Dari sekian
nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang wajib untuk disyukuri ialah adanya anak
di tengah keluarga. Merupakan idaman, harapan dan dambaan bagi yang telah
berkeluarga, adanya anak yang dapat menjadi penghibur bagi keduanya. Selain
itu, terbetik harapan agar ia menjadi anak yang taat kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lagi berbakti kepada
orangtua, serta menjadi anak yang baik lagi beragama.
Allah Subhanahu
wa Ta’ala menciptakan manusia melalui sebab adanya orangtua. Karena itulah
Allah l agungkan hak kedua orangtua atas anaknya (yaitu kewajiban yang harus
ditunaikan oleh seorang anak kepada kedua orangtuanya). Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
وَوَصَّيْنَا
الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا
“Dan Kami
wajibkan manusia (berbuat baik) kepada kedua orangtuanya.” (Al-’Ankabut: 8)
Adakah harapan
dan dambaan serta kebanggaan yang lain bagi orangtua yang muslim dan beriman,
jika anak yang lahir darinya dan dididik di atas fitrahnya, selain mendapati
anaknya menjadi anak shalih yang senantiasa mendoakan orangtuanya, dan di hari
kiamat ia menjadi sebab terangkatnya derajat kedua orangtuanya?
Dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا مَاتَ
الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ؛ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ
عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ الَّذِي يَدْعُو لَهُ
“Apabila
manusia telah mati, terputuslah amalannya kecuali tiga hal: shadaqah jariyah,
ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakannya.” (HR. Muslim)
Memang tidak
semua anak yang lahir akan menjadi dambaan dan kebahagiaan bagi kedua
orangtua. Ada pula anak yang menjadi siksaan bagi keduanya.
Oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلاَدِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ
فَاحْذَرُوهُمْ
“Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istri dan anak-anakmu
ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka.”
(At-Taghabun: 14)
Jika demikian,
apakah yang sudah dilakukan oleh orangtua untuk anaknya? Adakah keinginan untuk
menyenangkan anak cukup dengan mengikuti dan memenuhi segala apa yang disenangi
dan dimaui, tanpa memedulikan keselamatan agamanya? Sudahkah seorang ayah atau
ibu memberikan atau mengupayakan sesuatu yang dapat menjadi sebab untuk
menguatkan sang anak agar ia hidup dan meninggal tetap berada di atas
fitrahnya? Tidakkah seorang menyadari bahwa orangtua menjadi sebab akan agama
yang dianut anaknya? Di manakah dia berada?
B.
Fitrah Anak Dan Pengaruh Lingkungan Pada Anak.
Peran orang tua sangat menentukan baik-buruk serta utuh-tidaknya
kepribadian anak. Untuk itu orang tua pasti akan dimintai pertanggung jawaban
di hadapan Allah Azza wa Jalla kelak di akhirat tentang anak-anaknya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلاَّ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ
فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
Tiada seorangpun yang dilahirkan kecuali dilahirkan pada fithrah
(Islam)nya. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau
Majusi. [HR. al-Bukhâri dan Muslim]
Hadits ini menunjukkan bahwa orang tua sangat menentukan shaleh-tidaknya
anak. Sebab pada asalnya setiap anak berada pada fitrah Islam dan imannya;
sampai kemudian datanglah pengaruh-pengaruh luar,
termasuk benar-tidaknya orang tua mengelola mereka.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ
رَعِيَّتِهِ اْلإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي
أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ
زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا
Setiap engkau adalah pemelihara, dan setiap engkau akan dimintai
pertanggung jawaban mengenai apa yang menjadi tanggung jawab pemeliharaannya:
Seorang pemimpin adalah pemelihara, ia akan dimintai pertanggung jawaban
mengenai apa yang menjadi tanggung jawab pemeliharaannya. Seorang laki-laki
juga pemelihara dalam keluarganya, ia akan dimintai pertanggung jawaban
mengenai apa yang menjadi tanggung jawab pemeliharaannya. Dan seorang perempuan
adalah pemelihara dalam rumah suaminya, ia akan dimintai pertanggung jawaban
mengenai apa yang menjadi tanggung jawab pemeliharaannya. [HR. al-Bukhâri].[2]
Sesungguhnya, upaya mengarahkan anak menjadi anak shaleh yang
beribadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla dan meninggalkan serta membenci
kemusyrikan, akan dapat dilakukan melalui proses tarbiyah (pendidikan).
"Tarbiyah merupakan salah satu segi kehidupan manusia yang
terpenting".
Murabbi atau pendidik sebenarnya hanyalah Allah Azza wa Jalla semata, tiada sekutu baginya dalam Rububiyah. Dia adalah Rabb (yang mentarbiyah) seluruh alam semesta. Orang yang paling banyak dapat menyerap pola tarbiyah kenabian ajaran Allah Azza wa Jalla ini adalah orang yang paling banyak ittiba' terhadapnya, baik keilmuannya, pengamalannya maupun da'wahnya. Tarbiyah atau pendidikan yang benar dilaksanakan agar dapat membentuk pribadi yang beribadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla dan tentunya harus bertumpu pada aturan tarbiyah Allah Azza wa Jalla . Sebab Dia-lah Murabbi sebenarnya. Berarti pula harus berwujud pengarahan terhadap umat secara umum, dan terhadap anak-anak secara khusus, untuk senantiasa mengikuti petunjuk (huda) Allah Azza wa Jalla .
Murabbi atau pendidik sebenarnya hanyalah Allah Azza wa Jalla semata, tiada sekutu baginya dalam Rububiyah. Dia adalah Rabb (yang mentarbiyah) seluruh alam semesta. Orang yang paling banyak dapat menyerap pola tarbiyah kenabian ajaran Allah Azza wa Jalla ini adalah orang yang paling banyak ittiba' terhadapnya, baik keilmuannya, pengamalannya maupun da'wahnya. Tarbiyah atau pendidikan yang benar dilaksanakan agar dapat membentuk pribadi yang beribadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla dan tentunya harus bertumpu pada aturan tarbiyah Allah Azza wa Jalla . Sebab Dia-lah Murabbi sebenarnya. Berarti pula harus berwujud pengarahan terhadap umat secara umum, dan terhadap anak-anak secara khusus, untuk senantiasa mengikuti petunjuk (huda) Allah Azza wa Jalla .
Sesungguhnya di kehidupan dunia ini terdapat dua bahaya yang
besar, yaitu:
1. Bahaya syubhat.
Yaitu bahaya yang akan merusak dan merubah keyakinan, dari yang benar menjadi
menyimpang.
2. Bahaya syahwat.
Yaitu bahaya yang akan merusak kepribadian dan ketaatan terhadap perintah
agama.
Dalam pengelolaan pendidikan, anak pun akan menghadapi dua
bahaya besar ini. Oleh karenanya, orang tua harus selalu waspada terhadap dua
bahaya ini. Bahaya yang akan merusak pemikiran, pemahaman serta keyakinan anak,
hingga menjerumuskannya dalam bid'ah, kemusyrikan atau kekufuran; itulah bahaya
syubhat. Sedangkan bahaya yang akan merusak keutuhan pribadi anak serta
ketaatannya hingga menjerumuskannya ke dalam kemaksiatan, kefasikan dan ketidak
teguhan dalam menjalankan hukum-hukum agama; itulah bahaya syahwat.
Bahaya syubhat harus diatasi dengan pendidikan ilmu yang benar
dan baik. Sehingga, orang tua harus melakukan langkah-langkah yang tepat. Di
antaranya adalah menanamkan aqidah dan ilmu yang lurus, memilihkan lembaga
pendidikan yang bersih dari syubhat-syubhat ilmiah, lembaga pendidikan yang
tidak mengajarkan filsafat dan ajaran-ajaran menyimpang serta memilihkan
lingkungan pergaulan yang bersih. Juga harus memberikan pengawasan ketat
terhadap buku-buku yang dibacanya. Jangan sampai buku-buku yang dibacanya
adalah buku-buku yang membawa penyimpangan pemikiran atau kesesatan.
Sedangkan bahaya syahwat harus diatasi dengan bimbingan secara
kontinyu menuju pelaksanaan perintah agama. Kemudian memilihkan lingkungan
pergaulan yang baik; memilihkan lembaga pendidikan yang ketat pengawasannya
terhadap kemaksiatan dan pelanggaran syari'at; serta ketat dalam memberikan
keteladanan yang baik dan senantiasa meminimalisir potensi berkembangnya
kemaksiatan, penyimpangan serta pelanggaran syar'i pada diri anak. Di samping
itu orang tua juga harus memberikan pengawasan terhadap bahan-bahan bacaan
anak.
Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah mengatakan, “Dua perkara ini,
yaitu syubhat dan syahwat, merupakan pangkal rusaknya seorang manusia dan
kesengsaraannya di dunia maupun di akhirat. Sebagaimana dua pokok yang pertama,
yaitu meyakini segala berita dari Allah Azza wa Jalla dan mentaati
perintah-Nya, merupakan pangkal kebahagiaan dan kebaikan manusia, di dunia maupun
di akhirat.
Menjadi apa dan bagaimana seorang anak itu, tentunya sangat
dipengaruhi oleh pola didik dan apa-apa yang diserap selama hidupnya. Dan tentu
saja besar sekali pengaruh lingkungan pada diri seorang anak. Pengaruh inilah
yang mencetak seorang anak menjadi pribadi-pribadi sebagai produk dari
lingkungan ia dibesarkan.
C. Kewajiban Orang Tua [3]
Orang tua bertanggung jawab sepenuhnya terhadap anak-anaknya.
Karena itu hendaknya setiap orang tua memperhatikan sepenuhnya perkembangan
serta masa depan anak-anaknya, masa depan yang bukan berorientasi pada sukses
duniawi, tetapi yang terpenting adalah sukses hingga akhiratnya. Dengan
demikian, orang tua tidak boleh mementingkan diri sendiri, misalnya dengan
melakukan dorongan yang secara lahiriah terlihat seakan-akan demi kebaikan anak, padahal sesungguhnya untuk kepentingan kebaikan, prestise
atau popularitas orang tua. Sehingga akhirnya salah langkah.
Jika dikembalikan kepada tujuan diciptakannya manusia, yaitu
hanya untuk beribadah kepada Allah Azza wa Jalla saja. Maka peran orang tua
menjadi sangat besar untuk mengarahkan anak-anaknya menjadi hamba-hamba Allah
Azza wa Jalla yang shaleh, yang hanya beribadah kepada-Nya saja. Merupakan dosa
besar jika orang tua tidak sungguh-sungguh mengarahkan anak-anaknya menuju
peribadatan yang menjadi tujuan diciptakannya manusia.
Dalam hal ini keteladanan para nabi 'alaihimush shalâtu was
salâm harus di ikuti. Sebagai contoh, Allah Azza wa Jalla menceritakan
perhatian Nabi Ya'kub Alaihissallam terhadap anak-anaknya. Allah Azza wa Jalla
menceritakan perkataan beliau kepada anak-anaknya saat beliau menjelang wafat:
أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ
الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ
إِلَٰهَكَ وَإِلَٰهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَٰهًا
وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
Adakah kamu hadir ketika Ya'kûb kedatangan (tanda-tanda) maut,
ketika ia berkata kepada anak-anaknya:"Apa yang kamu sembah
sepeninggalku?" Mereka menjawab:"Kami akan menyembah Sesembahan-mu
dan Sesembahan nenek moyangmu; Ibrâhîm, Isma'il, dan Ishâk, (yaitu) Sesembahan
satu-satu-Nya yang Maha esa dan kami hanya tunduk kepada-Nya".
[al-Baqarah/2:133]
Meskipun ayat ini sebenarnya ditujukan untuk membantah anggapan orang-orang ahlul kitab bahwa Ibrâhîm, Ishâk, Ismâ'îl dan Ya'kûb adalah orang-orang yang beragama Yahudi atau Nasrani, namun juga mengandung pengertian jelas bahwa nabi-nabi tersebut senantiasa memperhatian akidah anak keturunannya. Yaitu agar mereka selalu hanya beribadah kepada Allah Azza wa Jalla saja.
Begitu juga perhatian dan pendidikan yang dilakukan Lukman kepada anaknya. Secara ringkas intisari pelajaran dalam Surah Luqmân tersebut adalah sebagai berikut:
Meskipun ayat ini sebenarnya ditujukan untuk membantah anggapan orang-orang ahlul kitab bahwa Ibrâhîm, Ishâk, Ismâ'îl dan Ya'kûb adalah orang-orang yang beragama Yahudi atau Nasrani, namun juga mengandung pengertian jelas bahwa nabi-nabi tersebut senantiasa memperhatian akidah anak keturunannya. Yaitu agar mereka selalu hanya beribadah kepada Allah Azza wa Jalla saja.
Begitu juga perhatian dan pendidikan yang dilakukan Lukman kepada anaknya. Secara ringkas intisari pelajaran dalam Surah Luqmân tersebut adalah sebagai berikut:
1. Disyari'atkannya
agar orang tua memberikan pendidikan dan wasiat kepada anak-anaknya tentang apa
yang dapat memberikan manfaat di dunia dan di akhirat.
2. Wasiat itu harus
dimulai dari persoalan tauhid dan peringatan dari syirik, karena syirik
merupakan kezhaliman serta ketidak-adilan yang akan menghapuskan amal.
3. Kemudian tentang
wajibnya bersyukur kepada Allah Azza wa Jalla , bersyukur (berterimakasih)
kepada kedua orang tua, dan tentang wajibnya berbuat kebaikan kepada kedua
orang tua.
4. Selanjutnya tentang
tidak boleh taat kepada siapapun jika perintahnya merupakan kemaksiatan kepada
Allah Azza wa Jalla . Ketaatan hanyalah dalam hal yang tidak maksiat.
5. Tentang wajibnya
mengikuti jalan kaum Mu'minin yang bertauhid, serta haramnya mengikuti jalan
para ahli bid'ah.
6. Wajibnya merasa
selalu diawasi oleh Allah Azza wa Jalla , baik dalam keadaan tertutup atau
terbuka. Dan tidak boleh meremehkan urusan kebaikan atau keburukan meskipun
kecil atau sedikit.
7. Wajibnya mendirikan
shalat secara benar sesuai dengan rukun dan syarat-syaratnya, dan harus
thuma'nînah di dalamnya.
8. Wajibnya
melaksanakan amar ma'ruf – nahi mungkar dengan lemah lembut sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan.
9. Tentang keharusan
bersabar dalam menghadapi tantangan ketika melaksanakan amar ma'ruf – nahi
mungkar.
10. Tentang haramnya
sombong dan haramnya congkak ketika berjalan.
11. Tentang sikap
sederhana dan sedang ketika berjalan, tidak lamban dan tidak terlalu cepat.
12. Dan juga tentang
tidak meninggikan suara melebihi kebutuhan, sebab bersuara keras di luar
kebutuhan merupakan kebiasaan keledai.
Semoga kita diberi taufiq untuk mendidik anak-anak kita dalam fitrahnya dan menjaga mereka dari pengaruh buruk syubhat dan syahwat serta menjadikan mereka semua anak-anak yang shaleh, berbakti pada orangtua, dan menjadi da'i ilallah..aamiin.
[1]
Diringkas dari http://anakmuslim.wordpress.com/2009/01/19/orangtua-sebab-sang-anak-berada-pada-suatu-agama/
diakses pada tanggal 23 November 2013.
[2]
http://almanhaj.or.id/content/3466/slash/0/orang-tua-bertanggung-jawab/
diakses pada tanggal 24 November 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar