Selasa, 19 November 2013

TASAWUF DAN AQIDAH SUFI

A. Apa Itu Tasawuf

Tasawuf merupakan gerakan berpola pikir filsafat klasik yang mengekor kepada para filosof dan ahli syair Romawi, India dan Persia. Namun, dalam hal ini, kita akan membatasi kajian masalah sufi dengan berkedok Islam. Kedok Islam ini dikenakan sebagai upaya menutupi hakikatnya. Maka barangsiapa yang meneliti dan mengamati gerak-geriknya, niscaya akan berkesimpulan, bahwa sufi bukan Islam. Baik menyangkut aqidah, prilaku dan pendidikan.

B. Mengenal Beberapa Keyakinan Sufi

Sesungguhnya para penguasa sufi telah berusaha memelihara keyakinan-keyakinan tasawuf, yakni, dengan merancukan dan menghapuskan ayat-ayat Al-Kitab Al-Karim. Membolak-balik, serta merubah pemahaman Sunnah An-Nabawiyah yang telah suci. Akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta‟ala telah menakdirkan untuk agama ini, orang-orang yang memperbaharui agama-Nya. Yakni, dengan membersihkan Islam dari bermacam aqidah dan filsafat yang mengalir dalam benak manusia akibat pengaruh pola pikir keberhalaan. Maka, diungkaplah borok-borok mereka, dipilah perkataan mereka serta diterangkan kebohongannya. Metoda merekapun dibuyarkan dengan menelaah kitab-kitab induk sufi. Diantara keyakinan mendasar mereka adalah adanya ilmu laduni. Istilah ilmu laduni ini dikaitkan kepada firman-Nya Subhanahu wa Ta‟ala tentang nabi Khidir: “wa „allamnaahu min Ladunnaa „ilmaan” “Artinya :…Dan Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.”. [Al-Kahfi : 65].

Yang dimaksud dengan ayat diatas, menurut mereka, adalah disingkapnya ala ghaib bagi mereka. Caranya, dengan kasyaf (penyingkapan), tajliyat (penampakan) serta melakukan kontak langsung dengan Allah dan Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam. Mereka berdalil dengan firman-Nya Subhanahu wa Ta‟ala.
“Artinya : Dan bertaqwalah kepada Allah, maka Allah akan mengganjari kepada kalian semua”. [Al-Baqarah : 282].

Pemikiran ilmu laduni dipelopori oleh Hisyam Ibnu Al-Hakam (wafat 199H), seorang penganut Syi‟ah yang mahir ilmu kalam. Ia berasal dari Kufah.
Orang-orang sufi, dalam rangka merealisir ajarannya, menempuh beberapa jalan. Jalan terpenting itu, diantaranya :

1. Menjauhkan diri dari menuntut ilmu syar’i.
Dikatakan oleh Al-Junaid, seorang pentolan sufi, “Yang paling aku sukai pada seorang pemula, bila tak ingin berubah keadaannya, hendaknya jangan menyibukkan hatinya dengan tiga perkara berikut : mencari penghidupan, menimba ilmu (hadits) dan menikah. Dan yang lebih aku sukai lagi, pada penganut sufi, tidak membaca dan menulis. Karena hal itu hanya akan menyita perhatiannya”.
Demikian pula yang dikatakan Abu Sulaiman Ad-Darani,“Jika seseorang menimba ilmu (hadits), bepergian untuk mencari penghidupan, atau menikah, sungguh ia telah condong kepada dunia”

2. Menghancurkan sanad-sanad hadits dan menshahihkan hadits-hadits dha’if (lemah), munkar dan maudhu’ (palsu) dengan cara kasyaf.
Sebagaimana dikatakan Abu Yazid Al-Busthami,“Kalian mengambil ilmu dari mayat ke mayat. Sedang kami mengambil ilmu dari yang Maha Hidup dan tidak pernah mati. Hal itu seperti yang telah disampaikan para pemimpin kami : “Telah mengabarkan pada aku hatiku dari Rabbku”. Sedang kalian (maksudnya, kalangan Ahlu Al-hadits) mengatakan : “Telah mengabarkan kepada kami Fulan”. Padahal, bila ditanya dimana dia (si Fulan tersebut) ?. Tentu akan dijawab : “Ia (Fulan, yakni yang meriwayatkan ilmu atau hadits tersebut) telah meninggal”. “(Kemudian) dari Fulan (lagi)”. Padahal, bila ditanyakan dimana dia (Fulan tadi)? Tentu akan dijawab : “Ia telah meninggal”.[5]
Dikatakan pula oleh Ibnu Arabi,“Ulama Tulisan mengambil peninggalan dari salaf (orang-orang terdahulu) hingga hari kiamat. Itulah yang menjauhkan atau menjadikan timbulnya jarak antara nasab mereka. Sedang para wali mengambil ilmu dari Allah (secara langsung -peny). Yakni, dengan cara Ia (Allah) mengilhamkan kedalam hati para wali”[6].
Dikatakan oleh Asy-Sya‟rani,“Berkenan dengan hadits-hadits. Walaupun cacat menurut para ulama ilmu hadits, tapi tetap shahih menurut ulama ilmu kasyaf”.[7].

3. Menganggap menimba ilmu (hadits) sebagai perbuatan aib dan merupakan jalan menuju kemaksiatan serta kesalahan.
Ibnu Al-Jauzi menukil, bahwa ada seorang syaikh sufi melihat seorang murid membawa papan tulis (baca : buku), maka dikatakannya kepada murid tersebut :”Sembunyikan auratmu”.[8] Bahkan, mereka saling mewariskan sebagian pameo-pameo yang bertendensi menjauhkan peninggalan salaf, umpanya : Barang siapa gurunya kitab, maka salahnya lebih banyak dari benarnya.


C. Sanggahan terhadap pernyataan-pernyataan dalam keyakinan sufi
 Pertama.
Barangsiapa berkeyakinan, bahwa dengan kemampuannya dapat berjumpa dengan Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam, seperti keadaan nabi Khidir dengan nabi Musa, maka ia telah kafir berdasarkan ijma‟ para ulama kaum muslimin. Karena, nabi Musa tidaklah diutus kepada nabi Khidir, dan tidak pula nabi Khidir diperintahkan untuk mengikuti nabi Musa.
Padahal Allah telah menjadikan masing-masing nabi mempunyai jalan dan minhaj yang berbeda-beda. Dan peristiwa yang demikian itu, berulang kali terjadi sebelum beliau diutus sebagai nabi. Seperti, sezamannya nabi Luth denga nabi Ibrahim, nabi Yahya dengan nabi Isa. Sesungguhnya para nabi tersebut dibangkitkan untuk kaumnya saja, sedangkan Muhammad shalallallahu „alaihi wa sallam dibangkitkan untuk seluruh manusia hingga hari kiamat.

 Telah bersabda Shallallahu „alaihi wa sallam.
“Artinya : Adalah para nabi diutus untuk kaumnya saja, sedangkan aku diutus untuk seluruh manusia”. [Hadits Shahih Riwayat Bukhari dan Muslim].

“Artinya : Tidak seorang pun dari umat ini yang mendengar tentangku, baik Yahudi atau Nashrani, kemudian tidak beriman kepadaku, melainkan akan dimasukkan ke neraka” [Hadits Shahih Riwayat Muslim I/93]
Aqidah semacam ini merupakan asasnya Islam, berdasarkan firman-Nya Subhanahu wa Ta‟ala.

“Artinya : Tidaklah engkau Kami utus kecuali untuk seluruh manusia, sebagai pemberi khabar gembira dan pemberi peringatan”. [Saba' : 28]

Dan firman-Nya Subhanahu wa Ta‟ala.
“Artinya : Katakanlah, wahai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian semua”. [Al-A'raf : 157]
Dan siapa saja yang „alim, baik jin maupun manusia, diperintahkan untuk mengikuti rasul yang ummi ini. Maka barangsiapa yang mengaku bahwa dengan kemampuannya dapat keluar dari minhaj dan petunjuk nabi Muhammad shallallahu „alaihi wa sallam ke minhaj lainnya, walaupun minhaj Isa, Musa, Ibrahim, maka dia sesat dan menyesatkan. Telah bersabda Shalallahu „alaihi wa sallam.
“Artinya : Seandainya Musa turun, lalu kalian semua mengikutinya dan meninggalkan aku, maka sungguh sesatlah kalian. Aku adalah bagian kalian, dan kalian adalah bagian dari umat-umat yang ada”. [Riwayat Baihaqi dalam Syu'abu al-Iman, dan lihat pula dalam Irwa'al-Ghalil karangan Al-Bani hal. 1588]
Adapun keyakinan orang-orang sufi bahwa nabi Khidir masih tetap hidup, selalu berhubungan dengan mereka, mengajarkan kepada mereka ilmu yang diajarkan Allah kepadanya, seperti nama-nama Allah yang Agung, hal ini merupakan dusta dan mengada-ada. Karena menyelesihi Al-Qur‟an secara nyata :
“Artinya : Dan tidaklah kami jadikan seorang manusiapun sebelummu abadi”. [Al-Anbiya' : 34]
“Artinya : Tidak ada satu jiwapun yang bernafas pada hari ini yang datang dari zaman seratus tahun sebelumnya, sedangkan dia saat sekarang ini masih hidup”. [Hadits Riwayat Ahmad dan Tirmidzi dari Jabir]
Hadits-hadits yang menerangkan masih hidupnya nabi Khidir semuanya maudhu’ (palsu) menurut kesepakatan seluruh ulama hadits.[9]

 Kedua.
Adapun hujjah mereka dengan firman-Nya Subhanahu wa Ta‟ala.
“Artinya : Dan bertaqwalah kepada Allah dan Allah akan mengajarimu (ilmu)”. [Al-Baqarah : 282]
Hal itu bukanlah hujjah, karena Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam telah menerangkan pemahaman ayat ini dan telah menentukan cara mencari ilmu yang disyari‟atkan dan diwajibkan atas setiap muslim. Seperti sabdanya Shallallahu „alaihi wa sallam.
“Artinya : Sesungguhnya ilmu itu (diperoleh) dengan cara belajar”. [Hadits Riwayat Daruquthni dalam Al-Ifrad wa al-Khatib dalam tarikhnya dari Abu Hurairah dan Abu Darda'. Lihat Silsilah Ash-Shahihah 342]
Kata innama (sesungguhnya) disini adalah untuk membatasi.

 Ketiga.
Perihal pendapat mereka yang menyatakan, bahwa mencari ilmu dengan cara belajar adalah jalan yang memayahkan, terlalu bertele-tele, dianggap condong kepada dunia serta menyita perhatian dan kesungguhan (walaupun telah tinggi dalam menuntut ilmu tadi), tetap dianggap tidak sempurna. Kecuali, bila ditempuh dengan cara kasyaf dan ilham.
Berkenan dengan ilmu itu sendiri, termasuk tentunya dalam pengamalannya. Bahkan sebatas mencari ilmu semata. Berkata Ibnu Al-Jauzi, “Iblis menginginkan untuk menutup jalan tersebut dengan cara yang paling samar. Memang jelas bahwa yang dimaksud adalah mengamalkannya bukan sebatas mencari ilmu saja. Namun, dalam hal ini para penipu itu telah menyembunyikan masalah pengamalannya. [10] Dan tidaklah kasyaf yang mereka dakwakan itu, kecuali hanya khayalan setan belaka.
“Artinya : Maukah Aku khabarkan kepada kalian tentang kepada siapa setan turun ? (Setan) turun kepada setiap pendusta dan suka berbuat dosa. Mereka menghadapkan pendengarannya itu (kepada setan), dan kebanyakan mereka adalah orang-orang pendusta”. [Asy-Syu'ara : 221-223]
“Artinya : Tidaklah kamu melihat bahwasanya Kami telah mengirim setan-setan itu kepada orang-orang kafir untuk menghusung mereka agar berbuat maksiat dengan sungguh-sungguh ? Maka janganlah kamu tergesa-gesa memintakan siksaan bagi mereka, karena sesungguhnya Kami hanya menghitung (hari siksaan) itu untuk mereka dengan perhitungan yang teliti. Ingat ketika hari Kami mengumpulkan orang-orang yang bertaqwa kepada Rabb yang Maha Pemurah sebagai perutusan yang terhormat. Dan kami akan menghalau orang-orang yang durhaka ke neraka Jahannam dalam keadaan dahaga”. [Maryam : 83-86]

Adapun pengakuan mereka, seperti pensyarah Al-Ushul katakan, bahwa kasyaf merupakan bagian dari iman yang benar. Dan maksud kasyaf adalah disingkapkannya sebagian yang tersembunyi, dan tidak tampak, mengetahui gerak-gerik jiwa dan niat serta kelemahan sebagian manusia. Kasyaf semacam inilah yang disebutkan dalam hadits syarif sebagai firasat seorang yang beriman. [11] Jadi bila ada perkataan mereka semacam ini : “Telah mengabarkan kepadaku hatiku dari Rabb-ku” tidak lain adalah perkataan khurafat.

 Keempat.
Sebagian mereka mengaku dapat melihat Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam dalam tidurnya, lalu mengajarkan kepadanya beberapa perkara dan memintanya untuk berbuat begini dan begitu. Seperti, kata Ibnu Arabi,
“Sesungguhnya aku telah melihat Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam dalam mimpi. Aku melihatnya saat sepuluh akhir di bulan Muharram 627H, di Mahrusah, Damsyiq. Saat itu di tangan beliau Shallallahu „alaihi wa sallam membawa kitab. Maka sabdanya kepadaku, „Kitab ini adalah kitab Fushush Al-Hikam‟. Ajarkan dan sebarkan kepada manusia agar bisa memetik manfa‟at darinya. Kemudian aku katakan, Aku dengar dan taat kepada Allah, Rasul-Nya serta ulil amri diantara kita sebagaimana yang engkau perintahkan. Maka, aku pun berusaha merealisasikan cita-cita dan aku murnikan niatku serta kubulatkan tekad untuk mengajarkan kitab ini sebagaimana diajarkan Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam. tanpa mengurangi dan menambahinya”.

Sejatinya, perkara melihat nabi dijelaskan sebagai berikut:
[1] Para Rasul tidak memerintahkan kemaksiatan apalagi kekufuran, seperti yang memenuhi kitab Fushush Al-Hikam. Seperti, mengkafirkan nabi Allah, Nuh(hal. 70-72), meyakini bahwa Fir‟aun itu telah beriman (hal. 21), membenarkan pendirian Samiri dan perbuatannya dalam membuat patung (yang menimbulkan fitnah di kalangan bani Israil) hingga mengibadahinya (hal. 188). 
[2] Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam tidak menyuruh menyelisihi syari‟at. Sesungguhnya, ada yang mengatakan bahwa setan menampakkan diri dalam bentuk nabi Shallallahu „alaihi wa sallam di hadapan Ibnu Arabi. Padahal mustahil hal itu bisa terjadi. Dia (Ibnu Arabi) telah tertipu dan terperdaya. Walau ia mengatakan yang demikian itu dengan niat baik dan prasangka bersih. Tetapi yang demikian itu mustahil, karena setan tidak akan mampu menyerupai nabi. Maka, bagaimana hal itu bisa terjadi padahal Nabi yang ma‟shum Shallallahu „alaihi wa sallam telah bersabda : “Artinya : Barangsiapa yang melihatku (dalam mimpinya) maka sesungguhnya akulah dia. Karena sesungguhnya setan tidak bisa menyerupaiku”. [Hadits Shahih Riwayat Tirmidzi dari Abu Hurairah, mempunyai penguat yang sangat banyak, sebagiannya Shahih diriwayatkan Bukhari dan Muslim. Lihat Shahih Al-Jami' dan ziyadahnya V/293] Berdasarkan keterangan diatas, maka kita berkeyakinan bahwa Ibnu Arabi dan para pengikutnya adalah dajjal-dajjal Khurasan. Sedang perkataan-perkataan mereka dusta dan tidak mengandung kebenaran sama sekali.


D. Antara Ibnu Arabi dan Ibnul Arabi
Orang yang bernama Ibnu „Arabi ada dua. Yang pertama Ibnu „Arabi [ ُ نْبِا
عَ عَ بِ يٍّ ], tanpa menggunakan alif dan lâm. Sedangkan yang menyerupai nama ini adalah Ibnul „Arabi [ اِبْنُ اا عَ ل عَ بِ يِّ ] dengan menggunakan alif dan lâm. Sehingga secara sekilas, keduanya bernama Ibnu Arabi atau juga Ibnul Arabi. Namun, ternyata keduanya berbeda dengan perbedaan ada tidaknya huruf alif dan lâm.

 Ibnu Arabi
Yang pertama bernama Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Abdullah al-Hatimi al-Andalusi, bergelar Muhyiddin, yang tenar dengan panggilan Ibnu Arabi, seorang sufi tulen.
Beliau pernah tinggal di Mekah beberapa tahun. Dan ketika di sana, ia sempat menulis bukunya yang berjudul al-Futûhât al-Makkiyyah. Ia juga memiliki beberapa tulisan lain, seperti Fushûsh al-Hikam, yang dikritik habis oleh Ibnu Taimiyyah, juga memiliki Dîwân Syi‟r (kumpulan syair) yang menunjukkan kafasihannya yang berkelas. Hanya saja, ia mengotorinya dengan ucapan terus terangnya dengan akidah wihdatul wujûd (keyakinan seorang makhluk yang dapat bersatu dengan Khalik/Sang Pencipta). Dari sisi sinilah ulama terdahulu dan terkini mengupas habis akidah Ibnu Arabi, di samping beberapa penyimpangan sesat yang lain.
Di Antara Akidah Rusak Ibnu Arabi
• Ibnu Arabi mengaku, bahwa tulisan dan buku yang ia sebarkan telah mendapatkan izin dari Nabi n, ketika ia bertemu dengan beliau n dalam mimpi.
• Meyakini bahwa Rabb adalah hamba dan hamba adalah Rabb.
• Mengatakan bahwa hewan-hewan tertentu adalah Rabb.
• Mengatakan bahwa Rabb adalah pendeta yang ada di gereja.
• Bahwa Allah al-Haq al-Munazzah (suci dari segala aib dan kekurangan) adalah hamba yang diserupakan.
• Ia berkata tentang kaum Nabi Nuh p, andai saja mereka meninggalkan peribadatan kepada Wadd, Suwâ‟, Yaghûts, Ya‟ûq dan Nasr, sungguh mereka akan menjadi jauh lebih bodoh tentang Allah al-Haq.
• Allah al-Haq memiliki wajah pada setiap hamba-Nya.

Di antara Ulama yang Membantah Habis Kesesatan Ibnu Arabi Begitu banyak ulama yang membantah, mengkritik, mengupas habis, dan menyesatkan Ibnu Arabi as-Sufi. Berikut ini beberapa nama ulama yang membantah akidah Ibnu Arabi: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Taqiyyuddin as-Subki, Abu Zur‟ah al-Iraqi, Jamaluddin al-Mizzi, Zainuddin al-Kannani, Nuruddin al-Bakri, Syihabuddin al-Asqalani, dll.

Meluruskan Kesalahan; Tidak Ada Karomah Bagi Ibnu Arabi Ada sebuah hikayat yang menerangkan, bahwa Ibnu Arabi mati terbunuh ketika orang-orang bertanya kepadanya tentang Tuhan mereka? Ia menjawab, bahwa tuhan mereka ada di kedua telapak kakinya. Dengan serta merta orang-orang yang hadir pada waktu itu mengeroyok Ibnu Arabi dan menyekaknya dengan pukulan dan tamparan hingga mati.
Kemudian, ada cerita bualan yang menjelaskan, bahwa seusai Ibnu Arabi dikebumikan, teman-teman seperjuanganya datang ke makamnya. Lalu mereka membongkar suatu tempat yang pernah ditunjuk oleh Ibnu Arabi. Ternyata, mereka mendapatkan lempengan emas yang begitu melimpah. Dan mereka pun menganggap itu semua sebagai salah satu karomahnya.

Setelah diteliti dan dicermati, ternyata cerita di atas adalah bualan dusta yang tidak ada dasarnya sama sekali. Dan yang benar, sebagaimana yang dituturkan oleh ulama yang menulis biografi Ibnu Arabi, bahwa dirinya mati dalam keadaan wajar. Tidak ada pukulan, tidak ada tamparan, tidak ada emas, dan tidak ada karomah.
Ibnu Arabi wafat pada malam jumat, 24 Rabi‟ul Akhir 638 di Damaskus. Dan dikebumikan di sebuah komplek pemakaman yang terkenal dengan nama Turbah Bani Zaki.

 Ibnul Arabi al-Maliki al-Qadhi -rahimahullah-
Beliau adalah Muhammad bin Abdullah bin Muhammad al-Isybili, masyhur dengan sebutan Abu Bakar Ibnul Arabi. Adalah seorang ulama madzhab Maliki, seorang Qâdhi/Hakim, dan pakar hadits senior. Lahir di kota Isybilia 22 Sya‟ban 468 H, dan wafat pada tahun 543 H.
Begitu pandai dengan sastra Arab dan telah sampai derajat ijtihad dalam hal ilmu agama. Beliau memiliki beberapa tulisan dalam cabang hadits, fikih, ushul, tafsir, sastra, dan sejarah.
Di antara karangan beliau al-‟Awâshim min al-Qawâshim, Ahkâm al-Qur`ân, an-Nâsikh wa al-Mansûkh fî al-Qur`ân, al-Mahshûl fî Ushûl al-Fiqh, Qânûn at-Ta`wîl, dll.

sumber : http://moslemsunnah.wordpress.com/2009/03/12/ilmu-laduni-dalam-keyakinan-tasawuf-sufi/ diakses pada tanggal 6 November 2013.
http://abuayaz.blogspot.com/2010/06/antara-ibnu-arabi-dengan-ibnul-arabi.html diakses pada tanggal 6 November 2013

disadur Oleh : Ima Ummu Maryam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar