A.
Definisi Kebudayaan, Asimilasi Dan Asimilasi Kebudayaan
A.1. Definisi kebudayaan
Budaya secara harfiah berasal dari Bahasa Latin
yaitu Colere yang memiliki arti mengerjakan tanah, mengolah, memelihara ladang
(menurut Soerjanto Poespowardojo 1993). Selain itu Budaya atau kebudayaan
berasal daribahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk
jamak dari buddhi
(budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal
manusia. Adapun menurut istilah Kebudayaan merupakan suatu yang agung dan
mahal, tentu saja karena ia tercipta dari hasil rasa, karya, karsa,dan cipta
manusia yang kesemuanya merupakan sifat yang hanya ada pada manusia.Tak ada
mahluk lain yang memiliki anugrah itu sehingga ia merupakan sesuatuyang agung
dan mahal
Menurut Koentjaraningrat budaya adalah
keseluruhan sistem gagasan tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka
kehidupan masyarakat yang dijadikan miliki diri manusia dengan cara belajar.[1]
Definisi kebudayaan memiliki arti yang sangat
luas dan beragam namun tetap satu arti dan berikut adalah definisi kebudayaan
dari beberapa tokoh ahli:
1.
Herkovis
Kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi lain.
Kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi lain.
2.
Andreas Eppink
Kebudayaan
mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan
serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain.
3.
Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi
Kebudayaan
adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Dari beberapa definisi kebudayaan diatas dapat
disimpulkan bahwa kebudayaan adalah suatu sarana hasil karya, rasa, dan cipta yang
mengandung keseluruhan aspek sosial dan diwariskan turun temurun dari generasi
ke generasi.[2]
A.2. Definisi Asimilasi[3]
Asimilasi
atau assimilation adalah proses sosial yang timbul bila ada golongan-golongan
manusia dengan latar belakangan kebudayaan yang berbeda-beda yang saling bergaul
langsung secara intensif
untuk waktu yang
lama, sehingga
kebudayaan-kebudayaan golongan-golongan tadi masing-masing berubah sifatnya
yang khas, dan unsur-unsurnya masing-masing berubah menjadi unsur-unsur kebudayaan
campuran. Secara singkat, asimilasi
adalah pembauran
dua kebudayaan yang disertai
dengan hilangnya ciri khas kebudayaan asli sehingga membentuk kebudayaan baru.
Asimilasi
dapat terbentuk apabila terdapat tiga persyaratan berikut:
1.
terdapat sejumlah kelompok yang memiliki
kebudayaan berbeda.
3.
Kebudayaan masing-masing kelompok tersebut
saling berubah dan menyesuaikan diri.
A.3. Definisi Asimilasi Kebudayaan
Dari pemaparan dua definisi diatas maka dapat
kita paparkan definisi asimilasi kebudayaan. Asimilasi kebudayaan adalah suatu
kebudayaan yang merupakan hasil dari percampuran dua budaya yang berbeda yang
menghasilkan suatu bentuk kebudayaan baru.
B.
Agama Islam Dan
Peranannya Dalam Budaya Negara-Negara Timur Tengah
Agama Islam adalah sebuah agama samawi yang
dibawa oleh utusan Allah Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam. Inti
ajaran agama islam yakni mengesakan Allah dalam ibadah. Sebelum kedatangan
islam, seluruh penduduk bumi mempunyai banyak sekali sesembahan-sesembahan yang
mereka sembah. Ada diantara manusia menyembah matahari yang tersebar di negeri
india, ada pula yang menyembah api sebagaimana negeri Persia, ada pula yang
menyembah pohon dan batu berupa patung-patung yang dipahat yang mana ini
tersebar meluas diseluruh negeri.
Agama Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam. Dengan agama inilah Allah menutup agama-agama
sebelumnya. Allah telah menyempurnakan agama ini bagi hamba-hambaNya. Dengan
agama Islam ini pula Allah menyempurnakan nikmat atas mereka. Allah hanya
meridhoi Islam sebagai agama yang harus mereka peluk. Oleh sebab itu tidak ada
suatu agama pun yang diterima selain Islam.
Allah
ta’ala berfirman,
مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَكِن
رَّسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ
عَلِيماً
“Muhammad
itu bukanlah seorang ayah dari salah seorang lelaki diantara kalian, akan
tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para Nabi.” (QS. Al Ahzab: 40)
Allah
ta’ala juga berfirman,
إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللّهِ الإِسْلاَمُ
“Sesungguhnya
agama yang benar di sisi Allah hanyalah Islam.”(QS.Ali Imran: 19)
Allah
ta’ala berfirman,
وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِيناً فَلَن يُقْبَلَ
مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan
barang siapa yang mencari agama selain Islam maka tidak akan pernah diterima
darinya dan di akhirat nanti dia akan termasuk orang-orang yang merugi.”
(QS. Ali ‘Imran: 85)
Allah ta’ala mewajibkan kepada seluruh umat manusia untuk
beragama demi Allah dengan memeluk agama ini. Allah berfirman kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي
رَسُولُ اللّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعاً الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ
لا إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ يُحْيِـي وَيُمِيتُ فَآمِنُواْ بِاللّهِ وَرَسُولِهِ
النَّبِيِّ الأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ
لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
“Katakanlah: Wahai umat manusia, sesungguhnya aku ini
adalah utusan Allah bagi kalian semua, Dialah Dzat yang memiliki kekuasaan
langit dan bumi, tidak ada sesembahan yang haq selain Dia, Dia lah yang
menghidupkan dan mematikan. Maka berimanlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya
seorang Nabi yang ummi (buta huruf) yang telah beriman kepada Allah serta
kalimat-kalimat-Nya, dan ikutilah dia supaya kalian mendapatkan hidayah.”
(QS. Al A’raaf: 158)
Di dalam Shahih Muslim terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan dari jalur Abu
Hurairah radhiallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Beliau bersabda yang artinya, “Demi Zat yang jiwa Muhammad
berada di tangannya. Tidaklah ada seorang manusia dari umat ini yang mendengar
kenabianku, baik yang beragama Yahudi maupun Nasrani lantas dia meninggal dalam
keadaan tidak mau beriman dengan ajaran yang aku bawa melainkan dia pasti
termasuk salah seorang penghuni neraka.”
Hakikat beriman kepada Nabi adalah dengan cara membenarkan
apa yang beliau bawa dengan disertai sikap menerima dan patuh, bukan sekedar
pembenaran saja. Oleh sebab itulah maka Abu Thalib tidak bisa dianggap sebagai
orang yang beriman terhadap Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam
walaupun dia membenarkan ajaran yang beliau bawa, bahkan dia berani bersaksi
bahwasanya Islam adalah agama yang terbaik.
Agama Islam ini telah merangkum semua bentuk kemaslahatan
yang diajarkan oleh agama-agama sebelumnya. Agama Islam yang beliau bawa ini
lebih istimewa dibandingkan agama-agama terdahulu karena Islam adalah ajaran
yang bisa diterapkan di setiap masa, di setiap tempat dan di masyarakat
manapun.
Agama Islam adalah agama yang benar. Sebuah agama yang telah
mendapatkan jaminan pertolongan dan kemenangan dari Allah ta’ala bagi siapa
saja yang berpegang teguh dengannya dengan sebenar-benarnya. Allah ta’ala
berfirman,
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ
لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ
“Dia
lah Zat yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa Petunjuk dan Agama yang
benar untuk dimenangkan di atas seluruh agama-agama yang ada, meskipun
orang-orang musyrik tidak menyukainya.” (QS. Ash Shaff: 9)
Agama Islam adalah ajaran yang mencakup akidah/keyakinan dan
syariat/hukum. Islam adalah ajaran yang sempurna, baik ditinjau dari sisi aqidah maupun syariat-syariat yang
diajarkannya:
1.
Islam
memerintahkan untuk mentauhidkan Allah ta’ala dan melarang kesyirikan.
2.
Islam
memerintahkan untuk berbuat jujur dan melarang dusta.
3.
Islam
memerintahkan untuk berbuat adil dan melarang aniaya.
4.
Islam
memerintahkan untuk menunaikan amanat dan melarang berkhianat.
5.
Islam
memerintahkan untuk menepati janji dan melarang pelanggaran janji.
6.
Islam
memerintahkan untuk berbakti kepada kedua orang tua dan melarang perbuatan
durhaka kepada mereka.
7.
Islam
memerintahkan untuk menjalin silaturahim (hubungan kekerabatan yang terputus)
dengan sanak famili dan Islam melarang perbuatan memutuskan silaturahim.
8.
Islam
memerintahkan untuk berhubungan baik dengan tetangga dan melarang bersikap
buruk kepada mereka.
Secara umum dapat dikatakan bahwasanya Islam
memerintahkan semua akhlak yang mulia dan melarang akhlak yang rendah dan hina. Islam memerintahkan
segala macam amal salih dan melarang segala amal yang jelek. Allah ta’ala
berfirman,
إِنَّ
اللّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيتَاء ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى
عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Sesungguhnya
Allah memerintahkan berbuat adil, ihsan dan memberikan nafkah kepada sanak
kerabat. Dan Allah melarang semua bentuk perbuatan keji dan mungkar, serta
tindakan melanggar batas. Allah mengingatkan kalian agar kalian mau
mengambil pelajaran.” (QS. An Nahl: 90)[4]
Begitu
sempurna ajaran islam sehingga masyarakat rabbany hasil didikan ajaran islam
telah terbentuk dan menerapkan islam dalam keseharian mereka. Masyarakat itu
tidak lain adalah masyarakat yang terdiri dari sahabat-sahabat nabi yang mana
mereka adalah kaum dan ummat terbaik di muka bumi. dan
Sahabat
adalah orang yang berjumpa dengan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dalam
keadaan muslim, meninggal dalam keadaan Islam, meskipun sebelum mati dia pernah
murtad seperti Al Asy’ats bin Qais. Sedangkan yang dimaksud dengan berjumpa
dalam pengertian ini lebih luas daripada sekedar duduk di hadapannya, berjalan
bersama, terjadi pertemuan walau tanpa bicara, dan termasuk dalam pengertian
ini pula apabila salah satunya (Nabi atau orang tersebut) pernah melihat yang
lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu Abdullah
bin Ummi Maktum radhiyallahu’anhu yang buta matanya tetap disebut sahabat
(lihat Taisir Mushthalah Hadits, hal. 198, An
Nukat, hal. 149-151)[5]
Allah memuji para sahabat dalam firmanNya
Ó£JptC ãAqß§ «!$# 4
tûïÏ%©!$#ur ÿ¼çmyètB âä!#£Ï©r& n?tã Í$¤ÿä3ø9$# âä!$uHxqâ öNæhuZ÷t/ (
öNßg1ts? $Yè©.â #Y£Úß tbqäótGö6t WxôÒsù z`ÏiB «!$# $ZRºuqôÊÍur (
öNèd$yJÅ Îû OÎgÏdqã_ãr ô`ÏiB ÌrOr& Ïqàf¡9$# 4
y7Ï9ºs öNßgè=sVtB Îû Ïp1uöqG9$# 4
ö/àSè=sVtBur Îû È@ÅgUM}$# ?íötx. ylt÷zr& ¼çmt«ôÜx© ¼çnuy$t«sù xán=øótGó$$sù 3uqtFó$$sù 4n?tã ¾ÏmÏ%qß Ü=Éf÷èã tí#§9$# xáÉóuÏ9 ãNÍkÍ5 u$¤ÿä3ø9$# 3
ytãur ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# Nåk÷]ÏB ZotÏÿøó¨B #·ô_r&ur $JJÏàtã ÇËÒÈ
Muhammad itu
adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras
terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu Lihat
mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda
mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka
dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, Yaitu seperti tanaman yang
mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi
besarlah Dia dan tegak Lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati
penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir
(dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala
yang besar. (Q.S Al-Fath:29)
Begitu
pula nabi kita yang mulia memuji para sahabat sebagaimana kita ketahui ucapan
beliau bukan berdasarkan hawa nafsunya. Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa
sallam bersabda, “Sebaik-baik umat manusia adalah generasiku (sahabat),
kemudian orang-orang yang mengikuti mereka (tabi’in) dan kemudian orang-orang
yang mengikuti mereka lagi (tabi’ut tabi’in).” (Muttafaq ‘alaih)[6]
Karena
mereka dididik langsung oleh nabi, maka hasilnya mereka para sahabat
ridhwanullah ajma’in mengamalkan islam dalam keseharian mereka,yang mana
sebelumnya kebiasaan mereka maupun kebudayaan mereka sangat jauh berbeda dengan
ajaran islam. Islam datang meluruskan jiwa-jiwa mereka sehingga mereka
mendapatkan kejayaan dan berhasil menjadikan ajaran islam sebagai bagian
rutinitas mereka sehingga terciptalah suatu kebudayaan yang diwariskan turun
temurun dalam masyarakat rabbany yang berjalan diatas rel-rel syariat.
Ketika
mereka para sahabat telah menerapkan islam dalam semua aspek hidup mereka dengan
demikian islam menjadi sesuatu yang diwariskan turun temurun sehingga
terciptalah kebudayaan yang berlandaskan wahyu yakni islam.
Islam
semakin meluas dan diterima oleh banyak lapisan masyarakat dan juga banyak
negeri, maka dengan islamnya negeri-negeri setiap individu merasa butuh untuk
mempelajari islam dan juga menerapkannya atau mengamalkannya dalam keseharian
mereka.
Dari
sejarah dapat diketahui penyebaran islam dimulai dari daerah-daerah terdekat
dengan kota madinah sehingga seluruh jazirah arab mengenal islam dengan baik
dan mengamalkan ajaran islam sehingga secara langsung mempengaruhi budaya
setempat untuk disesuaikan dengan ajaran islam.
Contoh
budaya masyarakat yang sangat jelas terlihat adalah pada syariat hijab untuk
kaum wanita muslimah. Sebelum islam datang, masyarakat jazirah arab atau
negeri-negeri timur tengah mempunyai kebudayaan berpakaian ala kadarnya dan
tidak jarang mereka tidak mengenakan sehelai benangpun ketika mereka beribadah
haji ke ka’bah. Ketika islam dating, islam mengatur batasan-batasan berpakaian bagi muslimah
untuk mengangkat derajat muslimah dengan pensyariatan hijab bagi muslimah. Dan
kaum muslimah diawal-awal islam mengamalkan syariat tersebut dan menyebar ke
daerah-daerah perluasan islam sehingga menjadi ciri bahwa masyarakat
Negeri-negeri Muslim kaum wanitanya berhijab rapat sesuai syar’I sehingga
menjadi suatu kebudayaan islam.
Berikut
penjelasan ustadz Abu Ayyaz pada blog yang beliau miliki [7]
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu,
anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang Mu’min: “Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka
lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al Ahzab: 59)
Ayat ini tegas menjadi dalil atas wajibnya
mengenakan jilbab bagi setiap muslimah. Kewajiban mengenakan jilbab dalam
ketentuan syari’ah sepadan dengan kewajiban-kewajiban lainnya yang telah diatur
dalam agama. Hal ini bertolak belakang dengan anggapan sebagian orang yang
menyatakan bahwa jilbab merupakan produk budaya, atau ketentuan yang terikat
secara kondisional sehingga hukumnya “boleh-boleh saja” dikenakan.
Para pembaca perlu mengerti, dalam sejarah
penetapan hukum syari’ah (tarikh tasyri’) telah digambarkan bahwa kebudayaan
wanita-wanita Arab jahiliyah sebelum diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa ‘ala alihi wasallam ialah dalam keadaan terbuka auratnya, bahkan telanjang
bulat ketika thawaf di Ka’bah. “Mereka melemparkan pakaian mereka dan meninggalkannya
tergeletak di atas tanah. Mereka tidak lagi mengambil pakaian tersebut untuk
selamanya, membiarkannya terinjak-injak oleh kaki orang-orang yang lalu lalang
hingga pakaian tersebut usang. Demikian kebiasaan jahiliyah yang dinamakan
Al-Liqa’ ini berlangsung hingga datanglah Islam dan Allah memerintahkan mereka
untuk menutup auratnya, sebagaimana dalam firman-Nya surat Al-A’raf ayat 31.”
(Syarh Shahiih Muslim, Al-Imam An-Nawawi, 18/369).
Maka sungguh tidak relevan jika anggapan
tersebut kita korelasikan dengan kenyataan budaya Arab pada masa pra-Islam.
Adapun setelah itu Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam mewajibkan kepada isteri-isteri beliau, anak
perempuan beliau dan wanita-wanita kaum Mu’minin untuk mengulurkan jilbab ke
seluruh tubuh mereka. Ini menunjukkan bahwa jilbab bukanlah produk budaya Arab,
akan tetapi murni wahyu dari Allah yang turun kepada Nabi-Nya Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam guna diamalkan oleh segenap ummatnya
dari kalangan Muslimah dimanapun mereka berada sampai datangnya hari Kiamat.
Namun yang masih menjadi persoalan ialah
biasnya definisi jilbab yang dipahami ditengah masyarakat kita. (selesai
penjelasan beliau)
Contoh Di atas hanya merupakan salah satu
contoh islam menjadi sebuah budaya dalam masyarakat, karena dalam prakteknya
banyak sekali ajaran-ajaran islam yang membudaya terutama pada masyarakat
negeri-negeri Timur Tengah.
C. Kaidah Fiqhiyyah Dalam Islam.
Sebagaimana telah dijelaskan secara global
diatas bahwa islam adalah sebuah agama yang sudah sempurna, maka islam mepunyai
kaidah-kaidah fiqhiyyah atau batasan-batasan secara tinjauan hukum fiqhnya
untuk menjaga kemurnian agama islam ketika berhadapan dengan beragam budaya
masyarakat di dunia karena Agama Islam ditujukan untuk semua penduduk bumi yang
notabene mempunyai bermacam-macam kebudayaan.
C.1. Kaidah
dalam beribadah
"Hukum
asal dalam beribadah adalah haram dan batal kecuali yang ada dalil yang
memerintahkan"
Ada beberapa
dalil , diantaranya adalah ayat Al Qur'an surah al Hujurat :1
Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya
dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha
Mengetahui. (QS. Al Hujurat :1)
Maksudnya
orang-orang mukmin tidak boleh menetapkan sesuatu hukum, sebelum ada ketetapan
dari Allah dan RasulNya. Tidak boleh membuat cara ibadah sebelum ada perintah
dari Allah dan tuntunan dari Rasulullah.
Ibadah
pada dasarnya adalah haram dan batal.
Hukum asalnya adalah haram, dan sesuatu yang batal, tidak syah, tidak berguna
dan sia-sia.
Hukum
haram dapat berubah menjadi wajib, atau sunnah
apabila ada perintah dari Allah dan Rasul-Nya.. Apabila tidak ada perintah dari
Allah dan Rasul-Nya atau apabila tidak ada dalil yang menyuruh (perintah)
melakukannya, ia kembali kepada hukum asal HARAM.
Hukum-hukum
dalam beribadah sudah baku, hak mutlak / otoritas Allah (karena Dia- lah yang
menciptakan cara beribadah sehingga tidak ada peluang bagi manusia untuk
membuat cara baru walaupun dipandang baik). Hukum dalam ibadah berupa “mandat”
dari Allah dengan cara mengikuti Rasulullah, manusia hanya menjalankan sesuai
isi mandat dan juklak ( petunjuk pelaksanaan : Al Qur'an dan Hadits Shahih).
Apabila dilaksanakan atau tidak dilaksanakan, apabila sesuai atau tidak sesuai,
ada ganjaran, yaitu pahala dan dosa.
اَلأَ
صْلُ فِى اْلعِبَا دَةِ مَأْ مُوْرٌ
"
Hukum asal ibadah adalah ( apabila ada) perintah"
Dalilnya adalah
:
"Katakanlah:
"Sesungguhnya Aku diperintahkan supaya menyembah
Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama. (QS. Az
Zumar : 11)
Tanpa
adanya perintah Allah atau dari Rasul-Nya, maka siapa yang memerintahkannya ? Kalau bukan atas perintah Allah dan Rasul-Nya maka bisa terjatuh
dalam kesyirikan, berarti ada "tuhan" lain yang memerintahkan cara
beribadah sesuai kemauan si "tuhan" tersebut. Padahal yang membuat
cara beribadah dan cara menyembah kepada Allah hanyalah Allah semata.
Maka
tidak boleh melakukan suatu ibadah, walaupun (cara /model ibadah tanpa dasar
tadi) dipandang baik oleh orang [baca : bid'ah hasanah] dan dilakukan oleh
orang banyak. Lebih baik diam (tidak mengerjakan) apabila tidak tahu dalilnya,
atau bertanya kepada yang mengetahui hukumnya.
"Dan
jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka
akan menyesatkanmu dari jalan Allah. mereka tidak lain hanyalah mengikuti
persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap
Allah)." [ QS. Al An'am
: 116]
Dalam
ibadah jangan mengikuti persangkaan atau perasaan. Ah !
itukan baik !, yang penting niatnya baik !, lihat orang-orang, banyak yang
melakukannya. Ah ! itukan sudah tradisi ! Orang-orang sebelum kita (nenek
moyang kita, bapak-bapak kita) juga melakukannya !
Dan
apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang Telah diturunkan
Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami Hanya mengikuti apa
yang Telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah
mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui
suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?".( QS. Al Baqarah : 170 )
Kalau
tidak ada perintah Allah, atau kalau tidak ada contohnya dari Rasulullah, maka
kita perlu bertanya, perintah siapakah yang menyuruh beribadah dengan model
seperti itu ? Kalau seandainya perintah manusia ( misalnya : Syaikh, Tuan Guru,
Guru Tariqat, Kiyai, Habib, dll) maka merekalah yang kita sembah. Karena
mengikuti atau menta'ati cara beribadah yang dibuat oleh mereka sendiri
(seandainya tanpa dalil yang shahih). Secara tidak sadar terjatuh dalam
perbuatan syirik, karena ada si pembuat baru selain Allah. Ingat ! Hanya Allah
yang membuat cara ibadah dan hanya Allah yang patut disembah atau di ibadahi, إِيَّاكَ نَعْبُدُ
dan tidaklah Allah menciptakan Manusia dan Jin kecuali hanya untuk beribadah
kepada Allah,
وَمَا خَلَقْتُ اْلجِنَّ وَالإِ نْسَ إِلاَّ ِليَعْبُدُوْن
Tidak
ada satu pun ibadah dalam Islam, kecuali Nabi sudah mencontohkannya, kemudian
di ikuti oleh para sahabat, tabi'in dan tabi'it tabi'in. Kita tidak boleh
meniru atau mengikuti siapapun dalam beribadah, walau dia dikatakan sebagai
orang yang alim atau ulama, kecuali orang itu mengikuti (ittiba') cara
Rasulullah, maka ikutilah. Cara mengetahui bagaimana tata cara Rasulullah dalam
beribadah dan muamalah adalah dengan cara mempelajari Hadits-hadits yang
shahih.
Ibadah
adalah hubungan, sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, dengan mengharap
ridha-Nya, ampunan-Nya, dan pasti tujuannya kebaikan (mencari pahala).
Allah-lah yang menciptakan ibadah, karena itu tidak boleh melakukan ibadah
kecuali apa yang telah disyari'atkan Allah. Sebab hanya Pembuat Syari'at
(Allah) sendiri yang berhak membuat cara-cara ibadah bagi hamba-Nya untuk
mendekatkan diri pada-Nya. Bahanyanya adalah apabila kita salah sembah. Siapa
yang kita sembah ?
Hakikat ibadah
tercermin dalam dua hal :
1.
Tidak
ada yang di ibadahi kecuali hanya Allah.
2.
Tidak
boleh beribadah kepada Allah kecuali dengan cara yang telah disyari'atkan-Nya.
Atau dalam pengertian yang lain :
Atau dalam pengertian yang lain :
1.
Ikhlas
hanya kepada Allah semata.
2.
Amalan
tersebut harus dikerjakan atas tuntunan (ittiba') kepada Rasulullah.
Ikhlash dan
mutaba’ah adalah syarat diterimanya ibadah [talqihul ifhamil ‘illiyah bi
syarhil qawa’idil fiqhiyah 1 : 54, qaidah no.15 ][8]
C.2. Kaidah
Dalam Muamalah
اَلأَصْلُ
فِى اْلأَشْيَاءِ اْلإِ بَا حَة حَتَّى يَدُ لَّ اْلدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ
"Hukum
asal dari sesuatu (muamalah/keduniaan) adalah mubah sampai ada dalil yang
melarangnya (memakruhkannya atau mengharamkannya)"(Imam As Suyuthi, dalam al Asyba' wan Nadhoir: 43)
لاَ
تُشْرَعُ عِبَا دَةٌ إِلاَّ بِشَرْعِ اللهِ , وَلاَ تُحَرَّمُ عاَ دَةٌ إِلاَّ
بِتَحْرِيْمِ اللهِ
"Tidak
boleh dilakukan suatu ibadah kecuali yang disyari'atkan oleh Allah, dan tidak
dilarang suatu adat (muamalah) kecuali yang diharamkan oleh Allah"
Muamalah
(keduniaan) pada dasarnya adalah “mubah”. Asal hukumnya boleh
(jaiz). Ia berubah hukumnya apabila ada larangan. Apabila ada larangan, sesuatu
yang halal, maka berubah menjadi “haram” dan “makruh”. Apabila tidak ada
larangan, atau apabila tidak ada dalil yang melarangnya, ia kembali kepada
hukum asalnya, yaitu “HALAL”.
"Dia-lah
Allah yang menjadikan segala yang ada di Bumi untuk kamu" (QS. Al Baqarah
: 29)
"Dan Dia
menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya
(sebagai rahmat)" (QS. Al Jatsiyah : 13)
Allah
sama sekali tidak menciptakan segala sesuatu dan menundukkannya bagi
kepentingan manusia sebagai ni'mat, kemudian Allah lantas mengharamkannya bagi
manusia ? Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan beberapa bagian saja, sehingga
wilayah haram dalam agama sangat sempit sedang wilayah halal sangat luas.
Prinsip
dalam “beribadah” lebih menekankan pada larangan sampai ada “perintah”, prinsip
dalam “muamalah” lebih menekankan pada pembolehan sampai ada “larangan”. Sampai
kalau ada dalil (yang membolehkan atau yang melarang), maka status hukumnya
berubah.
Kaidah
ini harus dipahami betul-betul dahulu, sampai mengerti benar. Sebab banyak
orang salah dalam beragama, karena tidak mengerti Kaidah (hukumnya). Salah
melangkah pada start awal, maka langkah selanjutnya semakin keliru. Semakin
menjauh dari rel-nya, keluar jalan.
Dalam
hal ibadah, akal hanya tunduk pasrah, tunduk kepada wahyu, meniru apa yang
sudah dicontohkan berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits shahih. Akal tidak boleh
mengutak-atik hukum, kecuali hukum suatu ayat dijelaskan oleh ayat yang lain,
atau suatu ayat dijelaskan oleh hadits, atau suatu hadits dijelaskan oleh hadits
yang lain. Dari hukum umum menjadi khusus.
Perhatikan
Kaidah yang sangat mulia ini ! :
لَوْ كَانَ خَيْراً لَسَبَقُوْناَ إِلَيْه
"Kalau
sekiranya suatu perkara itu "baik",( pasti Rasulullah, para sahabat,
tabi'in dan tabi'it tabi'in ) lebih dahulu melaksanakannya" daripada kita,
karena mereka lebih 'alim lebih ta'at dan lebih tahu tentang agama daripada
kita.
Contoh
:
Shalat,
kita hanya tinggal mencontoh cara Rasulullah shalat, berdasarkan syari’at
Allah. Atas perintah Allah : "Dirikanlah shalat ! أَقِيمُوا الصَّلاَة Bagaimana
cara shalatnya ? , dijelaskan lewat hadits-hadits Rasulullah, Shalatlah kamu
sebagaimana kamu melihat bagaimana cara saya shalat صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمني أُصَلِّى.Tidak boleh membuat cara shalat yang baru. Seperti Shalat
Hadiyah, ada tidak dalilnya ?
Dalam
muamalah, akal diberikan porsi yang seluas-luasnya, أَنْتُمْ أَعْلَمُ بأِمُوْرِدُنْيَاكُمْ (kamu lebih mengerti
dengan urusan duniamu) tetapi dengan syarat tidak boleh terlepas dari Al-Qur’an
dan Hadits, pada pertimbangannya (sebagai barometer). Dalam muamalah tidak
terbatas pada benda, tetapi mencakup perbuatan dan aktivitas-aktivitas yang
tidak termasuk dalam urusan ibadah.
Contoh
:
Boleh
makan dan minum, menciptakan tekhnologi, membuat kendaraan, komputer,
komunikasi canggih, jual-beli, sewa-menyewa, bermasyarakat, dll sesukanya,
asalkan sampai batasan yang tidak diharamkan atau dimakruhkan oleh syari’at.
Boleh makan sebatas tidak dimakruhkan dan diharamkan, misalnya ; jangan makan
pakai tangan kiri, jangan minum sambil berdiri, jangan makan sampai kenyang
berlebihan, jangan makan binatang yang buas, bertaring, mempunyai cakar tajam
dll. Makan dan minum pada dasarnya boleh, kecuali yang dibatasi oleh Al Qur'an
dan Hadits.
Ada
orang yang mengatakan, "Kalau begitu naik Haji, kalau pakai Pesawat Terbang,
bid'ah dong ? Dulukan pakai onta !. Rupanya orang tersebut tidak mengerti mana
batasan pengertian bid'ah. Bid'ah hanya dalam pelaksanaan ibadahnya. Naik
Pesawat Terbang bukan termasuk dalam pelaksanaan ibadah Haji. Tapi ia adalah
sarana. Kalau begitu orang yang naik Haji dengan berjalan kaki jadi bid'ah juga
dong ! Seandainya naik Haji harus pakai Onta. Pesawat Terbang adalah bagian
dari Ilmu Pengetahuan, maka sifatnya mubah.
اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ
نِعْمَتىِ وَ رَضِيْتُ لَكُمْ اِسْلاَ مَ دِيْنَا
"Pada
hari ini telah kusempurnakan bagimu agamamu dan telah kusempurnakan atasmu
nikmatku dan telah kuridha'i Islam sebagai agamamu" (QS. Al Maidah : 3)
Agama
Islam adalah agama yang sempurna, sesuatu yang sempurna tidak boleh dan tidak
perlu ditambahi atupun dikurangi, karena Allah sendiri yang mengatakan
"sempurna" Apabila menambahi atau mengurangi, maka ia lebih hebat
dari Allah dan Rasul-Nya. Apa-apa yang datangnya dari Allah pasti disampaikan
oleh Rasulullah, dan tidak ada yang disembunyikan.
Allah
berfirman;
Hai
Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak
kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan
amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. [QS. Al Baqarah :67]
Semua
Sunnah yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah upaya
untuk menjelaskan Al-Qur’an. Tidak ada satu pun yang samar atau tersembunyi
dari semua penjelasan yang dibutuhkan manusia dalam kehidupan dunia dan
akhirat, melainkan beliau telah jelaskan, ini menunjukkan bahwa agama Islam
sudah sempurna.
Para
Sahabat telah memberi kesaksian atas hal itu pada peristiwa Hajjatul Wada’
ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri meminta mereka
memberikan kesaksian, bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah
menyampaikan seluruh risalah. Tidak ada satu pun yang beliau tidak sampaikan.
Semua sudah disampaikan, apa saja yang membawa manusia ke Surga sudah beliau
jelaskan, dan apa saja yang membawa manusia ke Neraka sudah beliau jelaskan
pula.[9]
Demikianlah
agama islam mempunyai kaidah-kaidah dalam ibadah dan muamalah ketika berhadapan
dengan banyak kebudayaan dunia.
D.
Islam Untuk Semua Kebudayaan
Sebagaimana pemaparan diatas bahwa islam adalah
sebuah agama samawi penutup agama-agama sebelumnya maka semua manusia sejak
kedatangan islam harus tunduk dan patuh pada syariat islam. Islam ajarannya
telah sempurna sehingga tidak memerlukan penambahan ataupun pengurangan juga
karena islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia yang menginginkan
ketentraman hidup. Sejarah telah membuktikan bahwa Islam bias diterapkan dalam
kehidupan masyarakat, terkhusus masyarakat binaan Nabi Muhammad Shallallahu
alaihi wasallam yakni masyarakat yang terdiri dari para sahabat nabi
ridhwanullahu ajma’in.
Allah Ta’ala berfirman:
وَما أَرْسَلْناكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعالَمِينَ
“Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad,
melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia” (QS. Al Anbiya: 107)
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam
diutus dengan membawa ajaran Islam, maka Islam adalah rahmatan lil’alamin,
Islam adalah rahmat bagi seluruh manusia.
Secara bahasa, rahmat artinya kelembutan
yang berpadu dengan rasa iba (Lihat Lisaanul Arab, Ibnul Mandzur). Atau
dengan kata lain rahmat dapat diartikan dengan kasih sayang. Jadi,
diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam adalah bentuk
kasih sayang Allah kepada seluruh manusia.
Penafsiran Para Ahli Tafsir
1.
Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam Tafsir Ibnul Qayyim:
Pendapat yang lebih benar dalam menafsirkan
ayat ini adalah bahwa rahmat disini bersifat umum. Dalam masalah ini, terdapat
dua penafsiran:
Pertama: Alam semesta secara umum mendapat manfaat
dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam.
Orang yang mengikuti beliau, dapat meraih
kemuliaan di dunia dan akhirat sekaligus. Orang kafir yang memerangi beliau,
manfaat yang mereka dapatkan adalah disegerakannya pembunuhan dan maut bagi
mereka, itu lebih baik bagi mereka. Karena hidup mereka hanya akan menambah
kepedihan adzab kelak di akhirat. Kebinasaan telah ditetapkan bagi mereka.
Sehingga, dipercepatnya ajal lebih bermanfaat bagi mereka daripada hidup
menetap dalam kekafiran.
Orang kafir yang terikat perjanjian dengan
beliau, manfaat bagi mereka adalah dibiarkan hidup didunia dalam perlindungan
dan perjanjian. Mereka ini lebih sedikit keburukannya daripada orang kafir yang
memerangi Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa sallam.
Orang munafik, yang menampakkan iman secara
zhahir saja, mereka mendapat manfaat berupa terjaganya darah, harta, keluarga
dan kehormatan mereka. Mereka pun diperlakukan sebagaimana kaum muslimin yang
lain dalam hukum waris dan hukum yang lain.
Dan pada umat manusia setelah beliau diutus,
Allah Ta’ala tidak memberikan adzab yang menyeluruh dari umat manusia di
bumi. Kesimpulannya, semua manusia mendapat manfaat dari diutusnya Nabi Shallallahu
‘alaihi Wa sallam.
Kedua: Islam adalah rahmat bagi setiap manusia,
namun orang yang beriman menerima rahmat ini dan mendapatkan manfaat di dunia
dan di akhirat. Sedangkan orang kafir menolaknya. Sehingga bagi orang kafir,
Islam tetap dikatakan rahmat bagi mereka, namun mereka enggan menerima.
Sebagaimana jika dikatakan ‘Ini adalah obat bagi si fulan yang sakit’. Andaikan
fulan tidak meminumnya, obat tersebut tetaplah dikatakan obat”
2. Muhammad bin Ali Asy Syaukani dalam Fathul
Qadir:
“Makna ayat ini adalah ‘Tidaklah Kami
mengutusmu, wahai Muhammad, dengan membawa hukum-hukum syariat, melainkan
sebagai rahmat bagi seluruh manusia tanpa ada keadaan atau alasan khusus yang
menjadi pengecualian’. Dengan kata lain, ‘satu-satunya alasan Kami mengutusmu,
wahai Muhammad, adalah sebagai rahmat yang luas. Karena kami mengutusmu dengan
membawa sesuatu yang menjadi sebab kebahagiaan di akhirat’ ”
3. Muhammad bin Jarir Ath Thabari dalam Tafsir
Ath Thabari:
“Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang
makna ayat ini, tentang apakah seluruh manusia yang dimaksud dalam ayat ini
adalah seluruh manusia baik mu’min dan kafir? Ataukah hanya manusia mu’min
saja? Sebagian ahli tafsir berpendapat, yang dimaksud adalah seluruh manusia
baik mu’min maupun kafir. Mereka mendasarinya dengan riwayat dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhu
dalam menafsirkan ayat ini:
من آمن بالله
واليوم الآخر كتب له الرحمة في الدنيا والآخرة , ومن لم يؤمن بالله ورسوله عوفي
مما أصاب الأمم من الخسف والقذف
“Siapa saja yang beriman kepada Allah dan
hari akhir, ditetapkan baginya rahmat di dunia dan akhirat. Namun siapa saja
yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, bentuk rahmat bagi mereka adalah
dengan tidak ditimpa musibah yang menimpa umat terdahulu, seperti mereka semua
di tenggelamkan atau di terpa gelombang besar”
dalam riwayat yang lain:
تمت الرحمة لمن
آمن به في الدنيا والآخرة , ومن لم يؤمن به عوفي مما أصاب الأمم قبل
“Rahmat yang sempurna di dunia dan akhirat
bagi orang-orang yang beriman kepada Rasulullah. Sedangkan bagi orang-orang
yang enggan beriman, bentuk rahmat bagi mereka adalah dengan tidak ditimpa
musibah yang menimpa umat terdahulu”
4. Muhammad bin Ahmad Al Qurthubi dalam Tafsir
Al Qurthubi
“Said bin Jubair berkata: dari Ibnu Abbas,
beliau berkata:
كان محمد صلى
الله عليه وسلم رحمة لجميع الناس فمن آمن به وصدق به سعد , ومن لم يؤمن به سلم مما
لحق الأمم من الخسف والغرق
“Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam
adalah rahmat bagi seluruh manusia. Bagi yang beriman dan membenarkan ajaran
beliau, akan mendapat kebahagiaan. Bagi yang tidak beriman kepada beliau,
diselamatkan dari bencana yang menimpa umat terdahulu berupa ditenggelamkan ke
dalam bumi atau ditenggelamkan dengan air”
Ibnu Zaid berkata:
أراد بالعالمين
المؤمنين خاص
“Yang dimaksud ‘seluruh manusia’ dalam ayat
ini adalah hanya orang-orang yang beriman” ”
5. Ash Shabuni dalam Shafwatut Tafasir
“Maksud ayat ini adalah ‘Tidaklah Kami
mengutusmu, wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh makhluk’.
Sebagaimana dalam sebuah hadits:
إنما أنا رحمة
مهداة
“Sesungguhnya aku adalah rahmat yang
dihadiahkan (oleh Allah)” (HR. Al Bukhari dalam Al ‘Ilal Al Kabir
369, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman 2/596. Hadits ini di-shahih-kan
Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, 490, juga dalam Shahih Al
Jami’, 2345)
Orang yang menerima rahmat ini dan bersyukur
atas nikmat ini, ia akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Allah Ta’ala tidak mengatakan ‘rahmatan
lilmu’minin‘, namun mengatakan ‘rahmatan lil ‘alamin‘ karena Allah Ta’ala
ingin memberikan rahmat bagi seluruh makhluknya dengan diutusnya
pemimpin para Nabi, Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Beliau
diutus dengan membawa kebahagiaan yang besar. Beliau juga menyelamatkan manusia
dari kesengsaraan yang besar. Beliau menjadi sebab tercapainya berbagai
kebaikan di dunia dan akhirat. Beliau memberikan pencerahan kepada manusia yang
sebelumnya berada dalam kejahilan. Beliau memberikan hidayah kepada menusia
yang sebelumnya berada dalam kesesatan. Inilah yang dimaksud rahmat
Allah bagi seluruh manusia. Bahkan orang-orang kafir mendapat manfaat dari rahmat
ini, yaitu ditundanya hukuman bagi mereka. Selain itu mereka pun tidak lagi
ditimpa azab berupa diubah menjadi binatang, atau dibenamkan ke bumi, atau
ditenggelamkan dengan air”
Pemahaman Yang Salah Kaprah
Permasalahan muncul ketika orang-orang
menafsirkan ayat ini secara serampangan, bermodal pemahaman bahasa dan logika
yang dangkal. Atau berusaha memaksakan makna ayat agar sesuai dengan hawa
nafsunya. Diantaranya pemahaman tersebut adalah:
1. Berkasih sayang dengan orang kafir
Sebagian orang mengajak untuk berkasih sayang
kepada orang kafir, tidak perlu membenci mereka, mengikuti acara-acara mereka,
enggan menyebut mereka kafir, atau bahkan menyerukan bahwa semua agama sama dan
benar, dengan berdalil dengan ayat:
وَما أَرْسَلْناكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعالَمِينَ
“Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad,
melainkan sebagai rahmat bagi alam semesta” (QS. Al Anbiya: 107)
Padahal bukan demikian tafsiran dari ayat ini.
Allah Ta’ala menjadikan Islam sebagai rahmat bagi seluruh manusia, namun
bentuk rahmat bagi orang kafir bukanlah dengan berkasih sayang kepada
mereka. Bahkan telah dijelaskan oleh para ahli tafsir, bahwa bentuk rahmat
bagi mereka adalah dengan tidak ditimpa musibah besar yang
menimpa umat terdahulu. Inilah bentuk kasih sayang Allah terhadap orang kafir,
dari penjelasan sahabat Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu.
2. Berkasih sayang dalam kemungkaran
Sebagian kaum muslimin membiarkan orang-orang
meninggalkan shalat, membiarkan pelacuran merajalela, membiarkan wanita membuka aurat mereka di depan umum bahkan
membiarkan praktek-praktek kemusyrikan dan enggan menasehati mereka karena
khawatir para pelaku maksiat tersinggung hatinya jika dinasehati, kemudian
berkata : “Islam khan rahmatan lil’alamin, penuh kasih sayang”. Sungguh
aneh.
Padahal bukanlah demikian tafsir surat Al
Anbiya ayat 107 ini. Islam sebagai rahmat Allah bukanlah bermakna
berbelas kasihan kepada pelaku kemungkaran dan membiarkan mereka dalam
kemungkarannya. Sebagaiman dijelaskan Ath Thabari dalam tafsirnya di atas,
“Rahmat bagi orang mu’min yaitu Allah memberinya petunjuk dengan sebab
diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Beliau Shallallahu
‘alaihi Wa sallam memasukkan orang-orang beriman ke dalam surga dengan iman
dan amal mereka terhadap ajaran Allah”.
Maka bentuk kasih sayang Allah terhadap orang
mu’min adalah dengan memberi mereka petunjuk untuk menjalankan perinta-perintah
Allah dan menjauhi apa yang dilarang oleh Allah, sehingga mereka menggapai jannah.
Dengan kata lain, jika kita juga merasa cinta dan sayang kepada saudara kita
yang melakukan maksiat, sepatutnya kita menasehatinya dan mengingkari maksiat
yang dilakukannya dan mengarahkannya untuk melakukan amal kebaikan.
Dan sikap rahmat pun diperlukan dalam
mengingkari maksiat. Sepatutnya pengingkaran terhadap maksiat mendahulukan
sikap lembut dan penuh kasih sayang, bukan mendahulukan sikap kasar dan keras.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam bersabda:
إن الرفق لا يكون في شيء إلا زانه . ولا ينزع من شيء
إلا شانه
“Tidaklah kelembutan itu ada pada sesuatu,
kecuali akan menghiasnya. Tidaklah kelembutan itu hilang dari sesuatu, kecuali
akan memperburuknya” (HR. Muslim no. 2594)
3. Berkasih sayang dalam penyimpangan beragama
Adalagi yang menggunakan ayat ini untuk
melegalkan berbagai bentuk bid’ah, syirik dan khurafat.
Karena mereka menganggap bentuk-bentuk penyimpangan tersebut adalah perbedaan
pendapat yang harus ditoleransi sehingga merekapun berkata: “Biarkanlah kami
dengan pemahaman kami, jangan mengusik kami, bukankah Islam rahmatan
lil’alamin?”. Sungguh aneh.
Menafsirkan rahmat dalam surat Al Anbiya ayat
107 dengan kasih sayang dan toleransi terhadap semua pemahaman yang ada pada
kaum muslimin, adalah penafsiran yang sangat jauh. Tidak ada ahli tafsir yang
menafsirkan demikian.
Perpecahan ditubuh ummat menjadi bermacam
golongan adalah fakta, dan sudah diperingatkan sejak dahulu oleh Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi Wa sallam. Dan orang yang mengatakan semua golongan tersebut itu
benar dan semuanya dapat ditoleransi tidak berbeda dengan orang yang mengatakan
semua agama sama. Diantara bermacam golongan tersebut tentu ada yang benar dan
ada yang salah. Dan kita wajib mengikuti yang benar, yaitu yang sesuai dengan
ajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Bahkan Ibnul Qayyim
mengatakan tentang rahmat dalam surat Al Anbiya ayat 107: “Orang yang
mengikuti beliau, dapat meraih kemuliaan di dunia dan akhirat sekaligus”.
Artinya, Islam adalah bentuk kasih sayang Allah kepada orang yang mengikuti
golongan yang benar yaitu yang mau mengikuti ajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi
Wa sallam.
Pernyataan ‘biarkanlah kami dengan pemahaman
kami, jangan mengusik kami’ hanya berlaku kepada orang kafir.
Sebagaimana dinyatakan dalam surat Al Kaafirun:
قُلْ يَا
أَيُّهَا الْكَافِرُونَ لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ
مَا أَعْبُدُ وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا
أَعْبُدُ لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
“Katakanlah: ‘Hai orang-orang kafir, Aku
tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang
aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. dan
kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu
agamamu, dan untukkulah, agamaku‘”
Sedangkan kepada sesama muslim, tidak boleh
demikian. Bahkan wajib menasehati bila saudaranya terjerumus dalam kesalahan.
Yang dinasehati pun sepatutnya lapang menerima nasehat. Bukankah orang-orang
beriman itu saling menasehati dalam kebaikan?
وَالْعَصْرِ
إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍإِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا
الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu
benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat
menasehati supaya menetapi kesabaran” (QS. Al ‘Ashr: 1 – 3)
Dan menasehati orang yang berbuat menyimpang
dalam agama adalah bentuk kasih sayang kepada orang tersebut. Bahkan orang yang
mengetahui saudaranya terjerumus ke dalam penyimpangan beragama namun
mendiamkan, ia mendapat dosa. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi Wa sallam:
إذا عملت
الخطيئة في الأرض كان من شهدها فكرهها كمن غاب عنها . ومن غاب عنها فرضيها ، كان
كمن شهدها
“Jika engkau mengetahui adanya sebuah
kesalahan (dalam agama) terjadi dimuka bumi, orang yang melihat langsung lalu
mengingkarinya, ia sama seperti orang yang tidak melihat langsung (tidak dosa).
Orang yang tidak melihat langsung namun ridha terhadap kesalahan tersebut, ia
sama seperti orang yang melihat langsung (mendapat dosa)” (HR. Abu Daud
no.4345, dihasankan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)
Perselisihan pendapat pun tidak bisa
dipukul-rata bahwa semua pendapat bisa ditoleransi. Apakah kita mentoleransi
sebagian orang sufi yang berpendapat shalat lima waktu itu tidak wajib bagi
orang yang mencapai tingkatan tertentu? Atau sebagian orang kejawen yang
menganggap shalat itu yang penting ‘ingat Allah’ tanpa harus melakukan shalat? Apakah kita
mentoleransi pendapat Ahmadiyyah yang mengatakan bahwa berhaji tidak harus ke
Makkah? Tentu tidak dapat ditoleransi. Jika semua pendapat orang dapat
ditoleransi, hancurlah agama ini. Namun pendapat-pendapat yang berdasarkan
dalil shahih, cara berdalil yang benar, menggunakan kaidah para ulama,
barulah dapat kita toleransi.
4. Menyepelekan permasalahan aqidah
Dengan menggunakan ayat ini, sebagian orang
menyepelekan dan enggan mendakwahkan aqidah yang benar. Karena mereka
menganggap mendakwahkan aqidah hanya akan
memecah-belah ummat dan menimbulkan kebencian sehingga tidak sesuai dengan
prinsip bahwa Islam adalah rahmatan lil ‘alamin.
Renungkanlah perkataan Ash Shabuni dalam
menafsirkan rahmatan lil ‘alamin: “Beliau Shallallahu ‘alaihi Wa
sallam memberikan pencerahan kepada manusia yang sebelumnya berada dalam
kejahilan. Beliau memberikan hidayah kepada menusia yang sebelumnya berada dalam
kesesatan. Inilah yang dimaksud rahmat Allah bagi seluruh manusia”. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi Wa sallam menjadi rahmat bagi seluruh manusia karena beliau
membawa ajaran tauhid. Karena manusia pada masa sebelum beliau diutus berada
dalam kesesatan berupa penyembahan kepada sesembahan selain Allah, walaupun
mereka menyembah kepada Allah juga. Dan inilah inti ajaran para Rasul.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَلَقَدْ
بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا
الطَّاغُوتَ
“Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul
pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah saja, dan jauhilah
Thaghut’ ” (QS. An Nahl: 36)
Selain itu, bukankah masalah aqidah ini yang dapat
menentukan nasib seseorang apakah ia akan kekal di neraka atau tidak? Allah Ta’ala
berfirman:
نَّهُ مَنْ
يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ
النَّارُ ۖ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan
(sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan
tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang
penolongpun” (QS. Al Maidah: 72)
Oleh karena itu, adakah yang lebih urgen dari
masalah ini?
Kesimpulannya, justru dakwah tauhid, seruan
untuk beraqidah yang benar adalah bentuk rahmat dari Allah Ta’ala.
Karena dakwah tauhid yang dibawa
oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam adalah rahmat
Allah, maka bagaimana mungkin menjadi sebab perpecahan ummat? Justru
kesyirikanlah yang sebenarnya menjadi sebab perpecahan ummat. Sebagaimana
firman Allah Ta’ala:
وَلَا تَكُونُوا
مِنَ الْمُشْرِكِينَ مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا ۖ
كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ
“Janganlah kamu termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan
mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa
yang ada pada golongan mereka” (QS. Ar Ruum: 31-32)
Pemahaman Yang Benar
Berdasarkan penafsiran para ulama ahli tafsir yang
terpercaya, beberapa faedah yang dapat kita ambil dari ayat ini adalah:
1.
Di utusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
Wa sallam sebagai Rasul Allah adalah bentuk kasih sayang Allah kepada
seluruh manusia.
2.
Seluruh manusia di muka bumi diwajibkan memeluk
agama Islam.Hukum-hukum syariat dan aturan-aturan dalam Islam adalah bentuk
kasih sayang Allah Ta’ala kepada makhluk-Nya.
3.
Seluruh manusia mendapat manfaat dengan
diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam baik yang beriman,
orang-orang kafir dan juga orang-orang munafik.
4.
Rahmat yang sempurna hanya didapatkan oleh orang yang
beriman kepada ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa
sallam
5.
Orang yang beriman kepada ajaran yang dibawa
oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam, membenarkan beliau
serta taat kepada beliau, akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
6.
Secara umum, orang kafir mendapat rahmat dengan
diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam berupa dihindari
dari adzab yang menimpa umat-umat terdahulu yang menentang Allah.
7.
Orang munafik yang mengaku beriman di lisan
namun ingkar di dalam hati juga mendapat rahmat dengan diutusnya Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Mereka mendapat manfaat berupa
terjaganya darah, harta, keluarga dan kehormatan
mereka. Mereka pun diperlakukan sebagaimana kaum muslimin yang lain dalam hukum
waris dan hukum yang lain. Namun di akhirat kelak Allah akan menempatkan mereka
di dasar neraka Jahannam.
8.
Pengutusan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
Wa sallam menjadi rahmat karena beliau telah memberikan pencerahan
kepada manusia yang awalnya dalam kejahilan dan memberikan hidayah kepada
manusia yang awalnya berada dalam kesesatan berupa peribadatan kepada selain
Allah.[10]
Penjelasan tentang islam rahmatan lil alamin
sangat memuaskan sehingga jelas bahwa islam adalah untuk semua manusia di muka
bumi ini. Allah Maha Mengetahui bahwa semua manusia di bumi mempunyai
kebudayaan yang berbeda-beda sebanyak yang Allah kehendaki, dan dengan
rahmatNya Allah mengajarkan dan hanya meridhai syariat Islam untuk semua
manusia yang terdiri dari berbagai kebudayaan. Dimana islam telah mempunyai
aturan-aturan dan kaidah-kaidah umum agar semua budaya bias berasimilasi dengan
islam dan kemurnian agama islam tetap terpelihara dan hal ini dibuktikan dengan
tersebarnya Islam keberbagai Negara yang notebene mempunyai latar budaya yang
berbeda.
Tidak ada yang dipungkiri dari kenyataan bahwa
semua kebudayaan bias berasimilasi dengan islam dalam batasan dan kaidah–kaidah
yang disebutkan. Sebagai contoh adalah budaya berpakaian bagi kaum adam dan
hawa. Kaum Adam dibolehkan berpakaian sesuai urf(budaya) asalkan menutup aurat
dan tidak menyerupai orang kafir dalam pakaian syuhrah(kebesaran) mereka. Adapun
kaum Hawa dalam islam dituntun untuk menutup seluruh anggota badannya dgn
pakaian yang longgar, tebal tidak tipis, dan lain-lain sesuai persyaratan hijab
syar’I dalam islam asalkan tidak berseberangan dengan kaidah ibadah dan
muamalah yang telah dipaparkan didepan. Contoh lain adalah dalam masalah
batasan safar yang islam tidak menentukan sejauh berapa kilometernya, tapi
disesuaikan bahwa jarak safar itu menurut urf(budaya) setempat untuk menentukan
sudah termasuk jarak safar atau tidak.
E.
Mengapa Dikatakan Asimilasi Kebudayaan Dengan Islam Bukan Dikatakan
Sebagai Bentuk Akulturasi Kebudayaan?
Sebagaimana pemaparan di awal bahwa asimilasi
kebudayaan adalah suatu kebudayaan yang merupakan hasil dari
percampuran dua budaya yang berbeda yang menghasilkan suatu bentuk kebudayaan
baru. Dan biasanya terdapat golongan mayoritas dan minoritas yang salah satu
dari keduanya mempengaruhi kebudayaan lain sehingga pengaruhnya menciptakan
kebudayaan baru bagi golongan yang dipengaruhi.
Sedangkan akulturasi kebudayaan adalah suatu
bentuk kebudayaan yang merupakan hasil dari bertemunya dua kebudayaan dan hasil
tersebut tetap mempertahankan ciri khas kebudayaan masing-masing.
Lalu mengapa dikatakan Asimilasi kebudayaan
dengan islam bukan dikatakan sebagai bentuk akulturasi kebudayaan?. Jawabnya
adalah karena golongan yang mengalami proses asimilasi
adalah golongan minoritas dalam hal ini Islam dan golongan mayoritas dalam hal
ini banyak kebudayaan dunia. Biasanya, golongan minoritaslah yang mengubah
sifat khas dari unsur-unsur kubudayaannya, dan menyesuaikannya dengan
kebudayaan dari golongan mayoritas sedemikian rupa sehingga lambat laun
kehilangan kepribadian kebudayaannya, dan masuk ke dalam kebudayaan mayoritas.
Namun dalam hal ini walaupun islam sebagai golongan minoritas dia diterima oleh
golongan mayoritas karena kesesuaiannya dengan fitrah manusia itu sendiri dan
juga batasan dan kaidah-kaidah islam syarat dengan kemashlahatan yang
diinginkan oleh golongan mayoritas, sehingga islam bias diterima dan dipraktekkan
dalam seluruh kebudayaan dan menjadi sebuah produk baru dalam kehidupan
golongan mayoritas dan berbaur dalam naungan syariat islam.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari
pemaparan diatas dapat disimpulkan
1.
Asimilasi
kebudayaan adalah suatu kebudayaan yang merupakan hasil dari
percampuran dua budaya yang berbeda yang menghasilkan suatu bentuk kebudayaan
baru. Dan biasanya terdapat golongan mayoritas dan minoritas yang salah satu
dari keduanya mempengaruhi kebudayaan lain sehingga pengaruhnya menciptakan
kebudayaan baru bagi golongan yang dipengaruhi.
2.
Dari sejarah dapat diketahui penyebaran islam
dimulai dari daerah-daerah terdekat dengan kota madinah sehingga seluruh
jazirah arab mengenal islam dengan baik dan mengamalkan ajaran islam sehingga
secara langsung mempengaruhi budaya setempat untuk disesuaikan dengan ajaran
islam
3.
Dua kaidah penting dalam islam ketika
menghadapi berbagai kebudayaan dunia agar bias ditrima dan diterapkan dalam
kebudayaan-kebudayaan tersebut.
Ø "Hukum asal dalam beribadah adalah haram
dan batal kecuali yang ada dalil yang memerintahkan"
Ø "Hukum asal dari sesuatu
(muamalah/keduniaan) adalah mubah sampai ada dalil yang melarangnya
(memakruhkannya atau mengharamkannya)"
4.
Penjelasan tentang islam rahmatan lil alamin
sangat memuaskan sehingga jelas bahwa islam adalah untuk semua manusia di muka
bumi ini. Allah Maha Mengetahui bahwa semua manusia di bumi mempunyai
kebudayaan yang berbeda-beda sebanyak yang Allah kehendaki, dan dengan rahmatNya
Allah mengajarkan dan hanya meridhai syariat Islam untuk semua manusia yang
terdiri dari berbagai kebudayaan. Dimana islam telah mempunyai aturan-aturan
dan kaidah-kaidah umum agar semua budaya bias berasimilasi dengan islam dan
kemurnian agama islam tetap terpelihara dan hal ini dibuktikan dengan
tersebarnya Islam keberbagai Negara yang notebene mempunyai latar budaya yang
berbeda.
5.
Mengapa dikatakan Asimilasi kebudayaan dengan
islam bukan dikatakan sebagai bentuk akulturasi kebudayaan?. Jawabnya adalah
karena golongan yang mengalami proses asimilasi adalah golongan minoritas dalam
hal ini Islam dan golongan mayoritas dalam hal ini banyak kebudayaan dunia.
Biasanya, golongan minoritaslah yang menguhah sifat khas dari unsur-unsur
kubudayaannya, dan menyesuaikannya dengan kebudayaan dari golongan mayoritas
sedemikian rupa sehingga lambat laun kehilangan kepribadian kebudayaannya, dan
masuk ke dalam kebudayaan mayoritas. Namun dalam hal ini walaupun islam sebagai
golongan minoritas dia diterima oleh golongan mayoritas karena kesesuaiannya
dengan fitrah manusia itu sendiri dan juga batasan dan kaidah-kaidah islam
syarat dengan kemashlahatan yang diinginkan oleh golongan mayoritas, sehingga
islam bias diterima dan dipraktekkan dalam seluruh kebudayaan dan menjadi sebuah
produk baru dalam kehidupan golongan mayoritas dan berbaur dalam naungan
syariat islam.
B. SARAN
Sebagai seorang muslim, sudah menjadi kewajiban
untuk memperdalam keilmuan dalam islam dan diamalkan dalam keseharian dan
seharusnya pula seorang muslim berbangga dengan agama islam karena islam
satu-satunya agama yang diridhai Allah. Pengamalan islam dalam kehidupan
sehari-hari sesuai dengan aturan syariat islam yang penuh mashlahat seyogyanya
diwujudkan dan konsisten untuk diterapkan. Maka dengan menerapkan islam dari
yang pertama yakni diri sendiri kemudian keluarga, kemudian lingkungan akan
terbudayakan hidup dalam naungan syariat islam sehingga kemashlahatan dan
keamanan tercapai dengan baik.
Disusun Oleh : Ima Antasary
[1] http://dahlanforum.wordpress.com/2009/10/11/kebudayaan-nasional/
diunduh tanggal 5 Desember 2012
[2] http://imanizty.wordpress.com/2012/06/14/kebudayaan-adalah-ciri-khas-bangsa-indonesia/ diunduh tanggal 5 Desember 2012
[3] http://id.wikipedia.org/wiki/Asimilasi_%28sosial%29
diunduh tanggal 5 Desember 2012
[4] http://muslim.or.id/aqidah/agama-islam.html
diunduh tanggal 11 desember 2012
[5] http://muslim.or.id/manhaj/inilah-generasi-terbaik-dalam-sejarah.html
diunduh tanggal 11 Desember 2012
[6]
ibid
Diunduh tanggal 5 Desember 2012
[8]
http://elhijrah.blogspot.com/2011/02/memahami-kaidah-penting-dalam-beribadah.html
diunduh tanggal 5 Desember 2012
[9] http://elhijrah.blogspot.com/2011/02/memahami-kaidah-penting-dalam-beribadah.html diunduh tanggal 5 Desember 2012
[10] .http://muslim.or.id/islam-rahmatan-lil-‘alamin/
diunduh tanggal 5 Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar