Sabtu, 23 November 2013

Islam dan Asimilasi Kebudayaan




A.  Definisi Kebudayaan, Asimilasi Dan Asimilasi Kebudayaan

A.1. Definisi kebudayaan
Budaya secara harfiah berasal dari Bahasa Latin yaitu Colere yang memiliki arti mengerjakan tanah, mengolah, memelihara ladang (menurut Soerjanto Poespowardojo 1993). Selain itu Budaya atau kebudayaan berasal daribahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Adapun menurut istilah Kebudayaan merupakan suatu yang agung dan mahal, tentu saja karena ia tercipta dari hasil rasa, karya, karsa,dan cipta manusia yang kesemuanya merupakan sifat yang hanya ada pada manusia.Tak ada mahluk lain yang memiliki anugrah itu sehingga ia merupakan sesuatuyang agung dan mahal
Menurut Koentjaraningrat budaya adalah keseluruhan sistem gagasan tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan miliki diri manusia dengan cara belajar.[1]

Definisi kebudayaan memiliki arti yang sangat luas dan beragam namun tetap satu arti dan berikut adalah definisi kebudayaan dari beberapa tokoh ahli:
1.    Herkovis
Kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi lain.
2.    Andreas Eppink
Kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain.
3.    Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi
Kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Dari beberapa definisi kebudayaan diatas dapat disimpulkan bahwa kebudayaan adalah suatu sarana hasil karya, rasa, dan cipta yang mengandung keseluruhan aspek sosial dan diwariskan turun temurun dari generasi ke generasi.[2]

A.2. Definisi Asimilasi[3]
Asimilasi atau assimilation adalah proses sosial yang timbul bila ada golongan-golongan manusia dengan latar belakangan kebudayaan yang berbeda-beda yang saling  bergaul  langsung  secara  intensif  untuk  waktu  yang  lama,  sehingga kebudayaan-kebudayaan golongan-golongan tadi masing-masing berubah sifatnya yang khas, dan unsur-unsurnya masing-masing berubah menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran. Secara  singkat,  asimilasi  adalah pembauran dua kebudayaan yang disertai dengan hilangnya ciri khas kebudayaan asli sehingga membentuk kebudayaan baru.

Asimilasi dapat terbentuk apabila terdapat tiga persyaratan berikut:
1.    terdapat sejumlah kelompok yang memiliki kebudayaan berbeda.
2.    terjadi pergaulan antarindividu atau kelompok secara intensif dan dalam waktu yang relatif lama.
3.    Kebudayaan masing-masing kelompok tersebut saling berubah dan menyesuaikan diri.

A.3. Definisi Asimilasi Kebudayaan
Dari pemaparan dua definisi diatas maka dapat kita paparkan definisi asimilasi kebudayaan. Asimilasi kebudayaan adalah suatu kebudayaan yang merupakan hasil dari percampuran dua budaya yang berbeda yang menghasilkan suatu bentuk kebudayaan baru.

B.  Agama Islam Dan Peranannya Dalam Budaya Negara-Negara Timur Tengah
Agama Islam adalah sebuah agama samawi yang dibawa oleh utusan Allah Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam. Inti ajaran agama islam yakni mengesakan Allah dalam ibadah. Sebelum kedatangan islam, seluruh penduduk bumi mempunyai banyak sekali sesembahan-sesembahan yang mereka sembah. Ada diantara manusia menyembah matahari yang tersebar di negeri india, ada pula yang menyembah api sebagaimana negeri Persia, ada pula yang menyembah pohon dan batu berupa patung-patung yang dipahat yang mana ini tersebar meluas diseluruh negeri.
Agama Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan agama inilah Allah menutup agama-agama sebelumnya. Allah telah menyempurnakan agama ini bagi hamba-hambaNya. Dengan agama Islam ini pula Allah menyempurnakan nikmat atas mereka. Allah hanya meridhoi Islam sebagai agama yang harus mereka peluk. Oleh sebab itu tidak ada suatu agama pun yang diterima selain Islam.
Allah ta’ala berfirman,
مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَكِن رَّسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيماً
“Muhammad itu bukanlah seorang ayah dari salah seorang lelaki diantara kalian, akan tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para Nabi.” (QS. Al Ahzab: 40)
Allah ta’ala juga berfirman,
إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللّهِ الإِسْلاَمُ
“Sesungguhnya agama yang benar di sisi Allah hanyalah Islam.”(QS.Ali Imran: 19)
Allah ta’ala berfirman,
وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِيناً فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan barang siapa yang mencari agama selain Islam maka tidak akan pernah diterima darinya dan di akhirat nanti dia akan termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Ali ‘Imran: 85)
Allah ta’ala mewajibkan kepada seluruh umat manusia untuk beragama demi Allah dengan memeluk agama ini. Allah berfirman kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعاً الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ لا إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ يُحْيِـي وَيُمِيتُ فَآمِنُواْ بِاللّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ الأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
“Katakanlah: Wahai umat manusia, sesungguhnya aku ini adalah utusan Allah bagi kalian semua, Dialah Dzat yang memiliki kekuasaan langit dan bumi, tidak ada sesembahan yang haq selain Dia, Dia lah yang menghidupkan dan mematikan. Maka berimanlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya seorang Nabi yang ummi (buta huruf) yang telah beriman kepada Allah serta kalimat-kalimat-Nya, dan ikutilah dia supaya kalian mendapatkan hidayah.” (QS. Al A’raaf: 158)
Di dalam Shahih Muslim terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan dari jalur Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda yang artinya, “Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di tangannya. Tidaklah ada seorang manusia dari umat ini yang mendengar kenabianku, baik yang beragama Yahudi maupun Nasrani lantas dia meninggal dalam keadaan tidak mau beriman dengan ajaran yang aku bawa melainkan dia pasti termasuk salah seorang penghuni neraka.”
Hakikat beriman kepada Nabi adalah dengan cara membenarkan apa yang beliau bawa dengan disertai sikap menerima dan patuh, bukan sekedar pembenaran saja. Oleh sebab itulah maka Abu Thalib tidak bisa dianggap sebagai orang yang beriman terhadap Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam walaupun dia membenarkan ajaran yang beliau bawa, bahkan dia berani bersaksi bahwasanya Islam adalah agama yang terbaik.
Agama Islam ini telah merangkum semua bentuk kemaslahatan yang diajarkan oleh agama-agama sebelumnya. Agama Islam yang beliau bawa ini lebih istimewa dibandingkan agama-agama terdahulu karena Islam adalah ajaran yang bisa diterapkan di setiap masa, di setiap tempat dan di masyarakat manapun.
Agama Islam adalah agama yang benar. Sebuah agama yang telah mendapatkan jaminan pertolongan dan kemenangan dari Allah ta’ala bagi siapa saja yang berpegang teguh dengannya dengan sebenar-benarnya. Allah ta’ala berfirman,
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ
“Dia lah Zat yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa Petunjuk dan Agama yang benar untuk dimenangkan di atas seluruh agama-agama yang ada, meskipun orang-orang musyrik tidak menyukainya.” (QS. Ash Shaff: 9)
Agama Islam adalah ajaran yang mencakup akidah/keyakinan dan syariat/hukum. Islam adalah ajaran yang sempurna, baik ditinjau dari sisi aqidah maupun syariat-syariat yang diajarkannya:
1.    Islam memerintahkan untuk mentauhidkan Allah ta’ala dan melarang kesyirikan.
2.    Islam memerintahkan untuk berbuat jujur dan melarang dusta.
3.    Islam memerintahkan untuk berbuat adil dan melarang aniaya.
4.    Islam memerintahkan untuk menunaikan amanat dan melarang berkhianat.
5.    Islam memerintahkan untuk menepati janji dan melarang pelanggaran janji.
6.    Islam memerintahkan untuk berbakti kepada kedua orang tua dan melarang perbuatan durhaka kepada mereka.
7.    Islam memerintahkan untuk menjalin silaturahim (hubungan kekerabatan yang terputus) dengan sanak famili dan Islam melarang perbuatan memutuskan silaturahim.
8.    Islam memerintahkan untuk berhubungan baik dengan tetangga dan melarang bersikap buruk kepada mereka.

Secara umum dapat dikatakan bahwasanya Islam memerintahkan semua akhlak yang mulia dan melarang akhlak yang rendah dan hina. Islam memerintahkan segala macam amal salih dan melarang segala amal yang jelek. Allah ta’ala berfirman,
إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيتَاء ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Sesungguhnya Allah memerintahkan berbuat adil, ihsan dan memberikan nafkah kepada sanak kerabat. Dan Allah melarang semua bentuk perbuatan keji dan mungkar, serta tindakan melanggar batas. Allah mengingatkan kalian agar kalian mau mengambil pelajaran.” (QS. An Nahl: 90)[4]

Begitu sempurna ajaran islam sehingga masyarakat rabbany hasil didikan ajaran islam telah terbentuk dan menerapkan islam dalam keseharian mereka. Masyarakat itu tidak lain adalah masyarakat yang terdiri dari sahabat-sahabat nabi yang mana mereka adalah kaum dan ummat terbaik di muka bumi. dan
Sahabat adalah orang yang berjumpa dengan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dalam keadaan muslim, meninggal dalam keadaan Islam, meskipun sebelum mati dia pernah murtad seperti Al Asy’ats bin Qais. Sedangkan yang dimaksud dengan berjumpa dalam pengertian ini lebih luas daripada sekedar duduk di hadapannya, berjalan bersama, terjadi pertemuan walau tanpa bicara, dan termasuk dalam pengertian ini pula apabila salah satunya (Nabi atau orang tersebut) pernah melihat yang lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu Abdullah bin Ummi Maktum radhiyallahu’anhu yang buta matanya tetap disebut sahabat (lihat Taisir Mushthalah Hadits, hal. 198, An Nukat, hal. 149-151)[5]
Allah memuji para sahabat dalam firmanNya
 Ó£JptC ãAqß§ «!$# 4 tûïÏ%©!$#ur ÿ¼çmyètB âä!#£Ï©r& n?tã Í$¤ÿä3ø9$# âä!$uHxqâ öNæhuZ÷t/ ( öNßg1ts? $Yè©.â #Y£Úß tbqäótGö6tƒ WxôÒsù z`ÏiB «!$# $ZRºuqôÊÍur ( öNèd$yJÅ Îû OÎgÏdqã_ãr ô`ÏiB ̍rOr& ÏŠqàf¡9$# 4 y7Ï9ºsŒ öNßgè=sVtB Îû Ïp1uöq­G9$# 4 ö/àSè=sVtBur Îû È@ŠÅgUM}$# ?íötx. ylt÷zr& ¼çmt«ôÜx© ¼çnuy$t«sù xán=øótGó$$sù 3uqtFó$$sù 4n?tã ¾ÏmÏ%qß Ü=Éf÷èムtí#§9$# xáŠÉóuÏ9 ãNÍkÍ5 u$¤ÿä3ø9$# 3 ytãur ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# Nåk÷]ÏB ZotÏÿøó¨B #·ô_r&ur $JJÏàtã ÇËÒÈ  
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu Lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, Yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah Dia dan tegak Lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar. (Q.S Al-Fath:29)
Begitu pula nabi kita yang mulia memuji para sahabat sebagaimana kita ketahui ucapan beliau bukan berdasarkan hawa nafsunya. Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik umat manusia adalah generasiku (sahabat), kemudian orang-orang yang mengikuti mereka (tabi’in) dan kemudian orang-orang yang mengikuti mereka lagi (tabi’ut tabi’in).” (Muttafaq ‘alaih)[6]

Karena mereka dididik langsung oleh nabi, maka hasilnya mereka para sahabat ridhwanullah ajma’in mengamalkan islam dalam keseharian mereka,yang mana sebelumnya kebiasaan mereka maupun kebudayaan mereka sangat jauh berbeda dengan ajaran islam. Islam datang meluruskan jiwa-jiwa mereka sehingga mereka mendapatkan kejayaan dan berhasil menjadikan ajaran islam sebagai bagian rutinitas mereka sehingga terciptalah suatu kebudayaan yang diwariskan turun temurun dalam masyarakat rabbany yang berjalan diatas rel-rel syariat.
Ketika mereka para sahabat telah menerapkan islam dalam semua aspek hidup mereka dengan demikian islam menjadi sesuatu yang diwariskan turun temurun sehingga terciptalah kebudayaan yang berlandaskan wahyu yakni islam.
Islam semakin meluas dan diterima oleh banyak lapisan masyarakat dan juga banyak negeri, maka dengan islamnya negeri-negeri setiap individu merasa butuh untuk mempelajari islam dan juga menerapkannya atau mengamalkannya dalam keseharian mereka.
Dari sejarah dapat diketahui penyebaran islam dimulai dari daerah-daerah terdekat dengan kota madinah sehingga seluruh jazirah arab mengenal islam dengan baik dan mengamalkan ajaran islam sehingga secara langsung mempengaruhi budaya setempat untuk disesuaikan dengan ajaran islam.
Contoh budaya masyarakat yang sangat jelas terlihat adalah pada syariat hijab untuk kaum wanita muslimah. Sebelum islam datang, masyarakat jazirah arab atau negeri-negeri timur tengah mempunyai kebudayaan berpakaian ala kadarnya dan tidak jarang mereka tidak mengenakan sehelai benangpun ketika mereka beribadah haji ke ka’bah. Ketika islam dating, islam mengatur  batasan-batasan berpakaian bagi muslimah untuk mengangkat derajat muslimah dengan pensyariatan hijab bagi muslimah. Dan kaum muslimah diawal-awal islam mengamalkan syariat tersebut dan menyebar ke daerah-daerah perluasan islam sehingga menjadi ciri bahwa masyarakat Negeri-negeri Muslim kaum wanitanya berhijab rapat sesuai syar’I sehingga menjadi suatu kebudayaan islam.
Berikut penjelasan ustadz Abu Ayyaz pada blog yang beliau miliki [7]
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang Mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al Ahzab: 59)
Ayat ini tegas menjadi dalil atas wajibnya mengenakan jilbab bagi setiap muslimah. Kewajiban mengenakan jilbab dalam ketentuan syari’ah sepadan dengan kewajiban-kewajiban lainnya yang telah diatur dalam agama. Hal ini bertolak belakang dengan anggapan sebagian orang yang menyatakan bahwa jilbab merupakan produk budaya, atau ketentuan yang terikat secara kondisional sehingga hukumnya “boleh-boleh saja” dikenakan.
Para pembaca perlu mengerti, dalam sejarah penetapan hukum syari’ah (tarikh tasyri’) telah digambarkan bahwa kebudayaan wanita-wanita Arab jahiliyah sebelum diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam ialah dalam keadaan terbuka auratnya, bahkan telanjang bulat ketika thawaf di Ka’bah. “Mereka melemparkan pakaian mereka dan meninggalkannya tergeletak di atas tanah. Mereka tidak lagi mengambil pakaian tersebut untuk selamanya, membiarkannya terinjak-injak oleh kaki orang-orang yang lalu lalang hingga pakaian tersebut usang. Demikian kebiasaan jahiliyah yang dinamakan Al-Liqa’ ini berlangsung hingga datanglah Islam dan Allah memerintahkan mereka untuk menutup auratnya, sebagaimana dalam firman-Nya surat Al-A’raf ayat 31.” (Syarh Shahiih Muslim, Al-Imam An-Nawawi, 18/369).
Maka sungguh tidak relevan jika anggapan tersebut kita korelasikan dengan kenyataan budaya Arab pada masa pra-Islam.
Adapun setelah itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam mewajibkan kepada isteri-isteri beliau, anak perempuan beliau dan wanita-wanita kaum Mu’minin untuk mengulurkan jilbab ke seluruh tubuh mereka. Ini menunjukkan bahwa jilbab bukanlah produk budaya Arab, akan tetapi murni wahyu dari Allah yang turun kepada Nabi-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam guna diamalkan oleh segenap ummatnya dari kalangan Muslimah dimanapun mereka berada sampai datangnya hari Kiamat.
Namun yang masih menjadi persoalan ialah biasnya definisi jilbab yang dipahami ditengah masyarakat kita. (selesai penjelasan beliau)
Contoh Di atas hanya merupakan salah satu contoh islam menjadi sebuah budaya dalam masyarakat, karena dalam prakteknya banyak sekali ajaran-ajaran islam yang membudaya terutama pada masyarakat negeri-negeri Timur Tengah.

C.  Kaidah Fiqhiyyah Dalam Islam.
Sebagaimana telah dijelaskan secara global diatas bahwa islam adalah sebuah agama yang sudah sempurna, maka islam mepunyai kaidah-kaidah fiqhiyyah atau batasan-batasan secara tinjauan hukum fiqhnya untuk menjaga kemurnian agama islam ketika berhadapan dengan beragam budaya masyarakat di dunia karena Agama Islam ditujukan untuk semua penduduk bumi yang notabene mempunyai bermacam-macam kebudayaan.

C.1. Kaidah dalam beribadah
"Hukum asal dalam beribadah adalah haram dan batal kecuali yang ada dalil yang memerintahkan"
Ada beberapa dalil , diantaranya adalah ayat Al Qur'an surah al Hujurat :1
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al Hujurat :1)
Maksudnya orang-orang mukmin tidak boleh menetapkan sesuatu hukum, sebelum ada ketetapan dari Allah dan RasulNya. Tidak boleh membuat cara ibadah sebelum ada perintah dari Allah dan tuntunan dari Rasulullah.
Ibadah pada dasarnya adalah haram dan batal. Hukum asalnya adalah haram, dan sesuatu yang batal, tidak syah, tidak berguna dan sia-sia.
Hukum haram dapat berubah menjadi wajib, atau sunnah apabila ada perintah dari Allah dan Rasul-Nya.. Apabila tidak ada perintah dari Allah dan Rasul-Nya atau apabila tidak ada dalil yang menyuruh (perintah) melakukannya, ia kembali kepada hukum asal HARAM.
Hukum-hukum dalam beribadah sudah baku, hak mutlak / otoritas Allah (karena Dia- lah yang menciptakan cara beribadah sehingga tidak ada peluang bagi manusia untuk membuat cara baru walaupun dipandang baik). Hukum dalam ibadah berupa “mandat” dari Allah dengan cara mengikuti Rasulullah, manusia hanya menjalankan sesuai isi mandat dan juklak ( petunjuk pelaksanaan : Al Qur'an dan Hadits Shahih). Apabila dilaksanakan atau tidak dilaksanakan, apabila sesuai atau tidak sesuai, ada ganjaran, yaitu pahala dan dosa.
اَلأَ صْلُ فِى اْلعِبَا دَةِ مَأْ مُوْرٌ
" Hukum asal ibadah adalah ( apabila ada) perintah"
Dalilnya adalah :
"Katakanlah: "Sesungguhnya Aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama. (QS. Az Zumar : 11)
Tanpa adanya perintah Allah atau dari Rasul-Nya, maka siapa yang memerintahkannya ? Kalau bukan atas perintah Allah dan Rasul-Nya maka bisa terjatuh dalam kesyirikan, berarti ada "tuhan" lain yang memerintahkan cara beribadah sesuai kemauan si "tuhan" tersebut. Padahal yang membuat cara beribadah dan cara menyembah kepada Allah hanyalah Allah semata.
Maka tidak boleh melakukan suatu ibadah, walaupun (cara /model ibadah tanpa dasar tadi) dipandang baik oleh orang [baca : bid'ah hasanah] dan dilakukan oleh orang banyak. Lebih baik diam (tidak mengerjakan) apabila tidak tahu dalilnya, atau bertanya kepada yang mengetahui hukumnya.
"Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)." [ QS. Al An'am : 116]
Dalam ibadah jangan mengikuti persangkaan atau perasaan. Ah ! itukan baik !, yang penting niatnya baik !, lihat orang-orang, banyak yang melakukannya. Ah ! itukan sudah tradisi ! Orang-orang sebelum kita (nenek moyang kita, bapak-bapak kita) juga melakukannya !
Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang Telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami Hanya mengikuti apa yang Telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?".( QS. Al Baqarah : 170 )
Kalau tidak ada perintah Allah, atau kalau tidak ada contohnya dari Rasulullah, maka kita perlu bertanya, perintah siapakah yang menyuruh beribadah dengan model seperti itu ? Kalau seandainya perintah manusia ( misalnya : Syaikh, Tuan Guru, Guru Tariqat, Kiyai, Habib, dll) maka merekalah yang kita sembah. Karena mengikuti atau menta'ati cara beribadah yang dibuat oleh mereka sendiri (seandainya tanpa dalil yang shahih). Secara tidak sadar terjatuh dalam perbuatan syirik, karena ada si pembuat baru selain Allah. Ingat ! Hanya Allah yang membuat cara ibadah dan hanya Allah yang patut disembah atau di ibadahi, إِيَّاكَ نَعْبُدُ dan tidaklah Allah menciptakan Manusia dan Jin kecuali hanya untuk beribadah kepada Allah,
وَمَا خَلَقْتُ اْلجِنَّ وَالإِ نْسَ إِلاَّ ِليَعْبُدُوْن
Tidak ada satu pun ibadah dalam Islam, kecuali Nabi sudah mencontohkannya, kemudian di ikuti oleh para sahabat, tabi'in dan tabi'it tabi'in. Kita tidak boleh meniru atau mengikuti siapapun dalam beribadah, walau dia dikatakan sebagai orang yang alim atau ulama, kecuali orang itu mengikuti (ittiba') cara Rasulullah, maka ikutilah. Cara mengetahui bagaimana tata cara Rasulullah dalam beribadah dan muamalah adalah dengan cara mempelajari Hadits-hadits yang shahih.
Ibadah adalah hubungan, sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, dengan mengharap ridha-Nya, ampunan-Nya, dan pasti tujuannya kebaikan (mencari pahala). Allah-lah yang menciptakan ibadah, karena itu tidak boleh melakukan ibadah kecuali apa yang telah disyari'atkan Allah. Sebab hanya Pembuat Syari'at (Allah) sendiri yang berhak membuat cara-cara ibadah bagi hamba-Nya untuk mendekatkan diri pada-Nya. Bahanyanya adalah apabila kita salah sembah. Siapa yang kita sembah ?

Hakikat ibadah tercermin dalam dua hal :
1.    Tidak ada yang di ibadahi kecuali hanya Allah.
2.    Tidak boleh beribadah kepada Allah kecuali dengan cara yang telah disyari'atkan-Nya.
Atau dalam pengertian yang lain :
1.    Ikhlas hanya kepada Allah semata.
2.    Amalan tersebut harus dikerjakan atas tuntunan (ittiba') kepada Rasulullah.
Ikhlash dan mutaba’ah adalah syarat diterimanya ibadah [talqihul ifhamil ‘illiyah bi syarhil qawa’idil fiqhiyah 1 : 54, qaidah no.15 ][8]

C.2. Kaidah Dalam Muamalah
اَلأَصْلُ فِى اْلأَشْيَاءِ اْلإِ بَا حَة حَتَّى يَدُ لَّ اْلدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ
"Hukum asal dari sesuatu (muamalah/keduniaan) adalah mubah sampai ada dalil yang melarangnya (memakruhkannya atau mengharamkannya)"(Imam As Suyuthi, dalam al Asyba' wan Nadhoir: 43)
لاَ تُشْرَعُ عِبَا دَةٌ إِلاَّ بِشَرْعِ اللهِ , وَلاَ تُحَرَّمُ عاَ دَةٌ إِلاَّ بِتَحْرِيْمِ اللهِ
"Tidak boleh dilakukan suatu ibadah kecuali yang disyari'atkan oleh Allah, dan tidak dilarang suatu adat (muamalah) kecuali yang diharamkan oleh Allah"
Muamalah (keduniaan) pada dasarnya adalah “mubah”. Asal hukumnya boleh (jaiz). Ia berubah hukumnya apabila ada larangan. Apabila ada larangan, sesuatu yang halal, maka berubah menjadi “haram” dan “makruh”. Apabila tidak ada larangan, atau apabila tidak ada dalil yang melarangnya, ia kembali kepada hukum asalnya, yaitu “HALAL”.
"Dia-lah Allah yang menjadikan segala yang ada di Bumi untuk kamu" (QS. Al Baqarah : 29)
"Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya (sebagai rahmat)" (QS. Al Jatsiyah : 13)
Allah sama sekali tidak menciptakan segala sesuatu dan menundukkannya bagi kepentingan manusia sebagai ni'mat, kemudian Allah lantas mengharamkannya bagi manusia ? Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan beberapa bagian saja, sehingga wilayah haram dalam agama sangat sempit sedang wilayah halal sangat luas.
Prinsip dalam “beribadah” lebih menekankan pada larangan sampai ada “perintah”, prinsip dalam “muamalah” lebih menekankan pada pembolehan sampai ada “larangan”. Sampai kalau ada dalil (yang membolehkan atau yang melarang), maka status hukumnya berubah.
Kaidah ini harus dipahami betul-betul dahulu, sampai mengerti benar. Sebab banyak orang salah dalam beragama, karena tidak mengerti Kaidah (hukumnya). Salah melangkah pada start awal, maka langkah selanjutnya semakin keliru. Semakin menjauh dari rel-nya, keluar jalan.
Dalam hal ibadah, akal hanya tunduk pasrah, tunduk kepada wahyu, meniru apa yang sudah dicontohkan berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits shahih. Akal tidak boleh mengutak-atik hukum, kecuali hukum suatu ayat dijelaskan oleh ayat yang lain, atau suatu ayat dijelaskan oleh hadits, atau suatu hadits dijelaskan oleh hadits yang lain. Dari hukum umum menjadi khusus.

Perhatikan Kaidah yang sangat mulia ini ! :
لَوْ كَانَ خَيْراً لَسَبَقُوْناَ إِلَيْه
"Kalau sekiranya suatu perkara itu "baik",( pasti Rasulullah, para sahabat, tabi'in dan tabi'it tabi'in ) lebih dahulu melaksanakannya" daripada kita, karena mereka lebih 'alim lebih ta'at dan lebih tahu tentang agama daripada kita.
Contoh :
Shalat, kita hanya tinggal mencontoh cara Rasulullah shalat, berdasarkan syari’at Allah. Atas perintah Allah : "Dirikanlah shalat ! أَقِيمُوا الصَّلاَة Bagaimana cara shalatnya ? , dijelaskan lewat hadits-hadits Rasulullah, Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat bagaimana cara saya shalat صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمني أُصَلِّى.Tidak boleh membuat cara shalat yang baru. Seperti Shalat Hadiyah, ada tidak dalilnya ?
Dalam muamalah, akal diberikan porsi yang seluas-luasnya, أَنْتُمْ أَعْلَمُ بأِمُوْرِدُنْيَاكُمْ (kamu lebih mengerti dengan urusan duniamu) tetapi dengan syarat tidak boleh terlepas dari Al-Qur’an dan Hadits, pada pertimbangannya (sebagai barometer). Dalam muamalah tidak terbatas pada benda, tetapi mencakup perbuatan dan aktivitas-aktivitas yang tidak termasuk dalam urusan ibadah.
Contoh :
Boleh makan dan minum, menciptakan tekhnologi, membuat kendaraan, komputer, komunikasi canggih, jual-beli, sewa-menyewa, bermasyarakat, dll sesukanya, asalkan sampai batasan yang tidak diharamkan atau dimakruhkan oleh syari’at. Boleh makan sebatas tidak dimakruhkan dan diharamkan, misalnya ; jangan makan pakai tangan kiri, jangan minum sambil berdiri, jangan makan sampai kenyang berlebihan, jangan makan binatang yang buas, bertaring, mempunyai cakar tajam dll. Makan dan minum pada dasarnya boleh, kecuali yang dibatasi oleh Al Qur'an dan Hadits.
Ada orang yang mengatakan, "Kalau begitu naik Haji, kalau pakai Pesawat Terbang, bid'ah dong ? Dulukan pakai onta !. Rupanya orang tersebut tidak mengerti mana batasan pengertian bid'ah. Bid'ah hanya dalam pelaksanaan ibadahnya. Naik Pesawat Terbang bukan termasuk dalam pelaksanaan ibadah Haji. Tapi ia adalah sarana. Kalau begitu orang yang naik Haji dengan berjalan kaki jadi bid'ah juga dong ! Seandainya naik Haji harus pakai Onta. Pesawat Terbang adalah bagian dari Ilmu Pengetahuan, maka sifatnya mubah.
اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتىِ وَ رَضِيْتُ لَكُمْ اِسْلاَ مَ دِيْنَا
"Pada hari ini telah kusempurnakan bagimu agamamu dan telah kusempurnakan atasmu nikmatku dan telah kuridha'i Islam sebagai agamamu" (QS. Al Maidah : 3)
Agama Islam adalah agama yang sempurna, sesuatu yang sempurna tidak boleh dan tidak perlu ditambahi atupun dikurangi, karena Allah sendiri yang mengatakan "sempurna" Apabila menambahi atau mengurangi, maka ia lebih hebat dari Allah dan Rasul-Nya. Apa-apa yang datangnya dari Allah pasti disampaikan oleh Rasulullah, dan tidak ada yang disembunyikan.
Allah berfirman;
Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. [QS. Al Baqarah :67]
Semua Sunnah yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah upaya untuk menjelaskan Al-Qur’an. Tidak ada satu pun yang samar atau tersembunyi dari semua penjelasan yang dibutuhkan manusia dalam kehidupan dunia dan akhirat, melainkan beliau telah jelaskan, ini menunjukkan bahwa agama Islam sudah sempurna.
Para Sahabat telah memberi kesaksian atas hal itu pada peristiwa Hajjatul Wada’ ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri meminta mereka memberikan kesaksian, bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah menyampaikan seluruh risalah. Tidak ada satu pun yang beliau tidak sampaikan. Semua sudah disampaikan, apa saja yang membawa manusia ke Surga sudah beliau jelaskan, dan apa saja yang membawa manusia ke Neraka sudah beliau jelaskan pula.[9]
Demikianlah agama islam mempunyai kaidah-kaidah dalam ibadah dan muamalah ketika berhadapan dengan banyak kebudayaan dunia.

D.  Islam Untuk Semua Kebudayaan
Sebagaimana pemaparan diatas bahwa islam adalah sebuah agama samawi penutup agama-agama sebelumnya maka semua manusia sejak kedatangan islam harus tunduk dan patuh pada syariat islam. Islam ajarannya telah sempurna sehingga tidak memerlukan penambahan ataupun pengurangan juga karena islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia yang menginginkan ketentraman hidup. Sejarah telah membuktikan bahwa Islam bias diterapkan dalam kehidupan masyarakat, terkhusus masyarakat binaan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam yakni masyarakat yang terdiri dari para sahabat nabi ridhwanullahu ajma’in.
Allah Ta’ala berfirman:
وَما أَرْسَلْناكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعالَمِينَ
Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia” (QS. Al Anbiya: 107)
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam diutus dengan membawa ajaran Islam, maka Islam adalah rahmatan lil’alamin, Islam adalah rahmat bagi seluruh manusia.
Secara bahasa, rahmat artinya kelembutan yang berpadu dengan rasa iba (Lihat Lisaanul Arab, Ibnul Mandzur). Atau dengan kata lain rahmat dapat diartikan dengan kasih sayang. Jadi, diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam adalah bentuk kasih sayang Allah kepada seluruh manusia.

Penafsiran Para Ahli Tafsir
1. Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam Tafsir Ibnul Qayyim:
Pendapat yang lebih benar dalam menafsirkan ayat ini adalah bahwa rahmat disini bersifat umum. Dalam masalah ini, terdapat dua penafsiran:
Pertama: Alam semesta secara umum mendapat manfaat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam.
Orang yang mengikuti beliau, dapat meraih kemuliaan di dunia dan akhirat sekaligus. Orang kafir yang memerangi beliau, manfaat yang mereka dapatkan adalah disegerakannya pembunuhan dan maut bagi mereka, itu lebih baik bagi mereka. Karena hidup mereka hanya akan menambah kepedihan adzab kelak di akhirat. Kebinasaan telah ditetapkan bagi mereka. Sehingga, dipercepatnya ajal lebih bermanfaat bagi mereka daripada hidup menetap dalam kekafiran.
Orang kafir yang terikat perjanjian dengan beliau, manfaat bagi mereka adalah dibiarkan hidup didunia dalam perlindungan dan perjanjian. Mereka ini lebih sedikit keburukannya daripada orang kafir yang memerangi Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa sallam.
Orang munafik, yang menampakkan iman secara zhahir saja, mereka mendapat manfaat berupa terjaganya darah, harta, keluarga dan kehormatan mereka. Mereka pun diperlakukan sebagaimana kaum muslimin yang lain dalam hukum waris dan hukum yang lain.
Dan pada umat manusia setelah beliau diutus, Allah Ta’ala tidak memberikan adzab yang menyeluruh dari umat manusia di bumi. Kesimpulannya, semua manusia mendapat manfaat dari diutusnya Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa sallam.
Kedua: Islam adalah rahmat bagi setiap manusia, namun orang yang beriman menerima rahmat ini dan mendapatkan manfaat di dunia dan di akhirat. Sedangkan orang kafir menolaknya. Sehingga bagi orang kafir, Islam tetap dikatakan rahmat bagi mereka, namun mereka enggan menerima. Sebagaimana jika dikatakan ‘Ini adalah obat bagi si fulan yang sakit’. Andaikan fulan tidak meminumnya, obat tersebut tetaplah dikatakan obat”

2. Muhammad bin Ali Asy Syaukani dalam Fathul Qadir:
“Makna ayat ini adalah ‘Tidaklah Kami mengutusmu, wahai Muhammad, dengan membawa hukum-hukum syariat, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia tanpa ada keadaan atau alasan khusus yang menjadi pengecualian’. Dengan kata lain, ‘satu-satunya alasan Kami mengutusmu, wahai Muhammad, adalah sebagai rahmat yang luas. Karena kami mengutusmu dengan membawa sesuatu yang menjadi sebab kebahagiaan di akhirat’ ”

3. Muhammad bin Jarir Ath Thabari dalam Tafsir Ath Thabari:
“Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang makna ayat ini, tentang apakah seluruh manusia yang dimaksud dalam ayat ini adalah seluruh manusia baik mu’min dan kafir? Ataukah hanya manusia mu’min saja? Sebagian ahli tafsir berpendapat, yang dimaksud adalah seluruh manusia baik mu’min maupun kafir. Mereka mendasarinya dengan riwayat dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhu dalam menafsirkan ayat ini:
من آمن بالله واليوم الآخر كتب له الرحمة في الدنيا والآخرة , ومن لم يؤمن بالله ورسوله عوفي مما أصاب الأمم من الخسف والقذف
Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, ditetapkan baginya rahmat di dunia dan akhirat. Namun siapa saja yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, bentuk rahmat bagi mereka adalah dengan tidak ditimpa musibah yang menimpa umat terdahulu, seperti mereka semua di tenggelamkan atau di terpa gelombang besar
dalam riwayat yang lain:
تمت الرحمة لمن آمن به في الدنيا والآخرة , ومن لم يؤمن به عوفي مما أصاب الأمم قبل
Rahmat yang sempurna di dunia dan akhirat bagi orang-orang yang beriman kepada Rasulullah. Sedangkan bagi orang-orang yang enggan beriman, bentuk rahmat bagi mereka adalah dengan tidak ditimpa musibah yang menimpa umat terdahulu

4. Muhammad bin Ahmad Al Qurthubi dalam Tafsir Al Qurthubi
“Said bin Jubair berkata: dari Ibnu Abbas, beliau berkata:
كان محمد صلى الله عليه وسلم رحمة لجميع الناس فمن آمن به وصدق به سعد , ومن لم يؤمن به سلم مما لحق الأمم من الخسف والغرق
Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam adalah rahmat bagi seluruh manusia. Bagi yang beriman dan membenarkan ajaran beliau, akan mendapat kebahagiaan. Bagi yang tidak beriman kepada beliau, diselamatkan dari bencana yang menimpa umat terdahulu berupa ditenggelamkan ke dalam bumi atau ditenggelamkan dengan air
Ibnu Zaid berkata:
أراد بالعالمين المؤمنين خاص
Yang dimaksud ‘seluruh manusia’ dalam ayat ini adalah hanya orang-orang yang beriman” ”

5. Ash Shabuni dalam Shafwatut Tafasir
“Maksud ayat ini adalah ‘Tidaklah Kami mengutusmu, wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh makhluk’. Sebagaimana dalam sebuah hadits:
إنما أنا رحمة مهداة
Sesungguhnya aku adalah rahmat yang dihadiahkan (oleh Allah)” (HR. Al Bukhari dalam Al ‘Ilal Al Kabir 369, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman 2/596. Hadits ini di-shahih-kan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, 490, juga dalam Shahih Al Jami’, 2345)
Orang yang menerima rahmat ini dan bersyukur atas nikmat ini, ia akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Allah Ta’ala tidak mengatakan ‘rahmatan lilmu’minin‘, namun mengatakan ‘rahmatan lil ‘alamin‘ karena Allah Ta’ala ingin memberikan rahmat bagi seluruh makhluknya dengan diutusnya pemimpin para Nabi, Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Beliau diutus dengan membawa kebahagiaan yang besar. Beliau juga menyelamatkan manusia dari kesengsaraan yang besar. Beliau menjadi sebab tercapainya berbagai kebaikan di dunia dan akhirat. Beliau memberikan pencerahan kepada manusia yang sebelumnya berada dalam kejahilan. Beliau memberikan hidayah kepada menusia yang sebelumnya berada dalam kesesatan. Inilah yang dimaksud rahmat Allah bagi seluruh manusia. Bahkan orang-orang kafir mendapat manfaat dari rahmat ini, yaitu ditundanya hukuman bagi mereka. Selain itu mereka pun tidak lagi ditimpa azab berupa diubah menjadi binatang, atau dibenamkan ke bumi, atau ditenggelamkan dengan air”

Pemahaman Yang Salah Kaprah
Permasalahan muncul ketika orang-orang menafsirkan ayat ini secara serampangan, bermodal pemahaman bahasa dan logika yang dangkal. Atau berusaha memaksakan makna ayat agar sesuai dengan hawa nafsunya. Diantaranya pemahaman tersebut adalah:

1. Berkasih sayang dengan orang kafir
Sebagian orang mengajak untuk berkasih sayang kepada orang kafir, tidak perlu membenci mereka, mengikuti acara-acara mereka, enggan menyebut mereka kafir, atau bahkan menyerukan bahwa semua agama sama dan benar, dengan berdalil dengan ayat:
وَما أَرْسَلْناكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعالَمِينَ
Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi alam semesta” (QS. Al Anbiya: 107)
Padahal bukan demikian tafsiran dari ayat ini. Allah Ta’ala menjadikan Islam sebagai rahmat bagi seluruh manusia, namun bentuk rahmat bagi orang kafir bukanlah dengan berkasih sayang kepada mereka. Bahkan telah dijelaskan oleh para ahli tafsir, bahwa bentuk rahmat bagi mereka adalah dengan tidak ditimpa musibah besar yang menimpa umat terdahulu. Inilah bentuk kasih sayang Allah terhadap orang kafir, dari penjelasan sahabat Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu.

2. Berkasih sayang dalam kemungkaran
Sebagian kaum muslimin membiarkan orang-orang meninggalkan shalat, membiarkan pelacuran merajalela, membiarkan wanita membuka aurat mereka di depan umum bahkan membiarkan praktek-praktek kemusyrikan dan enggan menasehati mereka karena khawatir para pelaku maksiat tersinggung hatinya jika dinasehati, kemudian berkata : “Islam khan rahmatan lil’alamin, penuh kasih sayang”. Sungguh aneh.
Padahal bukanlah demikian tafsir surat Al Anbiya ayat 107 ini. Islam sebagai rahmat Allah bukanlah bermakna berbelas kasihan kepada pelaku kemungkaran dan membiarkan mereka dalam kemungkarannya. Sebagaiman dijelaskan Ath Thabari dalam tafsirnya di atas, “Rahmat bagi orang mu’min yaitu Allah memberinya petunjuk dengan sebab diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi Wa sallam memasukkan orang-orang beriman ke dalam surga dengan iman dan amal mereka terhadap ajaran Allah”.
Maka bentuk kasih sayang Allah terhadap orang mu’min adalah dengan memberi mereka petunjuk untuk menjalankan perinta-perintah Allah dan menjauhi apa yang dilarang oleh Allah, sehingga mereka menggapai jannah. Dengan kata lain, jika kita juga merasa cinta dan sayang kepada saudara kita yang melakukan maksiat, sepatutnya kita menasehatinya dan mengingkari maksiat yang dilakukannya dan mengarahkannya untuk melakukan amal kebaikan.
Dan sikap rahmat pun diperlukan dalam mengingkari maksiat. Sepatutnya pengingkaran terhadap maksiat mendahulukan sikap lembut dan penuh kasih sayang, bukan mendahulukan sikap kasar dan keras. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam bersabda:
إن الرفق لا يكون في شيء إلا زانه . ولا ينزع من شيء إلا شانه
Tidaklah kelembutan itu ada pada sesuatu, kecuali akan menghiasnya. Tidaklah kelembutan itu hilang dari sesuatu, kecuali akan memperburuknya” (HR. Muslim no. 2594)

3. Berkasih sayang dalam penyimpangan beragama
Adalagi yang menggunakan ayat ini untuk melegalkan berbagai bentuk bid’ah, syirik dan khurafat. Karena mereka menganggap bentuk-bentuk penyimpangan tersebut adalah perbedaan pendapat yang harus ditoleransi sehingga merekapun berkata: “Biarkanlah kami dengan pemahaman kami, jangan mengusik kami, bukankah Islam rahmatan lil’alamin?”. Sungguh aneh.
Menafsirkan rahmat dalam surat Al Anbiya ayat 107 dengan kasih sayang dan toleransi terhadap semua pemahaman yang ada pada kaum muslimin, adalah penafsiran yang sangat jauh. Tidak ada ahli tafsir yang menafsirkan demikian.
Perpecahan ditubuh ummat menjadi bermacam golongan adalah fakta, dan sudah diperingatkan sejak dahulu oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Dan orang yang mengatakan semua golongan tersebut itu benar dan semuanya dapat ditoleransi tidak berbeda dengan orang yang mengatakan semua agama sama. Diantara bermacam golongan tersebut tentu ada yang benar dan ada yang salah. Dan kita wajib mengikuti yang benar, yaitu yang sesuai dengan ajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Bahkan Ibnul Qayyim mengatakan tentang rahmat dalam surat Al Anbiya ayat 107: “Orang yang mengikuti beliau, dapat meraih kemuliaan di dunia dan akhirat sekaligus”. Artinya, Islam adalah bentuk kasih sayang Allah kepada orang yang mengikuti golongan yang benar yaitu yang mau mengikuti ajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa sallam.
Pernyataan ‘biarkanlah kami dengan pemahaman kami, jangan mengusik kami’ hanya berlaku kepada orang kafir. Sebagaimana dinyatakan dalam surat Al Kaafirun:
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
Katakanlah: ‘Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku‘”
Sedangkan kepada sesama muslim, tidak boleh demikian. Bahkan wajib menasehati bila saudaranya terjerumus dalam kesalahan. Yang dinasehati pun sepatutnya lapang menerima nasehat. Bukankah orang-orang beriman itu saling menasehati dalam kebaikan?
وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍإِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran” (QS. Al ‘Ashr: 1 – 3)
Dan menasehati orang yang berbuat menyimpang dalam agama adalah bentuk kasih sayang kepada orang tersebut. Bahkan orang yang mengetahui saudaranya terjerumus ke dalam penyimpangan beragama namun mendiamkan, ia mendapat dosa. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam:
إذا عملت الخطيئة في الأرض كان من شهدها فكرهها كمن غاب عنها . ومن غاب عنها فرضيها ، كان كمن شهدها
Jika engkau mengetahui adanya sebuah kesalahan (dalam agama) terjadi dimuka bumi, orang yang melihat langsung lalu mengingkarinya, ia sama seperti orang yang tidak melihat langsung (tidak dosa). Orang yang tidak melihat langsung namun ridha terhadap kesalahan tersebut, ia sama seperti orang yang melihat langsung (mendapat dosa)” (HR. Abu Daud no.4345, dihasankan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)
Perselisihan pendapat pun tidak bisa dipukul-rata bahwa semua pendapat bisa ditoleransi. Apakah kita mentoleransi sebagian orang sufi yang berpendapat shalat lima waktu itu tidak wajib bagi orang yang mencapai tingkatan tertentu? Atau sebagian orang kejawen yang menganggap shalat itu yang penting ‘ingat Allah’ tanpa harus melakukan shalat? Apakah kita mentoleransi pendapat Ahmadiyyah yang mengatakan bahwa berhaji tidak harus ke Makkah? Tentu tidak dapat ditoleransi. Jika semua pendapat orang dapat ditoleransi, hancurlah agama ini. Namun pendapat-pendapat yang berdasarkan dalil shahih, cara berdalil yang benar, menggunakan kaidah para ulama, barulah dapat kita toleransi.

4. Menyepelekan permasalahan aqidah
Dengan menggunakan ayat ini, sebagian orang menyepelekan dan enggan mendakwahkan aqidah yang benar. Karena mereka menganggap mendakwahkan aqidah hanya akan memecah-belah ummat dan menimbulkan kebencian sehingga tidak sesuai dengan prinsip bahwa Islam adalah rahmatan lil ‘alamin.
Renungkanlah perkataan Ash Shabuni dalam menafsirkan rahmatan lil ‘alamin: “Beliau Shallallahu ‘alaihi Wa sallam memberikan pencerahan kepada manusia yang sebelumnya berada dalam kejahilan. Beliau memberikan hidayah kepada menusia yang sebelumnya berada dalam kesesatan. Inilah yang dimaksud rahmat Allah bagi seluruh manusia”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam menjadi rahmat bagi seluruh manusia karena beliau membawa ajaran tauhid. Karena manusia pada masa sebelum beliau diutus berada dalam kesesatan berupa penyembahan kepada sesembahan selain Allah, walaupun mereka menyembah kepada Allah juga. Dan inilah inti ajaran para Rasul. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah saja, dan jauhilah Thaghut’ ” (QS. An Nahl: 36)
Selain itu, bukankah masalah aqidah ini yang dapat menentukan nasib seseorang apakah ia akan kekal di neraka atau tidak? Allah Ta’ala berfirman:
نَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ ۖ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun” (QS. Al Maidah: 72)
Oleh karena itu, adakah yang lebih urgen dari masalah ini?
Kesimpulannya, justru dakwah tauhid, seruan untuk beraqidah yang benar adalah bentuk rahmat dari Allah Ta’ala. Karena dakwah tauhid yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam adalah rahmat Allah, maka bagaimana mungkin menjadi sebab perpecahan ummat? Justru kesyirikanlah yang sebenarnya menjadi sebab perpecahan ummat. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا ۖ كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ
Janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka” (QS. Ar Ruum: 31-32)

Pemahaman Yang Benar
Berdasarkan penafsiran para ulama ahli tafsir yang terpercaya, beberapa faedah yang dapat kita ambil dari ayat ini adalah:
1.    Di utusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam sebagai Rasul Allah adalah bentuk kasih sayang Allah kepada seluruh manusia.
2.    Seluruh manusia di muka bumi diwajibkan memeluk agama Islam.Hukum-hukum syariat dan aturan-aturan dalam Islam adalah bentuk kasih sayang Allah Ta’ala kepada makhluk-Nya.
3.    Seluruh manusia mendapat manfaat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam baik yang beriman, orang-orang kafir dan juga orang-orang munafik.
4.    Rahmat yang sempurna hanya didapatkan oleh orang yang beriman kepada ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam
5.    Orang yang beriman kepada ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam, membenarkan beliau serta taat kepada beliau, akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
6.    Secara umum, orang kafir mendapat rahmat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam berupa dihindari dari adzab yang menimpa umat-umat terdahulu yang menentang Allah.
7.    Orang munafik yang mengaku beriman di lisan namun ingkar di dalam hati juga mendapat rahmat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Mereka mendapat manfaat berupa terjaganya darah, harta, keluarga dan kehormatan mereka. Mereka pun diperlakukan sebagaimana kaum muslimin yang lain dalam hukum waris dan hukum yang lain. Namun di akhirat kelak Allah akan menempatkan mereka di dasar neraka Jahannam.
8.    Pengutusan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam menjadi rahmat karena beliau telah memberikan pencerahan kepada manusia yang awalnya dalam kejahilan dan memberikan hidayah kepada manusia yang awalnya berada dalam kesesatan berupa peribadatan kepada selain Allah.[10]

Penjelasan tentang islam rahmatan lil alamin sangat memuaskan sehingga jelas bahwa islam adalah untuk semua manusia di muka bumi ini. Allah Maha Mengetahui bahwa semua manusia di bumi mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda sebanyak yang Allah kehendaki, dan dengan rahmatNya Allah mengajarkan dan hanya meridhai syariat Islam untuk semua manusia yang terdiri dari berbagai kebudayaan. Dimana islam telah mempunyai aturan-aturan dan kaidah-kaidah umum agar semua budaya bias berasimilasi dengan islam dan kemurnian agama islam tetap terpelihara dan hal ini dibuktikan dengan tersebarnya Islam keberbagai Negara yang notebene mempunyai latar budaya yang berbeda.

Tidak ada yang dipungkiri dari kenyataan bahwa semua kebudayaan bias berasimilasi dengan islam dalam batasan dan kaidah–kaidah yang disebutkan. Sebagai contoh adalah budaya berpakaian bagi kaum adam dan hawa. Kaum Adam dibolehkan berpakaian sesuai urf(budaya) asalkan menutup aurat dan tidak menyerupai orang kafir dalam pakaian syuhrah(kebesaran) mereka. Adapun kaum Hawa dalam islam dituntun untuk menutup seluruh anggota badannya dgn pakaian yang longgar, tebal tidak tipis, dan lain-lain sesuai persyaratan hijab syar’I dalam islam asalkan tidak berseberangan dengan kaidah ibadah dan muamalah yang telah dipaparkan didepan. Contoh lain adalah dalam masalah batasan safar yang islam tidak menentukan sejauh berapa kilometernya, tapi disesuaikan bahwa jarak safar itu menurut urf(budaya) setempat untuk menentukan sudah termasuk jarak safar atau tidak.


E.  Mengapa Dikatakan Asimilasi Kebudayaan Dengan Islam Bukan Dikatakan Sebagai Bentuk Akulturasi Kebudayaan?
 Sebagaimana pemaparan di awal bahwa asimilasi kebudayaan adalah suatu kebudayaan yang merupakan hasil dari percampuran dua budaya yang berbeda yang menghasilkan suatu bentuk kebudayaan baru. Dan biasanya terdapat golongan mayoritas dan minoritas yang salah satu dari keduanya mempengaruhi kebudayaan lain sehingga pengaruhnya menciptakan kebudayaan baru bagi golongan yang dipengaruhi.

Sedangkan akulturasi kebudayaan adalah suatu bentuk kebudayaan yang merupakan hasil dari bertemunya dua kebudayaan dan hasil tersebut tetap mempertahankan ciri khas kebudayaan masing-masing.

Lalu mengapa dikatakan Asimilasi kebudayaan dengan islam bukan dikatakan sebagai bentuk akulturasi kebudayaan?. Jawabnya adalah karena golongan yang mengalami proses asimilasi adalah golongan minoritas dalam hal ini Islam dan golongan mayoritas dalam hal ini banyak kebudayaan dunia. Biasanya, golongan minoritaslah yang mengubah sifat khas dari unsur-unsur kubudayaannya, dan menyesuaikannya dengan kebudayaan dari golongan mayoritas sedemikian rupa sehingga lambat laun kehilangan kepribadian kebudayaannya, dan masuk ke dalam kebudayaan mayoritas. Namun dalam hal ini walaupun islam sebagai golongan minoritas dia diterima oleh golongan mayoritas karena kesesuaiannya dengan fitrah manusia itu sendiri dan juga batasan dan kaidah-kaidah islam syarat dengan kemashlahatan yang diinginkan oleh golongan mayoritas, sehingga islam bias diterima dan dipraktekkan dalam seluruh kebudayaan dan menjadi sebuah produk baru dalam kehidupan golongan mayoritas dan berbaur dalam naungan syariat islam.


 BAB III
   PENUTUP

A.  KESIMPULAN
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan
1.        Asimilasi kebudayaan adalah suatu kebudayaan yang merupakan hasil dari percampuran dua budaya yang berbeda yang menghasilkan suatu bentuk kebudayaan baru. Dan biasanya terdapat golongan mayoritas dan minoritas yang salah satu dari keduanya mempengaruhi kebudayaan lain sehingga pengaruhnya menciptakan kebudayaan baru bagi golongan yang dipengaruhi.
2.        Dari sejarah dapat diketahui penyebaran islam dimulai dari daerah-daerah terdekat dengan kota madinah sehingga seluruh jazirah arab mengenal islam dengan baik dan mengamalkan ajaran islam sehingga secara langsung mempengaruhi budaya setempat untuk disesuaikan dengan ajaran islam
3.        Dua kaidah penting dalam islam ketika menghadapi berbagai kebudayaan dunia agar bias ditrima dan diterapkan dalam kebudayaan-kebudayaan tersebut.
Ø  "Hukum asal dalam beribadah adalah haram dan batal kecuali yang ada dalil yang memerintahkan"
Ø  "Hukum asal dari sesuatu (muamalah/keduniaan) adalah mubah sampai ada dalil yang melarangnya (memakruhkannya atau mengharamkannya)"
4.        Penjelasan tentang islam rahmatan lil alamin sangat memuaskan sehingga jelas bahwa islam adalah untuk semua manusia di muka bumi ini. Allah Maha Mengetahui bahwa semua manusia di bumi mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda sebanyak yang Allah kehendaki, dan dengan rahmatNya Allah mengajarkan dan hanya meridhai syariat Islam untuk semua manusia yang terdiri dari berbagai kebudayaan. Dimana islam telah mempunyai aturan-aturan dan kaidah-kaidah umum agar semua budaya bias berasimilasi dengan islam dan kemurnian agama islam tetap terpelihara dan hal ini dibuktikan dengan tersebarnya Islam keberbagai Negara yang notebene mempunyai latar budaya yang berbeda.
5.        Mengapa dikatakan Asimilasi kebudayaan dengan islam bukan dikatakan sebagai bentuk akulturasi kebudayaan?. Jawabnya adalah karena golongan yang mengalami proses asimilasi adalah golongan minoritas dalam hal ini Islam dan golongan mayoritas dalam hal ini banyak kebudayaan dunia. Biasanya, golongan minoritaslah yang menguhah sifat khas dari unsur-unsur kubudayaannya, dan menyesuaikannya dengan kebudayaan dari golongan mayoritas sedemikian rupa sehingga lambat laun kehilangan kepribadian kebudayaannya, dan masuk ke dalam kebudayaan mayoritas. Namun dalam hal ini walaupun islam sebagai golongan minoritas dia diterima oleh golongan mayoritas karena kesesuaiannya dengan fitrah manusia itu sendiri dan juga batasan dan kaidah-kaidah islam syarat dengan kemashlahatan yang diinginkan oleh golongan mayoritas, sehingga islam bias diterima dan dipraktekkan dalam seluruh kebudayaan dan menjadi sebuah produk baru dalam kehidupan golongan mayoritas dan berbaur dalam naungan syariat islam.


B.  SARAN
Sebagai seorang muslim, sudah menjadi kewajiban untuk memperdalam keilmuan dalam islam dan diamalkan dalam keseharian dan seharusnya pula seorang muslim berbangga dengan agama islam karena islam satu-satunya agama yang diridhai Allah. Pengamalan islam dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan aturan syariat islam yang penuh mashlahat seyogyanya diwujudkan dan konsisten untuk diterapkan. Maka dengan menerapkan islam dari yang pertama yakni diri sendiri kemudian keluarga, kemudian lingkungan akan terbudayakan hidup dalam naungan syariat islam sehingga kemashlahatan dan keamanan tercapai dengan baik.



Disusun Oleh : Ima Antasary


[4] http://muslim.or.id/aqidah/agama-islam.html diunduh tanggal 11 desember 2012
[6] ibid
[10] .http://muslim.or.id/islam-rahmatan-lil-‘alamin/ diunduh tanggal 5 Desember 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar