Muqaddimah
Amal Jama’i (gerakan
bersama) secara bahasa berarti “sekelompok manusia yang berhimpun bekerja
bersama untuk mencapai tujuan yang sama.”
Al-‘amalul
al-jamaa’i
berarti bekerja sama berdasarkan kecepakatan dan bekerja bersama-sama sesuai
tugas yang diberikan untuk memantapkan amal. Jadi, Al-‘amalul al-jamaa’i mendistribusikan amal (pekerjaan)
kepada setiap anggota berdasarkan potensi yang dimilikinya untuk mencapai
tujuan.
Tentunya sebelum kita melakukan suatu amalan ada satu hal yang
benar-benar menjadi perhatian kita. Hal tersebut adalah niat. Bukankah dengan
niat maka kita beramal, tentunya amal tersebut bias menjadi amal shaleh
bergantung pada niat kita mengamalkannya. Benarkah sudah ikhlas lillah amal
yang kita kerjakan atau amal yang kita lakukan hanya sebagai bentuk loyalitas
kita pada liqa kita, murabbi kita atau bahkan jamaah kita. Maka mari bersama
meluruskan niat karena hal ini bukanlah perkara yang mudah.
Alloh berfirman, “Padahal
mereka tidak disuruh kecuali untuk menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan agar mereka mendirikan
sholat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (Al
Bayyinah: 5)
Syaikh Prof. Dr. Ibrahim ar-Ruhaili hafizhahullah
mengatakan, “Ikhlas dalam beramal karena Allah ta’ala merupakan rukun paling
mendasar bagi setiap amal salih. Ia merupakan pondasi yang melandasi keabsahan
dan diterimanya amal di sisi Allah ta’ala, sebagaimana halnya mutaba’ah
(mengikuti tuntunan) dalam melakukan amal merupakan rukun kedua untuk semua
amal salih yang diterima di sisi Allah.” (Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal.
49)
niat merupakan timbangan penentu kesahihan amal. Apabila niatnya
baik, maka amal menjadi baik. Apabila niatnya jelek, amalnya pun menjadi jelek
(Syarh Arba’in li an-Nawawi)
Apa Itu Amal Shaleh?
Alquran yang agung telah menjelaskan bahwa amal
saleh adalah amal yang memenuhi tiga perkara. Jika salah satunya rusak maka
amal itu tidak lagi bermanfaat bagi pelakunya pada hari kiamat.
Pertama: Amal itu
sesuai dengan tuntunan yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebabnya, Allah berfirman,
وَمَآءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ
وَمَانَهَاكُمْ عَنْهُ
“Semua yang diberikan Rasul kepada kalian,
terimalah. Semua yang dilarangnya, tinggalkanlah. (Q.s.
Al-Hasyr [59]:7)
Dia juga
berfirman,
مَّن يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ
{80}
“Barang siapa menaati Rasul itu, sesungguhnya
ia telah menaati Allah.” (Q.s. An-Nisa’ [4]:80)
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ
فَاتَّبِعُونِي
“Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai
Allah, ikutilah aku.’” (Q.s. Ali-Imran [3]:31)
Kedua: Amalan itu ikhlas (murni) untuk wajah Allah
ta’ala.
Sebabnya, Allah berfirman,
وَمَآأُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللَّهَ
مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Padahal, mereka tidak disuruh, kecuali supaya
menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” (Q.s.
Al-Bayyinah [98]:5)
Demikian pula firman-Nya,
“Katakanlah,
‘Sesungguhnya, aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama. Aku juga diperintahkan supaya
menjadi orang yang pertama-tama berserah diri.’ Katakanlah, ‘Sesungguhnya, aku
takut akan siksaan hari yang besar jika aku durhaka kepada Rabbku.’ Katakanlah,
‘Hanya Allah yang kusembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agamaku.’ Maka, sembahlah olehmu (wahai orang-orang musyrik) apa
saja yang kamu kehendaki selain Dia.” (Q.s. Az-Zumar [39]:11–15)
Ketiga: Amalan itu dibangun di atas pondasi akidah yang
sahih (keyakinan yang benar), karena amalan itu bagaikan atap, sedangkan akidah
bagaikan pondasi.
Allah ta’ala berfirman,
“Barang siapa mengerjakan amal saleh, baik
laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami beri balasan
kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari amalan yang telah mereka
kerjakan.” (Q.s. An-Nahl [16]:97)[2]
Dan suatu amal shaleh tentunya merupakan suatu
bentuk ibadah kita kepada Allah.
Para ulama menyebutkan bahwa dalam beribadah
agar bias diterima oleh Allah harus memenuhi dua syarat,
1. Ikhlas untuk Allah Ta’ala.
2. Sesuai dengan sunnah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Hal ini berangkat dari suatu hadits yg sangat
penting yaitu hadits dariaisyah radhiallahu anha
عن أم المؤمنين أم عبدالله عائشة رضي الله عنها قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ” من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد ” رواه البخاري ومسلم , وفي رواية لمسلم ” من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
عن أم المؤمنين أم عبدالله عائشة رضي الله عنها قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ” من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد ” رواه البخاري ومسلم , وفي رواية لمسلم ” من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
Dari Ummul mukminin, Ummu ‘Abdillah, ‘Aisyah
radhiallahu ‘anha, ia berkata bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam
bersabda: “Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama kami ini
yang bukan dari kami, maka dia tertolak”. (Bukhari dan Muslim. Dalam riwayat Muslim : “Barangsiapa
melakukan suatu amal yang tidak sesuai urusan kami, maka dia tertolak”)
Betapa pentingnya kita untuk ikhlas dan betapa
pentingnya kita untuk mengilmui bagaimana sebenarnya hal-hal yang sesuai sunnah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Agar segala amal shaleh kita diterima
di sisi Allah. Tidak ada jalan lain untuk mengetahui sunnah nabi kecuali dengan
menuntut ilmu syar’I dan selalu memperbaiki niat kita ketika beramal hanya kita
tujukan dan murnikan untuk mengharapkan pahala dari Allah.
Amal Jama’i
Mengacu pada pengertian yang telah disebutkan
di atas, maka amal jamai pun masuk dalam amal shaleh yang secara langsung
menjadi ladang ibadah bagi kita. Namun yang sangat perlu kita perhatikan adalah
bagaimana amal jamai yang kita lakukan dibangun atas ilmu bukan atas
persangkaan bahwa yang kita lakukan dalam beramal jamai adalah sebuah kebaikan.
Kebaikan tidak diukur atas persangkaan seseorang, organisasi ataupun suatu
wadah amal jamai, tapi hakikatnya kebaikan adalah apa-apa yang ditimbang oleh
dalil-dalil dan kaidah-kaidah syar’I bahwa hal tersebut adalah suatu kebaikan.
Ingatlah firman Alloh, “Katakanlah:
‘Maukah Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi
perbuatannya?’ Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan
dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (Al
Kahfi: 103, 104). Siapakah yang lebih rugi dari orang semacam ini? yang telah
beramal dengan susah payah sewaktu masih hidup di dunia tapi ternyata sia-sia
dan tidak diterima oleh Alloh Ta’ala.
Beberapa ciri
Amal Jama’i
1. Aktivitas yang dijalankannya harus
berdasarkan keputusan jamaah
2. Mempunyai sistem
organisasi yang lengkap dan aktivitas dijalankan secara rapi dan tersusun
3. Tindakan dan
kegiatannya sesuai dengan strategi pendekatan yang telah digariskan oleh jamaah
4. Seluruh
kegiatannya bertujuan untuk mencapai cita-cita yang telah ditetapkan bersama.
Islam sangat menghargai keputusan yang membawa mashlahat. Maka sangat
perlu untuk membuat keputusan dalam jamaah yang mengedepankan mashlahat
bersama. Bukan sekedar mashlahat duniawi tapi lebih kepada mashlahat diniyah.
Dimana keputusan tersebut tentunya dibangun atas ilmu tidak serta merta berdasarkan
pertimbangan pribadi bahwa hal tersebut baik. Untuk mengetahui bahwa sesuatu
itu bermashlahat atau bermafsadat tentunya jamaah harus mempunyai kapasitas
ilmu syari yang memadai dengan meninjau kaidah-kaidah syar’i karena berkaitan
ddengan kegiatan amaliyah maka paling tidak keputusan itu dibahas oleh orang
yang berkompoten dalam sisi kaidah-kaidah aqidah dan fiqhiyah.
Mengorganisasi dakwah, mengatur dakwah tidak terlarang bahkan merupakan perkara yang
baik. Namun jika dengan alasan ini kemudian melakukan hal-hal yang dilarang
syariat maka tidak boleh mencegah kebatilan dengan kebatilan yang lain. Perlu diketahui bahwa tujuan adanya organisasi bukan
untuk menjadikan loyalitas kita pada organisasi tersebut atau jamaah tersebut.
Maksudnya, ketika kita berorganisasi tentunya tujuan kita adalah ibadah dan
ketika suatu jamaah keluar jalur dari garis ibadah yang benar maka dalam hal
ini tidak berlaku adanya loyalitas pada jamaah tersebut. Kenapa? Karena jika kita
tetap berloyalitas dlama suatu hal yang sudah keluar jalur itu sama saja kita
berta’awwun dalam maksiat. Bukankah kita diperintahkan untuk saling manasehati,
lalu ketika jamaah salah dalam mengambil keputusan yang menyelisihi kaidah
syar’i maka loyal dalam hal ini tidak berlaku agar tidak terjerumus dalam
bentuk taawwun yang dicela. Dan kewajiban kita adalah menasehati ketika kita
tahu bahwa hal tersebut adalah sebuah kekeliruan. Maka sikap yang paling
selamat ketka mendapatkan nasehat adalah menerima nasehat tersebut karena itu
adalah bukti bahwa sang penasehat adalah orang yang mencintai jamaah. Sang
penasehat tidak ingin jika kekeliruan itu berlanjut. Dan merupakan suatu cela
ketika nasehat tersebut disalah artikan ingin memecah belah barisan jamaah. Aduhai
kiranya bisa dibedakan antara kasih dan benci karena Allah.
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong di dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (al-Maidah: 2)
Dan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Seorang mukmin dengan seorang mukmin lainnya adalah seperti bangunan, saling
menguatkan sebagian atas sebagian yang lainnya.” [Diriwayatkan oleh al-Bukhari
(X/450 - Fathul Bari) dan Muslim (2585), pent.]
Dan beliau shalallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Perumpamaan kaum mukminin di dalam saling mencintai,
mengasihi dan menyayangi di antara mereka adalah seperti tubuh. Jika mengeluh
salah satu anggota dari tubuh tersebut, akan merasakan seluruh jasad baik
dengan demam atau tidak bisa tidur. [Bukhari (X/347 - Fathul Bari) dan Muslim
(2586), pent.]
Semoga kita selalu meluruskan niat kita dalam
beramal yang khusus untuk diri kita pribadi sebagaimana shalat dan amalan
munfaridhah lainnya.dan juga memperbaiki niat kita ketika beramal jamai. yang tentunya
semua itu harus dibangun di atas ilmu yang sesuai dengan sunnah-sunnah
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Allahumaj’alna minal mukhlisin wa aqbil a’maalana…aamiin..Allahumma
Aamiin.
Ima Aasiyah Ummu Maryam
Yogyakarta
Ima Aasiyah Ummu Maryam
Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar