Selasa, 19 November 2013

Amal Shaleh Dalam Amal Jama'i



Muqaddimah
Amal Jama’i (gerakan bersama) secara bahasa berarti “sekelompok manusia yang berhimpun bekerja bersama untuk mencapai tujuan yang sama.”

Al-‘amalul al-jamaa’i berarti bekerja sama berdasarkan kecepakatan dan bekerja bersama-sama sesuai tugas yang diberikan untuk memantapkan amal. Jadi, Al-‘amalul al-jamaa’i mendistribusikan amal (pekerjaan) kepada setiap anggota berdasarkan potensi yang dimilikinya untuk mencapai tujuan.

Tentunya sebelum kita melakukan suatu amalan ada satu hal yang benar-benar menjadi perhatian kita. Hal tersebut adalah niat. Bukankah dengan niat maka kita beramal, tentunya amal tersebut bias menjadi amal shaleh bergantung pada niat kita mengamalkannya. Benarkah sudah ikhlas lillah amal yang kita kerjakan atau amal yang kita lakukan hanya sebagai bentuk loyalitas kita pada liqa kita, murabbi kita atau bahkan jamaah kita. Maka mari bersama meluruskan niat karena hal ini bukanlah perkara yang mudah.

Alloh berfirman, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali untuk menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan agar mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (Al Bayyinah: 5)

Syaikh Prof. Dr. Ibrahim ar-Ruhaili hafizhahullah mengatakan, “Ikhlas dalam beramal karena Allah ta’ala merupakan rukun paling mendasar bagi setiap amal salih. Ia merupakan pondasi yang melandasi keabsahan dan diterimanya amal di sisi Allah ta’ala, sebagaimana halnya mutaba’ah (mengikuti tuntunan) dalam melakukan amal merupakan rukun kedua untuk semua amal salih yang diterima di sisi Allah.” (Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 49)
niat merupakan timbangan penentu kesahihan amal. Apabila niatnya baik, maka amal menjadi baik. Apabila niatnya jelek, amalnya pun menjadi jelek (Syarh Arba’in li an-Nawawi)

Apa Itu Amal Shaleh?
Alquran yang agung telah menjelaskan bahwa amal saleh adalah amal yang memenuhi tiga perkara. Jika salah satunya rusak maka amal itu tidak lagi bermanfaat bagi pelakunya pada hari kiamat.
Pertama: Amal itu sesuai dengan tuntunan yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebabnya, Allah berfirman,
وَمَآءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَانَهَاكُمْ عَنْهُ
“Semua yang diberikan Rasul kepada kalian, terimalah. Semua yang dilarangnya, tinggalkanlah. (Q.s. Al-Hasyr [59]:7)
Dia juga berfirman,                                                                                                                
مَّن يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ {80}
“Barang siapa menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah.” (Q.s. An-Nisa’ [4]:80)
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي
“Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku.’” (Q.s. Ali-Imran [3]:31)

Kedua: Amalan itu ikhlas (murni) untuk wajah Allah ta’ala.
Sebabnya, Allah berfirman,
وَمَآأُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Padahal, mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” (Q.s. Al-Bayyinah [98]:5)
Demikian pula firman-Nya,
 “Katakanlah, ‘Sesungguhnya, aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama. Aku juga diperintahkan supaya menjadi orang yang pertama-tama berserah diri.’ Katakanlah, ‘Sesungguhnya, aku takut akan siksaan hari yang besar jika aku durhaka kepada Rabbku.’ Katakanlah, ‘Hanya Allah yang kusembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku.’ Maka, sembahlah olehmu (wahai orang-orang musyrik) apa saja yang kamu kehendaki selain Dia.” (Q.s. Az-Zumar [39]:11–15)

Ketiga: Amalan itu dibangun di atas pondasi akidah yang sahih (keyakinan yang benar), karena amalan itu bagaikan atap, sedangkan akidah bagaikan pondasi.
Allah ta’ala berfirman,
“Barang siapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari amalan yang telah mereka kerjakan.” (Q.s. An-Nahl [16]:97)[2]

Dan suatu amal shaleh tentunya merupakan suatu bentuk ibadah kita kepada Allah.
Para ulama menyebutkan bahwa dalam beribadah agar bias diterima oleh Allah harus memenuhi dua syarat,
1.    Ikhlas untuk Allah Ta’ala.
2.    Sesuai dengan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Hal ini berangkat dari suatu hadits yg sangat penting yaitu hadits dariaisyah radhiallahu anha
عن أم المؤمنين أم عبدالله عائشة رضي الله عنها قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ” من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو ردرواه البخاري ومسلم , وفي رواية لمسلم من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
Dari Ummul mukminin, Ummu ‘Abdillah, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, ia berkata bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama kami ini yang bukan dari kami, maka dia tertolak”. (Bukhari dan Muslim. Dalam riwayat Muslim : “Barangsiapa melakukan suatu amal yang tidak sesuai urusan kami, maka dia tertolak”)


Betapa pentingnya kita untuk ikhlas dan betapa pentingnya kita untuk mengilmui bagaimana sebenarnya hal-hal yang sesuai sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Agar segala amal shaleh kita diterima di sisi Allah. Tidak ada jalan lain untuk mengetahui sunnah nabi kecuali dengan menuntut ilmu syar’I dan selalu memperbaiki niat kita ketika beramal hanya kita tujukan dan murnikan untuk mengharapkan pahala dari Allah.

Amal Jama’i
Mengacu pada pengertian yang telah disebutkan di atas, maka amal jamai pun masuk dalam amal shaleh yang secara langsung menjadi ladang ibadah bagi kita. Namun yang sangat perlu kita perhatikan adalah bagaimana amal jamai yang kita lakukan dibangun atas ilmu bukan atas persangkaan bahwa yang kita lakukan dalam beramal jamai adalah sebuah kebaikan. Kebaikan tidak diukur atas persangkaan seseorang, organisasi ataupun suatu wadah amal jamai, tapi hakikatnya kebaikan adalah apa-apa yang ditimbang oleh dalil-dalil dan kaidah-kaidah syar’I bahwa hal tersebut adalah suatu kebaikan.

Ingatlah firman Alloh, “Katakanlah: ‘Maukah Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?’ Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (Al Kahfi: 103, 104). Siapakah yang lebih rugi dari orang semacam ini? yang telah beramal dengan susah payah sewaktu masih hidup di dunia tapi ternyata sia-sia dan tidak diterima oleh Alloh Ta’ala.

Beberapa ciri Amal Jama’i
1. Aktivitas yang dijalankannya harus berdasarkan keputusan jamaah
2. Mempunyai sistem organisasi yang lengkap dan aktivitas dijalankan secara rapi dan tersusun
3. Tindakan dan kegiatannya sesuai dengan strategi pendekatan yang telah digariskan oleh jamaah
4. Seluruh kegiatannya bertujuan untuk mencapai cita-cita yang telah ditetapkan bersama.
Islam sangat menghargai keputusan yang membawa mashlahat. Maka sangat perlu untuk membuat keputusan dalam jamaah yang mengedepankan mashlahat bersama. Bukan sekedar mashlahat duniawi tapi lebih kepada mashlahat diniyah. Dimana keputusan tersebut tentunya dibangun atas ilmu tidak serta merta berdasarkan pertimbangan pribadi bahwa hal tersebut baik. Untuk mengetahui bahwa sesuatu itu bermashlahat atau bermafsadat tentunya jamaah harus mempunyai kapasitas ilmu syari yang memadai dengan meninjau kaidah-kaidah syar’i karena berkaitan ddengan kegiatan amaliyah maka paling tidak keputusan itu dibahas oleh orang yang berkompoten dalam sisi kaidah-kaidah aqidah dan fiqhiyah.
Mengorganisasi dakwah, mengatur dakwah tidak terlarang bahkan merupakan perkara yang baik. Namun jika dengan alasan ini kemudian melakukan hal-hal yang dilarang syariat maka tidak boleh mencegah kebatilan dengan kebatilan yang lain. Perlu diketahui bahwa tujuan adanya organisasi bukan untuk menjadikan loyalitas kita pada organisasi tersebut atau jamaah tersebut. Maksudnya, ketika kita berorganisasi tentunya tujuan kita adalah ibadah dan ketika suatu jamaah keluar jalur dari garis ibadah yang benar maka dalam hal ini tidak berlaku adanya loyalitas pada jamaah tersebut. Kenapa? Karena jika kita tetap berloyalitas dlama suatu hal yang sudah keluar jalur itu sama saja kita berta’awwun dalam maksiat. Bukankah kita diperintahkan untuk saling manasehati, lalu ketika jamaah salah dalam mengambil keputusan yang menyelisihi kaidah syar’i maka loyal dalam hal ini tidak berlaku agar tidak terjerumus dalam bentuk taawwun yang dicela. Dan kewajiban kita adalah menasehati ketika kita tahu bahwa hal tersebut adalah sebuah kekeliruan. Maka sikap yang paling selamat ketka mendapatkan nasehat adalah menerima nasehat tersebut karena itu adalah bukti bahwa sang penasehat adalah orang yang mencintai jamaah. Sang penasehat tidak ingin jika kekeliruan itu berlanjut. Dan merupakan suatu cela ketika nasehat tersebut disalah artikan ingin memecah belah barisan jamaah. Aduhai kiranya bisa dibedakan antara kasih dan benci karena Allah.

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong di dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (al-Maidah: 2)

Dan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seorang mukmin dengan seorang mukmin lainnya adalah seperti bangunan, saling menguatkan sebagian atas sebagian yang lainnya.” [Diriwayatkan oleh al-Bukhari (X/450 - Fathul Bari) dan Muslim (2585), pent.]
Dan beliau shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Perumpamaan kaum mukminin di dalam saling mencintai, mengasihi dan menyayangi di antara mereka adalah seperti tubuh. Jika mengeluh salah satu anggota dari tubuh tersebut, akan merasakan seluruh jasad baik dengan demam atau tidak bisa tidur. [Bukhari (X/347 - Fathul Bari) dan Muslim (2586), pent.]

Semoga kita selalu meluruskan niat kita dalam beramal yang khusus untuk diri kita pribadi sebagaimana shalat dan amalan munfaridhah lainnya.dan juga memperbaiki niat kita ketika beramal jamai. yang tentunya semua itu harus dibangun di atas ilmu yang sesuai dengan sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.


Allahumaj’alna minal mukhlisin wa aqbil a’maalana…aamiin..Allahumma Aamiin.



Ima Aasiyah Ummu Maryam
Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar